Feature


Jumat, 03 Desember 2021 - 10:38:19 WIB
Film-film Indonesia Peraih Penghargaan Internasional Menghiasi JAFF 2021
Diposting oleh : Administrator - Dibaca: 606 kali

Memasuki pertengahan durasi festival Jogja-NETPAC Asian Film Festival alias JAFF 16 dalam edisi Tenacity terhitung dari tanggal 27 November 2021, kali ini Empire XXI Yogyakarta dipenuhi penonton yang ingin melihat film besutan para sutradara nasional. “Kalau lihat film-film Indonesia yang tayang di JAFF ini kan kita lihat rekam jejaknya juga sangat-sangat bagus di festival luar. Senang aja sih karena untuk tahun ini film Indonesia memasuki tahun emas lah kalo menurut saya pribadi,” kata Dio, salah seorang penonton film JAFF 16.

Hari kelima dimulai dengan film Memoria (2021) yang menceritakan tentang seorang wanita yang sedang mencari arti eksistensi dari keberadaan manusia. Menggandeng artis Hollywood Tilda Swinton, Memoria menjadi pembuka yang menakjubkan pada hari ini. Pada jam yang sama, terdapat live discussion yang dapat diakses melalui daring di KlikFilm yang dihadiri oleh John Badalu seorang Produser sekaligus Programmer, Alexander Matius selaku Program Director JAFF 16, dan dipandu Ifa Isfansyah selaku Festival Director yang membahas tentang content and programming.

Dilanjut dengan film dari program non kompetisi Asian Perspectives Short, dan lima film panjang dari program yang sama; Asian Perspectives. Ada Tiong Bahru Social Club (2020) film asal Singapura tentang Ah Bee yang melakukan pengembaraan komedi melalui Tiong Bahru Social Club, sebuah proyek berbasis data untuk menciptakan lingkungan yang paling bahagia di dunia, lalu Aruna Vasudev - Mother of Asian Cinema (2021) film ini mengeksplorasi dinamismenya yang dilukiskan melalui narasi yang mengungkap kehidupan para kritikus, pembuat film, kurator, dan programmer. Selanjutnya ada Wheel of Fortune and Fantasy (2021) tentang kerumitan cinta yang terjadi karena sahabat Meiko yang menyukai mantan kekasihnya, Sasuka. Ada pula Three Strangers (2021) film asal Thailand, dan Mentega Terbang (2020) asal Malaysia yang menceritakan tentang pencarian atas pertanyaan apa yang terjadi pada orang-orang setelah mati.

Adapun program kompetisi yang ditayangkan hari ini adalah Light of Asia dengan Kisah Cinta Dari Barat (2021) film Indonesia yang mendapatkan nominasi Film Pendek Terbaik pada Festival Film Indonesia 2021, menceritakan sepasang kekasih yang sedang berbincang satu sama lain mengenai mimpi mereka untuk bekerja di bandara dekat desa. Kedua, Bagan (2021) bercerita tentang kisah hari-hari terakhir sebuah desa yang sekarat melalui sudut pandang sepasang remaja; ketika kepolosan berbenturan dengan kenyataan pahit tumbuh dewasa dan melanjutkan hidup. Ketiga, Live in Cloud - Cuckoo Land (2020) tentang sebuah kisah modern Kafka dengan latar tempat Vietnam pada era transformasinya.

Keempat, Comrade Policeman (2020) tentang jurnalis dari Kazakhstan yang harus membuat laporan berita tentang kampanye pencitraan kepolisian. Kelima, Hilum (2020) tentang seorang anak perempuan bernama Mona yang mendatangi praktik perdukunan untuk meminta disembuhkan dari ketidakmampuannya untuk menangis akibat dimarahi ibunya atas penampilannya yang gagal saat menjadi pengiring jenazah. Keenam, Laut Memanggilku (2021) karya Tumpal Tampubolon dari Indonesia yang mendapat penghargaan Sonje Award (Asia) di Busan International Film Festival 2021 serta Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2021. Film ini bercerita tentang anak laki-laki pesisir yang menunggu ayahnya yang tak kunjung pulang.

Asian Perspectives Short ditutup dengan diskusi antara filmmaker dan penonton. Didatangi oleh sutradara Kisah Cinta dari Barat (2021) M. Reza Fahriyansyah yang membahas isu-isu yang sedang diperbincangkan, “Itu keresahan aku dulu, bandaranya tiba-tiba udah jadi gitu. Sehingga aku mengangkat efek akibat pembangunan tersebut,” ucapnya. Hadir pula Tumpal Tampubolon sutradara dari Laut Memanggilku (2021) yang dipuji akibat salah satu adegan mendandani boneka dalam film buatannya. “Saya suka adegan yang mendandani boneka itu, Indah menurut saya,” kata salah satu penikmat film Light of Asia.

Bersanding dengan film Internasional lainnya dikategori kompetisi maupun non-kompetisi, film karya anak bangsa seperti film Preman (2021) dengan durasi 91 menit ikut duduk manis dalam antrean film yang akan ditonton oleh pecinta film. Preman adalah film panjang yang menceritakan tentang Sandi, seorang preman tuli yang bekerja untuk suatu geng yang menyamar menjadi organisasi non-pemerintah yang dipimpin oleh Guru. Sampai akhirnya Sandi dihadapkan dengan pilihan sulit yakni untuk balik melawan seluruh gengnya ketika putranya Pandu menyaksikan pembunuhan yang dilakukan oleh Guru.

