Beberapa tahun terakhir ini Hollywood seperti kehilangan taji dalam memberikan film-film aksi laga yang mengandalkan kekerasan yang prima sebagai sajiannya. Alasan mengerjar rating PG-13 sepertinya dapat menjadi kambing hitam. Mengapa tidak? Dengan rating tersebut maka pangsa pasar menjadi lebih luas dan pemasukan pun menjadi lebih besar. Setelah dua film pertamanya hadir dengan rating R, judul ketigaThe Expendables memilih PG-13 dan walhasil ia seperti macan ompong kehilangan ketangguhannya, meski harus diakui film tetap menampilkan aksi laga yang lumayan menarik.
Kekurangan film-film aksi dengan rating PG-13 ini pada umumnya adalah hilangnya rasa bahaya yang lekat. Bagaimanapun dengan kekerasan yang berlebih, rasa bahaya tadi hadir dengan lebih kuat, dan pada akhirnya menghadirkan sensasi realisme yang menggodor perasaan penonton. Mereka tidak hanya memerlukan koreografi laga yang memikat, tapi juga brutalitas vulgar sebagai aksentuasi akan kekerasan yang menjadi esensi dari film laga tersebut. Tidak heran The Raid (2011) maupun The Raid 2 (2014) kemudian mendapat antusiasme yang cukup tinggi akibat rasa rindu penonton akan film aksi laga yang keras, gahar dan penuh darah.
Seolah menjawab tantangan tersebut, sekarang hadir John Wick yang mengembalikan fitrah film aksi laga Hollywood yang dulu populer karena kadar kekerasannya yang tebal. Film ini merupakan buah karya perdana dari David Leitch yang dibantu oleh Chad Stahelski. Mereka adalah sosok-sosok yang sebelumnya sudah kenyang makan asam-garam di dunia film laga berkat peran mereka sebagai stuntman ataupun penata laga.
Mereka beruntung bisa mendapatkan aktor veteran di genre ini, Keanu Reeves, untuk mengisi sosok yang menjadi sentra film. Di usia yang tak lagi muda, 50 tahun, Reeves masih terlihat gagah dan gesit dalam menunaikan tugasnya. Ia mengisi John Wick dengan sempurna, seorang mantan pembunuh bayaran senior yang tak pernah kehilangan ketrampilannya.
Naskah yang ditulis oleh Derek Kolstad tidaklah istimewa. Kisah balas dendam seorang mantan pembunuh bayaran yang telah menggantungkan senjata bukan hal baru. Bahkan plot cenderung tertebak dengan mudah, meski dihadirkan dengan berbagaitwist yang seharusnya hadir untuk menambah instensitas.
Dikisahkan John Wick baru saja kehilangan sang istri tercinta, Helen (Bridget Moynahan), akibat kanker. Sang istri meninggalkan seekor anak anjing untuk dirawat dan dijaga oleh John. Namun rasa duka John harus terkoyak saat seorang pemuda benama Iosef (Alfie Allen) mengusik hidupnya. Tidak hanya ia dan kawanannya merampok mobil Mustang ’69 kesayangan John, Iosef bahkan membunuh sang anak anjing.
Bercampur duka dan kegeraman akan tindakan Iosef yang merenggut peninggalan berharga sang istri, John pun mulai melakukan aksi balas dendam. Masalahnya Iosef merupakan anak mantan boss-nya, seorang mafia Rusia bernama Viggo Tarasov (Michael Nyqvist) yang akan melakukan apa saja untuk menghentikan upaya John Wick.
Friksi inilah yang menghiasi John Wick. Aksi balas dendam serta upaya menahannya menjadi alasan bagi film untuk menampilkan berbagai adegan adu tembak ala Gun Kata dan perkelahian yang seru dan mendebarkan. Brutal tentu saja. Darah berceceran dimana-mana. Sadisme menjadi kata kunci. Mungkin agak terdengar berlebihan. Toh, ketegangan bisa dibangun melalui ketrampilan sang sutradara ataupun pemainnya dalam meramu adegan laga, bukan melulu memberi penekanan pada kekerasannya.
Tapi dalam John Wick, kekerasan adalah filosofi utama yang diusung dan menjadi aspek tematis film. Kekerasan diperlukan justru untuk memberi penekanan pada karakter John Wick itu sendiri. Karakter yang mencoba untuk melupakan masa lalunya yang penuh darah. Masa lalu yang sayangnya tidak pernah mau jauh-jauh darinya, bagaimanapun cara John Wick menghindar. Ia selalu ada. Dan saat masa lalu berbentuk kekerasan tadi datang, John Wick memeluknya dengan tanpa ragu, karena itu merupakan naluri dasarnya.
Reeves tampil dengan sangat baik dalam menerjemahkan sosok John Wick. Reeves, sebagaimana Wick, adalah sosok berbekal pengalaman yang banyak, terutama dalam skena film aksi-laga. Ia tidak perlu mencoba memamerkan eksistensinya. Ia hanya perlu hadir, dan kehadirannya itu sendiri sudah cukup menghembuskan persona sebagai sosok mematikan yang tangguh.
Aktor Swedia Michael Nyqvist (Trilogi The Girl With The Dragon Tattoo, Mission: Impossible – Ghost Protocol) hadir sebagai lawan imbang Reeves. Versatilitasnya sebagai aktor tentunya sudah tidak perlu diragukan lagi. John Wick pun beruntung karena didukung oleh barisan aktor kuat lainnya, seperti Willem Dafoe, John Leguizamo, Ian McShane dan juga Adrianne Palicki, yang sepertinya makin betah menjadi sosok tangguh. Mereka berperan sebagai teman dan lawan bagi John Wick dengan agenda yang tak terduga. Oh ya, film juga menampilkan Daniel Bernhardt yang pastinya familiar bagi para penggemar film aksi.
Tapi kekuatan John Wick tidak hanya terletak di barisan pemain yang kuat atau kecekatan David Leitch dan Chad Stahelski dalam meramu adegan laga. Ternyata sebagai sutradara mereka juga memiliki estetika seni yang cukup terasah. Film dibuka dengan atmosfir murung yang menguar dengan sangat kuat. Tata sinematografi oleh Jonathan Sela menampilkan visual yang mendukung untuk itu. Di bagian ini, John Wick seolah-olah menjanjikan sebuah thriller gelap ketimbang aksi bertempo cepat.
Barulah saat aksi mengambil porsi terbesar film, konsep cenderung bergeser dengan memakai pendekatan ala komik. Nuansa murung tadi masih ada. Hanya saja film kini hadir dengan bumbu komedi yang cukup tebal, meski John Wick sendiri tetap berada dalam mode serius. Perpindahan tone ini dilakukan oleh David Leitch dan Chad Stahelski dengan sangat mulus dan meyakinkan. Sungguh tidak ada tanda jika ini merupakan proyek debut mereka.
Dengan segala potensinya, jelas John Wick adalah film aksi Amerika Serikat terbaik saat ini. Tidak hanya ia mengembalikan fitrah film laga dalam bentuknya yang paling mendasar, aksi keras dan gahar, tapi ia juga merupakan sebuah aksi yang sangat seru, mendebarkan dan memuaskan untuk disimak.
Rating :