Saat Gareth Edwards mengerjakan Monsters (2010), ia sengaja mengulur waktu untuk menampilkan sosok monsternya dan mengisi porsi plot dengan drama yang tebal. Tapi saat sosok yang ditunggu muncul, semua kesabaran tadi pun terbayarkan. Pendekatan yang sama diberlakukannya saat mengerjakan Godzilla, sebuah proyek reboot dan versi Amerika kedua yang ambisius.
Orang-orang di belakang layar memang tepat memercayakan Edwards untuk menggarap kisah sang raja monster terbaru ini, meski hanya bermodalkan satu film kecil seperti Monsters. Tidak hanya ia memiliki ketrampilan dalam mengeksekusi adegan-adegannya dengan menarik, jelas terlihat jika Edwards menguasai dengan benar sejarah dan karakteristik Godzilla itu sendiri.
Godzilla (1998) versi Roland Emmerich. dikritisi karena "menghianati" esensi orisinalnya serta membelokkan sang monster menjadi "mahluk buas" yang tak berkarakter. I really enjoyed that film and I like it, tapi saya setuju dengan semua kritisi yang disampirkan kepadanya.
Seperti tak ingin mengulang kesalahan yang sama, Edwards dengan gemilang menghadirkan Godzilla ke fitrahnya. Menjadikan Godzilla sosok monster yang mengerikan sekaligus dicintai. Bagi yang besar dengan film-film Godzilla, yakinlah jika film ini akan membayar semua kekecewaan, karena tidak hanya setia dengan karakterisasi Godzilla versi aslinya namun juga penuh referensi sebagai bahan nostalgia.
Tapi, seperti disebutkan di atas, Edwards sengaja mengulur waktu untuk kita benar-benar bisa menyaksikan sosok raksasa sang monster. Jika pun ada, hanya berupa kelebatan-kelebatan. Syukurlah, meski sekilas, Edwards sangat memahami konsep less is better. Teaser tadi sukses menggoda. Membuat kita tidak sabar menunggu penampakan Godzilla. Seperti sudah banyak disebutkan, Edwards jelas mengadopsi konsep Jaws (1975) milik Steven Spielberg saat mengerjakan bagian ini.
Sembari menunggu, naskah yang ditulis oleh Max Borenstein menghadirkan beberapa karakter manusia yang uniknya diperankan oleh barisan pemain yang dikenal dengan aspek dramatis mereka, seperti Ken Watanabe, Elizabeth OlsenJuliette Binoche, Sally Hawkins, David Strathairn dan Bryan Cranston. Daftar ini terlihat seperti pemain pengisi film kelas Oscar ketimbang B-Movies.
Godzilla is all about the monster(s). Jadi jangan heran jika karakter-karakter yang diperankan oleh mereka terasa tidak berkembang atau inpirasional, meski dimainkan dengan cukup baik. Bahkan Aaron Taylor-Johnson (Kick-Ass, Anna Karenina, Avengers: Age of Ultron) yang bertugas sebagai pemain utama pun kurang begitu kuat. Tapi menarik melihat karakternya menolak menjadi arketipe karakter dari film-film sejenis. Ia terasa sebagai karakter sehari-hari yang membumi dan gampang terelasikan.
Plot juga bukan sesuatu yang penting disini. Tema utamanya adalah amukan Godzilla melawan dua M.U.T.O (Massive Unidentified Terrestrial Organism), monster purba yang berniat untuk berkembang biak di jaman moderen ini. M.U.T.O. didesain sebagai perwakilan generasi monster masa kini yang terlihat kontemporer dan kompleks. Diadu dengan Godzilla yang lebih sederhana dan klasik. Hasilnya? Luar biasa mendebarkan.
Godzilla versi Edwards memiliki tone dan atmosfir yang lebih serius. Ini mungkin menjadi sedikit masalah saat sesi drama muncul, karena bisa menimbulkan kesan yang monoton. Tapi karena keseriusan tadi, konsep yang konyol di atas kertas menjadi begitu meyakinkan. Apalagi saat klimaks duel Godzilla dengan para M.U.T.O. Lupakan orang-orang dengan kostum lateks. Efek khusus yang luar biasa akhirnya menghidupkan dengan sempurna duel monster raksasa yang selama ini kita mimpikan.
Meski Godzilla versi Emmerich tidak mendapapa banyak cinta, tapi Edwards justru berhutang kepadanya, karena Godzilla versinya ini jelas mengambil struktur plot Independence Day (1996), salah satu film musim panas terbaik yang pernah ada. Dan dengan ini, juga berkat kepiawaian orang-orang di belakangnya, not only returning Godzilla to its glory, ia pun resmi dinobatkan sebagai salah satu film musim panas terbaik yang pernah ada.
Godzilla versi Edwards juga membuktikan jika komersialisme pun dapat sejalan dengan idealisme dan nilai artistik tinggi.
Now, I demand a sequel. ASAP!
Rating :