Melalui karya keempatnya ini, Before, Now & Then (Nana), Kamila Andini menegaskan sosoknya sebagai salah satu sutradara Indonesia paling cemerlang saat ini.
Diangkat dari bab pertama novel Jais Darga Namaku karangan Ahda Imran, film berkisah tentang kehidupan seorang perempuan Sunda bernama Nana (Happy Salma) di era 60-an yang penuh gejolak.
Sama halnya dengan Yuni, karya Kamila sebelum ini, Nana bergaya sinema vernakular, yang berarti sebagian besar dialog dituturkan dalam bahasa Sunda. Pendekatan ini memberikan rasa otentik tersendiri dalam penceritaan Kamila yang bertendensi pada gaya naturalistik meski tetap bergaya.
Soal gaya, Nana disajikan dengan estetik artistik yang lebih tebal, alih-alih sekedar realisme saja seperti tersaji di karya-karya Kamila terdahulu. Sudut pandang kamera yang dipenuhi dengan warna-warna cantik tangkapan Batara Goempar menghiasi layar secara atraktif.
Sementara itu, cello dan string sections lainnya ilustrasi gubahan Ricky Lionardi sukses membangun mood dalam suasana setiap adegan. Tidak heran, jika menyaksikan Nana seperti menyimak lontaran puisi yang menjadi hidup.
Tidak bisa dipungkiri jika kemudian Nana dibanding-bandingkan dengan karya apik Wong Kar-wai, In The Mood For Love, karena memiliki gaya naratif setipe.
Hanya saja, rasa-rasanya persamaan dua film ini hanya sebatas pada pemilihan estetika bertutur saja, karena secara utuh Nana tetaplah sebuah film yang menampilkan khas seorang Kamila Andini yang mengedepankan melankolisme, meski tak terlupa substansi.
Memang kadang estetika bertutur Nana terus terang terkadang kurang memiliki signifikansi terhadap alur itu sendiri selain untuk mempercantik visualisasi. Meski begitu, tidak terlalu mengganggu juga karena secara esensi Nana memiliki muatan sedap lagi bergizi.
Nana bukan hanya berbicara tentang perempuan dalam kungkung patriarki, melainkan juga sebuah studi karakter subtil bernuansa psikologis.
Detil tidak terlalu penting, termasuk latar sosial-politik di dalamnya, karena film condong lebih tertarik mengulik bagaimana perempuan menyikapi dirinya dalam tekanan yang melingkupinya, bahkan dari rasa bersalahnya sendiri.
Hubungan Nana bersama Ini (Laura Basuki) kemudian lebih mendominasi penceritaan. Ino seolah menjadi sosok antitesis Nana yang submisif. Independensi Ino, yang dicurigai sebagai selingkuhan sang suami, ternyata menjadi semacam katalis tersendiri bagi Nana.
Dengan Narasi mengawang, Nana adalah sebuah pengalaman sinematis genial. Ada riak, walau secara utuh ia mengalir tenang, mengalun lembut serta menghanyutkan. Selepas itu, susah untuk melupakannya dan bahkan ingin sekali lagi larut di dalamnya.
Rating :