Feature


Sabtu, 03 Januari 2015 - 11:16:08 WIB
10 Film Asing Terbaik 2014 Flick Magazine
Diposting oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 4699 kali

Tidak terasa tahun 2014 sudah berlalu dan kita sudah memasuki bulan pertama 2015. Tahun baru, tentunya rangkaian fillm-film baru yang siap untuk disaksikan selama setahun ke depan. Tapi, sebelumnya, tidak ada salahnya kita menilik setahun belakang ini dan meninjau kira-kira film apa yang memiliki kesan mendalam.

Ada banyak film berbahasa asing yang masuk ke jaringan bioskop kita dan siap untuk disaksikan bersama-sama. Berbagai genre dan negara pun memeriahkan, siap memberikan kisah-kisah yang menarik. Tapi, dari barisan film tersebut, manakah yang memilki kesan tersendiri? Tentu saja jawabnya berbeda-beda untuk setiap orang.

Di tengah perbedaan opini atau pendapat atau impresi tersebut, Flick Magazine juga memiliki daftar 10 film berbahasa asing yang berkesan. Film-film yang dianggap mewakili taklimat terbaik untuk tahun 2014 yang lalu.

Tanpa berbasa-basi lagi, inilah 10 Film Berbahasa Asing Terbaik 2014 versi Flick Magazine:

10.

(Amerika / Komedi-Drama)

Adanya kedekatan secara personal terhadap Walter Mitty yang akan dengan mudah membuat banyak penonton terkoneksi dengannya, menaruh simpati, dan memberi dukungan tulus adalah yang membuat The Secret Life of Walter Mitty terasa begitu istimewa. Belum lagi, di samping sisi humor gila-gilaan yang menjadi ciri khas Stiller (lihat saja di film garapannya yang lain; Tropic Thunder, Zoolander, dan The Cable Guy) masih dipertahankan meski untuk sekali ini kadarnya sedikit diturunkan, gelaran aksi petualangan mendebarkan yang akan membawa kita mengikuti petualangan fantastis dari Walter Mitty – bertarung dengan hiu ganas, menghindari amukan gunung berapi, terjun dari helikopter, menjelma sebagai Benjamin Button, menuruni bukit di Islandia menggunakan skateboard, hingga mengacaukan lalu lintas padat di New York City – ada hati, kehangatan, dan ketulusan yang tertuang ke dalam penceritaan sehingga saat film telah menemui penghujungnya tanpa disadari kita akan memeluk erat-erat orang terkasih yang menonton bersama kita atau justru menyeka air mata lantaran kombinasi tepat antara penuturan yang menggugah emosi dan adegan penutup yang begitu indah.  
Full review.

09.

(Jepang / Animasi)

Bagi siapapun, para pemuja serial anime yang telah menghiasi layar kaca nasional sejak 25 tahun silam, Stand By Doraemon adalah kado yang sebaiknya tidak ditolak keberadaannya. Mengapungkan kembali memori-memori indah yang sudah terjalin menahun melalui medium manga atau anime bersama Doraemon dan konco-konco. Dengan materi utama dicuplik dari manga utama – bukan edisi petualangan atau semacamnya – maka tentu saja penceritaan di sini tak jauh-jauh dari interaksi keseharian antara Dora dan Nobita beserta orang-orang di sekelilingnya tanpa melibatkan petualangan sarat akan nuansa fantasi ke negeri antah berantah seperti yang biasa kita saksikan di versi layar lebar. Di sini, Yamazaki dan Yagi menekankan pada upaya Doraemon untuk membantu Nobita menjadi manusia yang jauh lebih baik serta persahabatan singkat nan berkesan yang melingkupi keduanya. Banyak tawa canda muncul disebabkan tingkah laku konyol setiap tokoh maupun tangis haru di beberapa adegan krusial. Bahkan, untuk menambah daya pikat, si pembuat film pun tak luput membubuhkan ramuan berwujud semangat lewat keseruan sisi petualangan saat alat-alat ajaib Doraemon dikeluarkan atau ketika Nobita ‘bertamu’ ke masa depan.  
Full review.

08.

