Di antara barisan komika yang mencoba mengembangkan sayap dengan menjadi sutradara, Bene Dion Rajagukguk mungkin adalah satu di antara sedikit yang paling berhasil. Bukan karena film pertamanya, Ghost Writer, laris manis di pasaran dengan mendulang lebih dari satu juta penonton di tahun 2019 lalu, namun karena memang estetika-nya dalam bertutur secara filmis terasa lebih terasah dan siap.
Pria kelahiran Serdang Bedagai (Sumatera Utara) ini pun membuktikan jika Ghost Writer bukan sekedar keberuntungan pemula belaka, tapi karena memang hasil tangan dinginnya. Setidaknya jika menilik film panjang keduanya ini, Ngeri-Ngeri Sedap.
Ngeri-Ngeri Sedap menjadi catatan penting tersendiri bagi Bene, karena melalui film ini ia mengangkat sebuah kisah dengan latar kultur di mana ia berasal, yaitu Batak. Terlepas dari itu, ia tetap menjanjikan jika tema dan pesan dalam film bisa diresapi juga bagi mereka yang berada di luar lingkup salah satu etnis terbesar di Indonesia ini.
Di tahun 2014 lalu, Bene sempat menerbitkan sebuah buku tulisannya, juga berjudul Ngeri-Ngeri Sedap, tentang kehidupan dalam sebuah keluarga Batak. Film ini bukanlah adaptasi buku tersebut, kendati menyambung benang merah sama; sebuah cerita tentang keluarga.
Dikisahkan Pak Domu marga Purba (Arswendy Beningswara Nasution) yang tinggal di pinggir Danau Toba tengah merasa resah. Sudah tahunan berlalu semenjak tiga putranya merantau ke tanah Jawa dan tampaknya belum ada niat pulang juga.
Putra pertama, Domu (Boris Bokir Manullang), sukses sebagai pegawai BUMN dan terpincut seorang mojang Sunda yang geulis, Neny (Indah Permatasari). Putra kedua, Gabe (Lolox), lebih memilih menjadi komedian televisi ketimbang berkarir sebagai pengacara sebagaimana latar studinya. Sedang si putra bungsu, Sahat (Indra Jegel), menemani seorang petani sepuh bernama Pak Pomo (Pritt Timothy) di Yogyakarta sana.
Pak Domu rindu sekali dengan putra-putranya ini, walau ternyata harga dirinya sebagai ayah dan orang tua menghalanginya untuk berterus terang. Walhasil, sang istri alias ibu anak-anak mereka, Mak Domu (Tika Panggabean) yang direpotkan untuk merecoki anak-anak mereka tadi.
Tidak berhasil juga, akhirnya Pak Domu menyusun rencana. Ia mengajak Mak Domu bersandiwara berpura-pura hendak cerai. “Korban” pertama akting mereka ini adalah putri satu-satunya dan menetap bersama mereka, seorang PNS bernama Sarma (Gita Bhebhita Butar-butar). Dengan berurai air mata, Sarma pun berhasil meminta abang dan adik-adiknya untuk pulang kampung.
Tampaknya kunci Bene berhasil dalam berkisah melalui medium film adalah disiplin dan konsistensi. Komedi memang adalah skena yang mengangkat namanya, meskipun ia lebih mengedepankan aspek dramatis dalam penceritaannya.
Oleh karena itu, tidak heran jika porsi lawakan dalam Ngeri-Ngeri Sedap bersifat komplimenter saja dan lebih condong bertugas sebagai pendukung situasi ketimbang terlalu berusaha mencuri atensi penonton sehingga akhirnya malah mendistraksi dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan film.
Penyakit asupan sketsa komedi yang inkoheren dengan jalinan cerita memang kerap diidap oleh film-film sutradara yang berangkat dari skena stand up comedy Indonesia. Berkat disiplin dan konsistensinya tadi, Bene sukses menghindari Ngeri-Ngeri Sedap dari gangguan akut yang sama.
Ia lebih memilih fokus pada bagaimana dinamika keluarga Pak Domu ini bisa tersampaikan dengan baik, tanpa harus dibebani dengan celetukan-celetukan yang mungkin saja lucu, walaupun sebenarnya tidak signifikan dengan plot. Bukan berarti Ngeri-Ngeri Sedap tidak punya momen menggelitik. Banyak malah. Hanya saja mereka hadir secara organis dan terjalin secara baik dengan elemen drama filmnya.
Drama memanglah sajian utama Bene dalam Ngeri-Ngeri Sedap. Film mungkin dibuka dengan sedikit goyah, karena terasa agak berpanjang-panjang dalam membangun set-up, namun selepasnya ia pun mengalir dengan lancar.
Apa yang disajikan film terasa familiar dan akrab, karena memilih alur sederhana dan gampang dicerna. Apalagi Bene mampu menggali dan menghadirkan sisi emosional yang menyentuh hati. Sulit untuk tidak merasa duka di dada saat momen-momen emosional tadi hadir, karena memang tersaji membumi dan dekat ke penonton.
Bisa jadi penyelesaian konfliknya terasa terlalu mudah dan tertebak, mengingat sebenarnya film memiliki spektrum tematis kompleks dan ruwet, karena terkait erat dengan nilai dan norma kultural yang relatif ajeg. Terlepas dari itu, setidaknya pesannya tersampaikan dengan baik.
Sementara itu, dengan catatan bahwa sebagian besar pemain pendukung film juga adalah komika, kecemasan akan pondasi akting yang lemah pasti mencuat. Meski begitu, sekali lagi harus dipuji disiplin Bene untuk menegaskan mereka dalam koridor drama ketimbang komedi belaka. Hasilnya terbukti, Boris, Lolox, Jegel, dan paling utamanya Gita, bisa mengimbangi akting para senior mereka dengan baik.
Satu hal yang pasti, Bene Dion Rajagukguk sudah melakukan lompatan yang tinggi melalui karya sophomore-nya ini. Bukan tanpa kekurangan, seperti misalnya pilihan menggunakan bahasa Indonesia alih-alih bahasa Batak mengingat aspek antroplogis film yang kaya, namun jelas ia sudah menunjukkan jika dirinya adalah salah satu sutradara muda yang sepak-terjangnya layak untuk diikuti.
Rating :