Feature


Senin, 02 Januari 2017 - 21:52:03 WIB
10 Film Asing Terbaik 2016
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 3661 kali

Selamat tahun baru 2017!

Memasuki tahun baru mungkin kita memiliki resolusi yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik ke depannya. Bisa jadi salah satu resolusi mungkin dengan menonton film lebih banyak lagi di tahun 2017 ini.

Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh, tidak ada salahnya melakukan sedikit retrospektif untuk mengulang kembali ingatan akan film-film apa saja yang dianggap terbaik di tahun 2016 lalu.

Sebagai salah satu pangsa pasar perfilman Hollywood, Indonesia tentu tidak kalah dalam kebanjiran film-film blockbuster. Nyaris sepanjang tahun bioskop-bioskop di Indonesia selalu disambangi film-film sejenis ini. Film-film berbujet besar yang dirangka sedemikian rupa untuk menarik perhatian calon penonton dan kemudian berbondong-bondong menuju bioskop.

Jika melihat trend perfilman secara global, film-film yang diangkat dari komik superhero masih mewarnai secara menyolok. Dari 10 film terlaris di sepanjang 2016, 4 di antaranya merupakan kawanan film berjenis ini. Bahkan pengisi daftar puncak box office 2016 adalah Captain America: Civil War yang meraup sebanyak $1.1 miliar. Dan dari 10 film ini, hanya ada 2 yang berangkat dari materi orisinal, Zootopia dan The Secret Life of Pets, yang kebetulan kedua film ini adalah animasi. Sementara sisanya adalah entah remake/reboot, sekuel, prekuel atau spin-off dari franchise besar.

captain-america-civil-war

Captain America: Civil War

Umumnya film-film ini dikerjakan dengan teknik yang baik, meski memang bersifat eskapis dan diniatkan untuk memuaskan selera masal, karena tujuannya memang komersial. Oleh karenanya terkadang memakai formula yang terlalu umum agar ia bisa menarik penonton dalam jumlah besar. Bukan berarti jelek juga, namun agak sulit menemukan yang secara nuansa memiliki signifikansi artistik yang berbeda, sehingga meski menarik untuk ditonton tapi kerap kali sudah terlupakan hanya dalam jarak beberapa pekan setelah menyaksikannya.

Nah, lantas film-film apa saja yang Flick Magazine anggap sebagai film-film yang sulit untuk dilupakan setelah menyaksikannya, karena selain memiliki teknis mumpuni dan berkualitas baik, namun juga menawarkan sesuatu yang berbeda dibandingkan film-film lainnya sepanjang 2016 ini?

Oleh karena itu, inilah 10 Film Asing Terbaik 2016 versi Flick Magazine:

1. Spotlight

spotlight

Momentum dalam Spotlight dibangun perlahan-lahan, namun bergerak menanjak secara pasti, sehingga setidaknya di 15 menit pertama – sebelum anggota tim maupun penonton benar-benar mengetahui apa yang akan mereka hadapi – terkesan lambat pula tak tentu arah. “Apa sih yang ingin disampaikan oleh film ini?,” begitulah kira-kira gerutuan penonton tanpa kesabaran kala mencapai titik ini. Tapi begitu kita melewati fase “mau apa sih kita”Spotlight juga tidak lantas langsung mengaum keras. Ini adalah dampak dari keputusan McCarthy untuk sebisa mungkin mempertahankan film di titik realistis. Full review.


2. Eye In The Sky

eye-in-the-sky

Cakupan latar Eye in the Sky memang terbatas. Sepanjang durasi film kita hanya melihat ruang rapat para politisi, ruang pelaksanaan operasi pihak militer Inggris, hingga lingkungan sekitar markas rahasia Al Shabaab dalam rentang waktu tidak sampai satu hari. Namun keterbatasan ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh sang peracik skrip, Guy Hibbert, yang lantas disarikan Gavin Hood secara gemilang ke bahasa gambar. Tuturan kisahnya berdetak begitu cepat, begitu rapat, sehingga penonton dikondisikan memberi fokus lebih agar tidak kelewatan sederet informasi yang berulang kali berkelebat. Full review.


3. Dangal

dangal

Di tangan seorang sutradara yang kurang handal, Dangal dapat saja berakhir sebagai sebuah film olahraga medioker – yang mengenyampingkan ceritanya demi menghadirkan adegan-adegan pertarungan olahraga. Beruntung, Dangal dieksekusi dengan sangat, sangat baik oleh Tiwari. Tidak hanya Tiwari mampu mengalirkan ritme penceritaan drama film ini dengan lancar, Tiwari bahkan mampu menghadirkan deretan adegan olahraga yang sangat memukau. Tiwari seolah membawa penontonnya langsung ke arena pertarungan gulat, menata pertarungan tersebut dengan begitu apik sehingga penonton dapat merasakan tiap detik ketegangan dalam menyaksikan karakter-karakter film ini dalam usaha mereka untuk meraih kemenangan. Full review.


4. Zootopia

zootopia

Selintas, Zootopia adalah film yang ringan. Mungkin bagi sebagian orang ini bukan jenis film yang perlu berfikir serius untuk menikmatinya. Ada benarnya, mengingat film menyajikan semua yang diinginkan oleh orang yang hanya ingin merasa terhibur saja. Disampaikan dengan teknis animasi yang mumpuni, maka dipastikan Zootopia adalah film yang menyenangkan untuk disimak dalam mengisi waktu luang. Namun naskah yang ditulis oleh Bush dan Phil Johnston ternyata cekatan dalam menyembunyikan banyak subteks yang memiliki relevansi akurat dengan fenomena sosial politik yang tengah terjadi saat ini. Full review.