(Amerika / Drama-Laga)

Berkaitan dengan sajian berhiaskan kekerasan, kebrutalan, maupun ketegangan, kita tidak perlu lagi meragukan kapasitas dari seorang David Ayer dengan jejak rekamnya yang mengagumkan – dari U-571, Training Day, hingga End of Watch. Jika ada yang membedakan Fury dengan beberapa film arahan Ayer sebelum ini, maka itu terbatas pada skala yang sekali ini jauh lebih grande. Harus diakui, Fury adalah salah satu film perang terbaik yang pernah dihasilkan oleh sineas manapun paska kegemilangan Saving Private Ryan. Corak khas Ayer yang enggan berkompromi dengan kekerasan dan kesukaannya memperhatikan detail, diterapkannya pula di sini sehingga aroma teror dari medan pertempuran semerbak terasa. Kamu akan merasakan nuansa yang jauh dari kata menyenangkan, dingin, suram, mengerikan, serta menyedihkan saat Ayer mengajakmu untuk mengikuti perjalanan para protagonis menelusuri zona perang.
Full review

07.

(Amerika / Animasi)

Keberadaan sekuel dari sebuah film sukses biasanya ditengarai sebagai perpanjangan tangan akan naluri bisnis belaka. Niat untuk mengeruk keuntungan berdasarkan materi yang sudah memiliki banyak peminat biasanya tidak diimbangi dengan konsistensi dalam mengerjakan produk yang tetap terjaga kualitasnya. Tapi tidak demikian dengan How to Train Your Dragon 2. Naskah yang dikerjakan oleh Dean DeBlois, yang sekaligus bertindak sebagai sutradara, terasa sangat pas menjadi bagian dari film pertamanya yang diangkat dari buku karya Cressida Cowell. Perpindahan narasinya terasa organis dan dieksekusi dengan mulus, seolah-olah kedua film ini memang sudah seharusnya menjadi satu bagian.  
Full review.

06.

(Amerika / Aksi-Laga)

Dalam John Wick, kekerasan adalah filosofi utama yang diusung dan menjadi aspek tematis film. Kekerasan diperlukan justru untuk memberi penekanan pada karakter John Wick itu sendiri. Karakter yang mencoba untuk melupakan masa lalunya yang penuh darah. Masa lalu yang sayangnya tidak pernah mau jauh-jauh darinya, bagaimanapun cara John Wick menghindar. Ia selalu ada. Dan saat masa lalu berbentuk kekerasan tadi datang, John Wick memeluknya dengan tanpa ragu, karena itu merupakan naluri dasarnya. Reeves tampil dengan sangat baik dalam menerjemahkan sosok John Wick. Reeves, sebagaimana Wick, adalah sosok berbekal pengalaman yang banyak, terutama dalam skena film aksi-laga. Ia tidak perlu mencoba memamerkan eksistensinya. Ia hanya perlu hadir, dan kehadirannya itu sendiri sudah cukup menghembuskan persona sebagai sosok mematikan yang tangguh.  
Full review.

05.

(Amerika / Fantasi-Laga)

Bryan Singer is back! Kekacauan yang ditimbulkan oleh X-Men: The Last Stand dan betapa mengagumkannya X-Men: First Class sebagai sebuah reboot tampaknya telah memacu Singer untuk mengambil alih tampuk penyutradaraan pada X-Men: Days of Future Past yang merupakan bagian kedua dari era baru franchise para superhero mutan ini setelah First Class. Tidak seperti jilid pendahulu yang lebih sering bermain-main (dan memiliki nuansa yang cerah ceria), Days of Future Past yang menganut pada tuturan kisah dari edisi komik berjudul sama yang terbit pada tahun 1981 ini pun mengikuti jejak sekuel film superherokebanyakan yang merubah tone penceritaan menjadi lebih dewasa, kelam, dan gelap. Tidak ketinggalan, berambisi membuatnya sebagai seri terbaik, Singer pun menghidangkan Days of Future Past dengan asupan aksi yang jauh lebih menggelegar, penuh kegilaan, dan (tentunya) berskala masif.   Full review.

04.

(Amerika / Fantasi-Laga)

Godzilla versi Edwards memiliki tone dan atmosfir yang lebih serius. Ini mungkin menjadi sedikit masalah saat sesi drama muncul, karena bisa menimbulkan kesan yang monoton. Tapi karena keseriusan tadi, konsep yang konyol di atas kertas menjadi begitu meyakinkan. Apalagi saat klimaks duel Godzilla dengan para M.U.T.O. Lupakan orang-orang dengan kostum lateks. Efek khusus yang luar biasa akhirnya menghidupkan dengan sempurna duel monster raksasa yang selama ini kita mimpikan. Meski Godzilla versi Emmerich tidak mendapat banyak cinta, tapi Edwards justru berhutang kepadanya, karena Godzilla versinya ini jelas mengambil struktur plot Independence Day(1996), salah satu film musim panas terbaik yang pernah ada. Dan dengan ini, juga berkat kepiawaian orang-orang di belakangnya, not only returning Godzilla to its glory, ia pun resmi dinobatkan sebagai salah satu film musim panas terbaik yang pernah ada. 
Full review

03.