Film yang diputar di studio 1 ini pun dipenuhi oleh penonton yang datang untuk menikmati dan mengapresiasi film karya Randolph Zaini. “Saya tidak punya kata-kata untuk mendeskripsikan film ini, luar biasa. Saya mau apresiasi film ini pertama-tama karena banyak yang nonton, saya bener-bener ngikutin dari awal, emosi rasanya kayak diaduk-aduk, lucu, abis itu nangis, ketawa lagi, abis itu dibuat marah. Ini harus ditonton oleh seluruh orang Indonesia bahkan seluruh dunia. Keren banget,” puji Galuh dari Malang, salah seorang penonton film Preman hari ini. Film ini telah mendapatkan penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia sebagai Penata Rias Terbaik dan Piala Citra untuk Penata Efek Visual Terbaik.

Film karya sutradara nasional lain adalah Losmen Bu Broto (2021), berjejer dalam antrean siang di studio 4 Empire XXI Yogyakarta. Film karya Eddie Cahyono dan Ifa Isfansyah ini merupakan karya reboot dari sinetron legendaris TVRI tahun 1980-an Losmen yang menempatkan Keluarga Broto di latar modern tahun 2020. Bercerita tentang seorang keluarga yang memiliki penginapan yang cukup terkenal di Yogyakarta. Tempat penginapan yang dari luar terlihat sangat sukses dan hangat ini, rupanya menyembunyikan masalah dan konflik yang tak terlihat dari masing-masing anak dari keluarga Pak Broto dan Bu Broto. Sebuah skandal akhirnya menguji mereka untuk berdamai sesuai dengan slogan losmen mereka: Keluarga Adalah Rumah.

“Mengadaptasi apapun memang harus merasa tidak punya hutang ketika produksi. Memang harus jelas terutama karakter tapi kalo desain produksi, teknis, dan elemen-elemen treatment itu bebas sekali”, jawab Ifa Isfansyah selaku sutradara dari Losmen Bu Broto ketika ditanya susahnya membuat film adaptasi dalam sesi tanya jawab setelah pemutaran.

Dua film panjang di atas merupakan penayangan dari program khusus film Indonesia di JAFF 16. Menurut pernyataan dari Alexander Matius dan Gorivana Ageza selaku programmer JAFF, kemajuan industri film Indonesia bertumbuh sekitar 20% per tahun selama empat tahun terakhir sebelum pandemi dan menjadi pasar film nomor sepuluh terbesar di dunia pada akhir tahun 2019. Hal tersebut adalah catatan-catatan penting industri perfilman Indonesia pernah berada dalam posisi tersebut. JAFF 16 secara khusus mengajak perwakilan-perwakilan asosiasi pekerja film untuk menjadi penilai dalam beberapa kategori di Indonesian Screen Awards. Sehingga tahun ini penghargaan untuk film Indonesia yang dinilai oleh pekerja film Indonesia.

Keramaian Empire XXI Yogyakarta selain diisi oleh penonton film Backstage (2020) yang diputar tiga hari berturut-turut juga dari film panjang pertama sutradara Wregas Bhanuteja yang berjudul Penyalin Cahaya (2021), menceritakan tentang pelecehan seksual di sebuah universitas, tiketnya ludes hanya dalam hitungan menit setelah penjualan dibuka. Beberapa orang dibuat kecewa karena kehabisan tiket, beberapa lainnya berhasil saling senggol untuk mengamankan kursi ternyaman mereka. “Karena kunci sukses mendapatkan tiket JAFF 16 adalah: pasang notif sosmed, dm-in miminnya terus, kepo, bikin checklist dan atur strategi siapa pesen apa”, dikutip dari akun bernama @zefan_ di Instagram story ketika penjualan tiket dibuka beberapa hari lalu. Film ini telah meraih beberapa penghargaan, yaitu Nominee for New Currents Busan International Film Festival 2021, serta memenangkan 12 Piala dari 16 Nominasi di Festival Film Indonesia 2021.

Penyalin Cahaya sebagai bagian dari program Main Competition akan ikut serta memperebutkan penghargaan Golden Hanoman Award dan Silver Hanoman Award yang diberikan kepada Film Asia Terbaik melalui penjurian dalam program ini. Salah satu yang paling menarik dari film ini adalah penataan musik yang sangat lokal, dangdut dan koplo. “Saya disuruh buat lagu yang signatur Asia banget, bingung awalnya kaya gimana, tapi akhirnya kepikiran koplo atau dangdut karna kita sangat dekat terhadap genre tersebut,” jelas Yennu Ariendra sang penata musik dari Penyalin Cahaya.

Dari film Penyalin Cahaya dengan tiket penjualan paling laris hingga tiket dan promo pembelian film, JAFF 16 terus menghadirkan kejutan-kejutan untuk para pecinta sinema tanah air. Untuk informasi lebih lanjut dan promo pembelian film festival bisa mengunjungi kanal sosial media @jaffjogja atau website /jaff-filmfest.org/


Share |


Berita Terkait :
Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.