Walt Disney Pictures kembali membuktikan keunggulannya di tahun 2016 ini. Tidak hanya dari segi komersial – dimana rumah produksi yang dibangun oleh Walt Disney dan Roy O. Disney di tahun 1923 sekali lagi berhasil menjadi rumah produksi tercepat dalam membukukan pendapatan komersial sebesar US$1 miliar dari film-film yang mereka produksi – Walt Disney Pictures juga tetap berhasil mempertahankan kualitas kokoh dari setiap film yang mereka produksi. Lihat saja dua film yang dirilis divisi animasi mereka, Walt Disney Animation Studios, untuk tahun ini: Zootopia (Byron Howard, Rich Moore) dan Moana. Kedua film animasi tersebut tidak hanya mampu menghadirkan kisah drama keluarga yang menghibur sekaligus inspiratif khas film-film animasi Disney lainnya namun, di saat yang bersamaan, juga memiliki signifikansi yang begitu terhubung dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat modern saat ini. Jika Zootopia berbicara mengenai hubungan antar manusia – termasuk pandangan mengenai rasisme dan komposisi masyarakat multikultural, maka Moana hadir untuk mengingatkan kembali penontonnya tentang hubungan yang sama pentingnya antara manusia dengan alam sekitarnya. Tentu saja disampaikan sesuai dengan tata berbicara film-film drama keluarga khas Disney lainnya.
Merupakan film animasi ke-56 yang diproduksi oleh Walt Disney Animation Studios, Moana – yang berarti lautan dalam Bahasa Polinesia – berkisah mengenai Moana Waialiki (Auli’I Carvalho), puteri seorang kepala suku di sebuah desa kecil di Motunui yang telah digariskan untuk mengikuti jejak sang ayah untuk menjadi pemimpin di desa tempat ia dilahirkan. Moana sendiri sebenarnya memiliki hasrat bertualang yang begitu tinggi. Namun, akibat trauma yang dialami pada masa mudanya, sang ayah, Chief Tui Waialiki (Temuera Morrison), dengan keras melarang sang puteri untuk melakukan berbagai hal yang dinilainya dapat membahayakan jiwa Moana. Hingga suatu saat Motunui mulai menghadapi krisis pangan: hasil panen masyarakat ditemukan dalam kondisi membusuk dan ikan-ikan tidak lagi dapat ditemukan berada di sekitar perairan desa tersebut. Merasa turut bertanggungjawab atas desa yang akan ia pimpin di masa yang akan datang, Moana akhirnya secara sembunyi-sembunyi meninggalkan Motunui untuk mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapi masyarakat desanya.
Meskipun menghadirkan benang merah penceritaan yang telah cukup familiar – mengenai pembuktian kemampuan diri yang sekaligus akan menjadi bagian proses pendewasaan sang karakter utama – sutradara Ron Clements dan John Musker (The Princess and the Frog, 2009) mampu mengemas Moana menjadi sebuah sajian yang lebih berwarna. Naskah cerita yang digarap oleh Jared Bush (Zootopia, 2016) sendiri juga menyimpan beberapa cabang penceritaan yang tidak hanya berhasil ditampilkan dengan lugas namun juga mampu dikembangkan dengan baik. Simbolisme mengenai hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya juga menjadi fokus dan disampaikan secara cerdas. Kesan feminis yang begitu kuat dari sang karakter utama juga membuat karakter Moana menjadi begitu berwarna. Tidak seperti kebanyakan “puteri Disney” lainnya, Moana ditampilkan sebagai sosok yang lebih independen dalam menemukan dan memilih garis kehidupannya. Pencapaian cerita yang cukup mengagumkan.
Arahan Clements dan Musker terhadap jalan penceritaan Moana memang tidak selalu berjalan sempurna. Ritme film ini mulai terasa mengendur pada paruh kedua penceritaannya. Ditambah dengan minimnya konflik yang dibangun dan berkembang pada bagian tersebut, Moana pada beberapa saat tampil dengan cukup monoton. Untungnya hal tersebut tidak berlangsung lama atau berpengaruh besar pada kualitas penceritaan Moana secara keseluruhan. Pada banyak bagian, lagu-lagu yang ditampilkan dalam film ini mampu menjadi pengisi kekosongan tersendiri. Seperti halnya Frozen (Chris Buck, Jennifer Lee, 2013), Moana juga dikemas sebagai sebuah drama musikal. Tata musik dan lagu yang digarap oleh Mark Mancina, Lin-Manuel Miranda dan Opetaia Foa’i tampil dengan kuat secara emosional dalam mengisi banyak adegan film. Tidak hanya itu, dengan ritme dan nada yang dapat dinikmati layaknya lagu-lagu popular kebanyakan, lagu-lagu yang mengiringi Moana dipastikan akan menambah panjang daftar lagu dari film-film animasi Disney yang akan dikenang dan menjadi kegemaran banyak penontonnya di masa yang akan datang. How Far I’ll Go and We Know The Way are simply instant classics!
Kualitas tata visual Moana, seperti halnya film-film animasi produksi Disney lainnya, tidak perlu dipertanyakan lagi, Dalam film ini, tata visual film mampu memberikan pemandangan alam yang begitu memikat. Mulai dari hijaunya alam sekitar Motunui hingga birunya pemandangan lautan yang dijelajahi oleh Moana, kualitas visual Moana berada pada tingkatan yang sangat, sangat memuaskan. Para pengisi suara Moana juga berhasil memberikan nyawa bagi setiap karakter yang mereka perankan. Dwayne Johnson sekali lagi membuktikan kemampuannya sebagai seorang aktor. Tidak hanya sukses sebagai pengisi suara, Johnson bahkan tampil apik dalam menyanyikan sebuah lagu dalam film ini. Aktris muda Auli’I Carvalho juga tampil tanpa cela sebagai Moana. Vokal Carvalho-lah yang membuat Moana begitu kuat penampilannya – mulai dari lagu-lagu yang ia nyanyikan sampai setiap detil emosional yang dijalani karakternya dalam pengisahan film. Para pengisi suara lainnya juga melengkapi solidnya kualitas film yang dalam beberapa tahun mendatang dipastikan akan diingat sebagai salah satu film klasik terbaik produksi Disney ini.
Rating :