(Amerika / Animasi)

Big Hero 6 memang memiliki formula yang diharapkan ada pada sebuah film superhero, meski sekali ini berwujud animasi. Sebut saja yang kamu inginkan: aksi gegap gempita?Check! Guyonan segar pencair ketegangan? Check! Drama mengharu biru penguras emosi?Check! Villain yang tangguh? Check! Tokoh utama yang mudah untuk dicintai? Check! Dan karena ini film keluarga, pesan moral yang bagus untuk anak-anak? Check! Big Hero 6 betul-betul tidak kekurangan amunisi untuk menjadikannya sebagai hidangan keluarga bercita rasa hiburan yang lezat menggoyang lidah. Selain tuturannya yang apik mengikat, film pun masih dianugerahi oleh visual cantik pula detil yang menabrakkan budaya Barat dengan Timur, isian tembang pengiring penggugah semangat dari Fall Out Boy (‘Immortals’), dan... Baymax. Ya, Baxmax. Keberadaan robot gendut berbentuk marshmallow raksasa yang imut-imut menggemaskan ini saja sudah cukup untuk dijadikan sebagai alasan untuk tak melewatkan Big Hero 6. Kepolosan dari karakter yang segera menjadi ikonik di masa mendatang ini akan membuatmu terpingkal-pingkal, gregetan sekaligus jatuh hati kepadanya. Menambah daya tarik dari film yang pada dasarnya sudah sedemikian menarik ini.

Full review.


02.

(Amerika / Fantasi-Laga)

Tidak sedikit pun menaruh pengharapan terhadap Edge of Tomorrow, tanpa disangka-sangka film ini memberi kejutan yang mengasyikkan. Dimulai dengan agak lambat, meraba-raba akan kemana film dihantarkan oleh Doug Liman (The Bourne Identity, Mr. & Mrs. Smith), film mulai memberi hentakan saat memasuki menit ke-30 lewat sebuah adegan pertempuran yang tergelar besar, seru dan ganas antara manusia dengan para alien di pantai yang sedikit banyak terasa seperti percampuran antara Saving Private Ryan dan Starship Troopers. Perhatian saya perlahan-lahan mulai tercuri dan (akhirnya) sepenuhnya tercuri setelah seluruh peristiwa terulang kembali dari awal. Ya, mengingatkan kepada Groundhog Day (atau mungkin juga Source Code dan Looper) dimana sang tokoh utama ‘dipaksa’ menjalani hari yang sama berulang kali hingga misi berhasil dicapai. Seperti itulah Edge of Tomorrow menjabarkan tuturannya. Saat Cage menemui ajalnya, maka segalanya akan secara otomatis me-reset ulang.

Full review.


01.

(Amerika / Fantasi-Laga)

Kekuatan Guardians of the Galaxy dipegang oleh barisan tokohnya yang mudah sekali untuk dicintai. Sebagian besar dari kita mungkin baru mengenal Quill, Gamora, Dex, Rocket, dan Groot di film ini, namun gairah untuk mengenalnya lebih jauh langsung mengemuka hanya beberapa saat setelah film dimulai. Interaksi penuh kegilaan yang menghibur dalam tim (yang sungguh sulit dipercaya bisa terwujud) adalah salah satu poin terpenting mengapa Guardians of the Galaxymencuri hati banyak orang. Chemistry antar tokoh terjalin meyakinkan dan para bintangnya pun tampak menikmati sekali peran yang dibawakannya, khususnya Chris Pratt yang sebelum ini tidak mempunyai kharisma untuk memimpin segerombolansupehero karena tubuh gembulnya. Sedangkan Bradley Cooper dan Vin Diesel – yang berulang kali hanya mengucap kalimat sama, “I am Groot” – sangat mencuri perhatian meski penampilan hanya sebatas pada isian suara. Rasa-rasanya, jika ada gelaran survei perihal tokoh terfavorit di Guardians of the Galaxy, keduanya tiada akan kesulitan mendominasi posisi puncak.

Full review.


Jadi, sampai ketemu tahun depan. Sebelum kita memutuskan apa 10 film terbaik tahun 2015 nantinya, yang tentu saja setelah kita menyaksikan film-film yang tayang tahun ini.

Apa film favorit kamu? Feel free to vote below:


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.