4. The Revenant

the-revenant

Menonton The Revenant itu seperti melihat koleksi gambar-gambar indah ala Instagram di layar lebar. Mengingat Emmanuel Lubezki bertugas sebagai D.O.P, maka gambar-gambar indah tadi tidak melulu untuk kepentingan visual, tapi juga memberi penekanan pada kedalaman cerita secara psikologis. Tapi yang paling diuji mungkin adalah Alejandro González Iñárritu. Sutradara kenamaan ini diharuskan untuk tidak hanya menampilkan gambar indah, namun berplot tipis dengan kandungan filosofi jenerik. Full review.


6. Hackshaw Ridge

hackshaw-ridge

Kehebatan Hacksaw Ridge setidaknya bersumber dari dua pilar, yakni elemen drama bernafaskan siraman rohani yang merasuk di hati dan elemen laga pada adegan peperangannya yang menggedor jantung. Keduanya bersinergi sempurna, turut terbantu pula oleh performa menakjubkan dari barisan bintang-bintang ternamanya. Kita telah mengetahui kapabilitas seorang Andrew Garfield berolah peran, namun Hacksaw Ridge boleh jadi merupakan ‘game changer’ bagi karir keaktorannya. Full review.


7. The Wailing

the-wailing

Na Hong-jin memanjakan mereka yang memang menyukai film-filmnya, gayanya, dan selera dalam menghadirkan kegilaan, suspense serta kekerasan dosis tinggi. Paruh pertama The Wailing memang terasa mengambang, tapi bukan berarti tak ada adegan yang membuat saya berteriak “anjing benar kau Na Hong-jin!” sambil membentur-bentur kepala ke lantai bioskop. Na Hong-jin ini “pemancing” handal, dia tahu bagaimana membuat penontonnya yang penasaran setengah mati serta lapar akan jawaban pada akhirnya “memakan” umpan buatannya. Butuh sedikit kesabaran, tapi nantinya sepadan ketika The Wailing melangkah ke paruh kedua yang dipenuhi kejutan-kejutan menggila. Na Hong-jin memang sukses membuat mulut saya terbuka lebar tatkala lapis demi lapis misterinya mulai diungkap, tapi apa yang membuat saya semakin menyukai The Wailing adalah sisi supranatural beserta elemen relijius terkait keberadaan iblis. Full review.


8. Under The Shadows

under-the-shadow

Teror yang mendera karakter utama di paruh ini tidaklah berelemen supranatural nan menggedor jantung, melainkan lebih ke psikis akibat rongrongan lingkungan sekitar yang tidak ramah pada perempuan. Anvari mendayagunakan elemen drama ini sebagai corongnya untuk menyuarakan keresahan-keresahannya terhadap para perempuan yang menghadapi diskriminasi gender, selain tentunya demi membentuk karakterisasi dari dua tokoh utamanya agar membentuk ikatan emosi dengan penonton. Bagi penonton yang hanya ingin ditakut-takuti seraya mencemil berondong jagung tanpa mau ribet, laju film ini mungkin akan bermasalah. Cenderung lambat, seringkali sunyi, namun sejatinya tidak pernah berasa menjemukan lantaran rentetan konfliknya mengusik pikiran dengan komentar-komentar sosialnya yang masih terdengar sangat relevan dan performa brilian kedua pelakon utamanya memustahilkan kita untuk masa bodoh pada apa yang mereka alami. Full review.


9. Moana

moana

Meskipun menghadirkan benang merah penceritaan yang telah cukup familiar – mengenai pembuktian kemampuan diri yang sekaligus akan menjadi bagian proses pendewasaan sang karakter utama – sutradara Ron Clements dan John Musker (The Princess and the Frog, 2009) mampu mengemas Moana menjadi sebuah sajian yang lebih berwarna. Naskah cerita yang digarap oleh Jared Bush (Zootopia, 2016) sendiri juga menyimpan beberapa cabang penceritaan yang tidak hanya berhasil ditampilkan dengan lugas namun juga mampu dikembangkan dengan baik. Simbolisme mengenai hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya juga menjadi fokus dan disampaikan secara cerdas. Kesan feminis yang begitu kuat dari sang karakter utama juga membuat karakter Moana menjadi begitu berwarna. Tidak seperti kebanyakan “puteri Disney” lainnya, Moana ditampilkan sebagai sosok yang lebih independen dalam menemukan dan memilih garis kehidupannya. Pencapaian cerita yang cukup mengagumkan. Full review.


10. 10 Cloverfield Lane

10-cloverfield-lane

Dengan karakter kunci sejumlah tiga orang saja dan seting terbatas, teror yang diumbar 10 Cloverfield Lane jelas dalam koridor thriller psikologis yang klaustropobik. Menarik bagaimana film tampaknya lebih tertarik untuk mengadaptasi pendekatan ala Hitchcock, bermain-main dengan rasa curiga dan praduga, sehingga pada beberapa kesempatan ia mengingatkan akan suspense thriller ala dekade 50 atau 60-an. Sepanjang durasi kita akan larut dalam permainan hide-and-seek mendebarkan. Tidak melulu dalam tataran psikologis, karena sisipan beberapa adegan menegangkan menambah sedap cita rasa alurnya. Full review.


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.