Tersusun atas setumpuk kisah menarik dengan sudut-sudut yang belum sepenuhnya tereksplorasi, tidak mengherankan apabila Perang Dunia II menjadi salah satu topik perbincangan yang digemari oleh para sineas perfilman dunia. Bukan sebatas disukai di kalangan Blok Sekutu, tetapi merembet pula ke Blok Poros. Setiap tahun, kamu akan menjumpai film yang meletakkan perang akbar ini sebagai landasan utama untuk bertutur dengan kualitas yang beraneka ragam. Walau banyak pula yang tergarap secara baik, akan tetapi Steven Spielberg telah menetapkan standar tinggi untuk ‘war movies’ bersetting Perang Dunia II lewat Saving Private Ryan dua dekade silam sehingga film apapun dari genre ini yang terlahir paska 1998 tidak cukup sekadar berada di tingkatan ‘baik’ melainkan kudu mencapai ‘hebat’. Usai serangkaian rilisan yang timbul tenggelam – bahkan seringkali berlalu begitu saja – dalam beberapa tahun terakhir, David Ayer (U-571, End of Watch) dengan segala keambisiusannya melontarkan Fury yang diharapkan mampu menumbuhkan kembali semangat bagi war movies. Mampukah?
Fury yang berarti ‘amarah’ merupakan nama kendaraan lapis baja M4A3E8 Sherman yang digawangi oleh Don ‘Wardaddy’ Collier (Brad Pitt) beserta ketiga anak buahnya, meliputi Boyd ‘Bible’ Swan (Shia LaBeouf), Grady ‘Coon-Ass’ Travis (Jon Bernthal), dan Trini ‘Gordo’ Garcia (Michael Pena). Keempatnya telah ditugaskan bersama semenjak berbulan-bulan silam di Afrika Utara dan kini dimandatkan untuk memerangi Nazi yang berujung pada tewasnya anggota kelima pada awal film. Tidak berselang lama dari masa berkabung, Fury kedatangan kru baru, Norman Ellison (Logan Lerman), yang ndilalah masih sangat awam dengan medan pertempuran. Jangankan mengokang senjata, memberondong peluru ke arah musuh, atau menginjakkan kaki di zona perang, melihat isi tank saja belum pernah. Bahkan, kepolosan Norman berujung pada tumbangnya satu pasukan lantaran diserang oleh kaum militan Jerman. Menyadari bahwa kelangsungan hidup awak Fury – sekaligus Blok Sekutu – berada di ujung tanduk apabila Norman dibiarkan senantiasa ketakutan, maka Don sebagai ‘kepala keluarga’ pun memutuskan turun tangan.
Menjawab pertanyaan yang tertinggal di akhir paragraf pembuka, saya akan katakan: ya, mampu. Berkaitan dengan sajian berhiaskan kekerasan, kebrutalan, maupun ketegangan, kita tidak perlu lagi meragukan kapasitas dari seorang David Ayer dengan jejak rekamnya yang mengagumkan – dari U-571, Training Day, hingga End of Watch. Jika ada yang membedakan Fury dengan beberapa film arahan Ayer sebelum ini, maka itu terbatas pada skala yang sekali ini jauh lebih grande. Harus diakui, Fury adalah salah satu film perang terbaik yang pernah dihasilkan oleh sineas manapun paska kegemilangan Saving Private Ryan. Corak khas Ayer yang enggan berkompromi dengan kekerasan dan kesukaannya memperhatikan detail, diterapkannya pula di sini sehingga aroma teror dari medan pertempuran semerbak terasa. Kamu akan merasakan nuansa yang jauh dari kata menyenangkan, dingin, suram, mengerikan, serta menyedihkan saat Ayer mengajakmu untuk mengikuti perjalanan para protagonis menelusuri zona perang.
Walau sebisa mungkin Ayer menjaga filmnya di koridor realistis, bagaimanapun juga Furydipertunjukkan sebagai gelaran hiburan. Di balik suasana serba tidak nyaman yang melingkupi, kamu juga masih memperoleh sejumlah kesenangan dari adegan peperangannya yang impresif, mendebarkan, pula penuh kejutan. Salah satu paling mengesankan dari Fury adalah ‘pertarungan laser’ tank melawan tank yang jarang sekali (atau malah belum pernah) kita lihat di film sejenis yang disepuh menggunakan efek khusus bombastis dan sound design menakjubkan lewat suara desingan peluru maupun dentuman sehingga berhasil tergelar dramatis. Dan... ini bukan satu-satunya. Selama durasi merentang sepanjang 134 menit, Wardaddy dan konco-konco dihadapkan pada serangkaian serbuan tak ada habisnya. Bahkan, tak jarang pula kemunculannya belum kamu antisipasi sebelumnya. Seperti halnya saat berada di medan perang sesungguhnya, kamu tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Inilah faktor utama yang membuatmu akan kesulitan melepaskan cengkraman erat dari kursi bioskop.
Selain bagaimana si pembuat film menggambarkan kebiadaban perang serealistis mungkin – kamu akan melihat pemandangan memilukan dari pengantin berjalan di tengah kerumunan pengungsi atau seorang wanita menyantap bangkai hewan sebagai menu makan malam, lalu pemandangan tak sedap semacam tubuh manusia terkoyak-koyak, terlindas tank, atau memuncratkan darah yang kesemuanya dirakit lewat sinematografi indah – Furyjuga menonjolkan interaksi antar karakter yang kuat untuk menimbulkan ikatan bersama penonton. Brad Pitt yang diposisikan sebagai daya pikat utama bagi film (seperti biasa) bermain hebat sebagai sosok ayah yang berusaha keras mengayomi ‘putra-putranya’ hingga titik darah penghabisan. Sementara barisan pemain pendukungnya pun tidak kalah mengesankannya dengan Logan Lerman dan Shia LaBeouf menonjol lewat peran masing-masing. Keduanya memberi air muka yang membuat penonton turut merasakan ketakutan, kepedihan, sekaligus pengharapan dari para kru Fury. Ketika kita berhasil dibuat terhipnotis untuk peduli terhadap nasib maupun perasaan dari para protagonis di suatu film, maka pada saat itulah kita menyadari tengah menonton sebuah film yang sangat bagus.
Rating :