Hadir bersama Widuri Puteri, aktris cilik pemeran Ara dan ibunya - Widi Mulia di Sakurazaka Theater, Kokusaidori, Okinawa saat penayangan film Keluarga Cemara sebagai pembuka Okinawa International Movie Festival edisi ke-11, 2019, sutradara Yandy Laurens menyempatkan untuk ngobrol-ngobrol soal Keluarga Cemara, film Indonesia dan visinya sebagai sutradara.
Film Keluarga Cemara sendiri mendapat sambutan sangat baik dalam pembukaan festivalnya. Dihadiri penonton yang memenuhi hall Sakurazaka Theater B, lokasi pemutarannya, banyak penonton yang menyeka air mata mereka seusai penayangan yang diakhiri dengan stage appearance Yandy, Widuri, didampingi komedian-komedian Yoshimoto Indonesia termasuk Hiroaki Kato. Hiroaki juga menyanyikan theme song legendaris Harta Berharga versi Jepang sebelum menutup sesinya. Berikut adalah kutipannya:
Anda biasanya berkarir di film-film pendek, dan Keluarga Cemara adalah film layar lebar pertama Anda. Bisa cerita awalnya bagaimana proyek Keluarga Cemara ini datang ke Anda?
Begini. Mbak Gina dan duo produser dari Visinema, Angga (Angga Dwimas Sasongko) dan Anggi (Anggia Kharisma) sebenarnya teman saya sejak SMU. Terus sama-sama jadi filmmaker dan mereka sudah berkeluarga dan jadi orang tua semua. Menurut mereka, kita belum atau masih jarang punya film keluarga yang bisa aman ditonton oleh sekeluarga dan anak-anak, dan mereka ingin membuat film keluarga.
Salah satu yang jadi kandidat adalah Keluarga Cemara karena selain sudah dikenal luas, juga punya nilai-nilai yang bagus. Mereka kemudian menghubungi Mas Wendo (Arswendo Atmowiloto – penulis sekaligus pemegang rights Keluarga Cemara), dan dia memberikan restunya. Kata Mas Wendo, “Keluarga Cemara itu sudah seperti anak saya sendiri. Dari lahir dan lantas saya besarkan. Sekarang dia sudah mau menikah, yang penting saya tahu dia mau menikah sama siapa.
Gina, Angga dan Anggia sudah saya kenal, itu cukup dan saya restui. Selanjutnya pernikahannya seperti apa itu tergantung mereka”. Pendeknya, setelah mendapat kepercayaan sebesar itu, Mas Wendo hanya memberikan beberapa persyaratan apa yang harus tetap dipertahankan; beliau meminta panggilan Abah-Emak tetap tak diubah, tetap ada becak dan opak.
Sementara saya sendiri saat itu tengah mengerjakan kumpulan film pendek ‘Indonesia itu Rumahku’ untuk promosi salah satu produk air mineral di Visinema. Ada 5 sutradara yang dikumpulkan untuk proyek ini dan saya entah kenapa memang selalu tergerak untuk mengangkat tema-tema keluarga. Jangan-jangan bisanya hanya ini (tertawa).
Mas Angga mungkin melihat ini setelah kita benar-benar kenal sejak Wan An (salah satu film pendek Yandy) menang di Short Movie Festival XXI dan beberapa kali ketemu Mas Angga di sejumlah workshop, lantas kemudian kerja bareng di iklan tadi. Di situ Mas Angga lantas menawarkan penyutradaraan Keluarga Cemara ke saya, dan saya ikut sejak prosesnya masih sangat mentah; ikut menulis juga.
Modifikasi cerita untuk menarik lagi dari awal kisah Keluarga Cemara termasuk karakter Ragil yang belum muncul, bagaimana?
Iya. Ini juga termasuk salah satu yang dibicarakan dan Mas Wendo setuju bahwa jarak-jarak waktu dalam penceritaannya boleh kita adjust. Agil yang seharusnya hanya selisih setahun sebagai anak ketiga Abah dan Emak kini jadi tujuh tahun. Tapi menurut saya untuk sebuah genesis, penceritaan kembali, penting ada adjustment seperti ini dalam proses-proses kreatif untuk bisa membangun visi kita yang baru.
Anda menempuh pendidikan film di IKJ. Menurut Anda, sepenting apa nih pendidikan film secara resmi lewat jalur formal, bukan otodidak, untuk sineas-sineas Indonesia?
Begini, jawabannya mungkin agak panjang (tertawa). Sebagai dosen, saya sering mendapat pertanyaan itu. Menurut saya sebaiknya pertanyaannya di-adjust seperti ini; penting apa tidak kita mencintai pendidikan? Bahwa jalurnya resmi lewat institusi atau otodidak, selama ia mencintai konsep-konsep pendidikan seperti menonton film, ikut serta dalam komunitas, diskusi, baca buku, itu yang jauh lebih penting.
Ini sering saya tekankan ke mahasiswa-mahasiswa saya, bahwa banyak orang di luar sana yang tidak belajar film lewat jalur formal tetapi kalau bikin film, hasilnya seperti anak-anak yang sekolah film. Sementara banyak juga yang sekolah mati-matian, begitu bikin film bukan seperti orang yang sekolah film (tertawa). Jadi sekolah atau jalur formal sebenarnya bukan faktor penentu, tapi sejauh apa mereka mencintai pendidikan.
Lagi, karena saya memang sekolah film, kalau ditanya penting atau tidak sekolah film, karena saya senang sama ruang kelas dan semua proses-prosesnya; seperti bagaimana pengalaman puluhan tahun diekstrak menjadi kuliah dua jam, saya akan menjawab penting karena lewat proses itu kita bisa menghindar dari pengalaman atau kesalahan sebelumnya.
Ada advantage ini untuk jalur pendidikan sehingga saya akan memilih sekolah daripada tidak. Bagaimanapun, kalau kacamata kita lebih di-zoom out lagi, dengan perkembangan industri yang akan semakin maju dengan penambahan layar dan dihapusnya daftar investasi negatif terhadap ekshibitor, mata airnya mestinya ditambah agar tidak terlalu sedikit dengan adanya sekolah-sekolah film yang baru.
Kalau dilihat dari sisi teknis, apakah ada bedanya yang menempuh jalur formal dengan otodidak tadi, terutama dalam segi penyutradaraan?
Saya berasal dari Makassar, dan sering mendengar gosip bahwa saat kita kuliah di IKJ, semester III saja sudah bisa dapat kerja dan benar. Sampai sekitar 3 atau 4 semester sebenarnya materi penyutradaraan di kuliah sudah habis. Kita sudah tahu bikin shot, sudah tahu garis imajiner, kita sudah bisa di-hire ke luar untuk bikin company profile, iklan bahkan film.
Tetapi dua tahun setelahnya lah yang akan lebih menentukan setelah semua teori soal teknis kita kuasai. Bagaimana si sutradara bisa memberikan pemaknaan lebih, kedalaman, kematangan dan kedewasaan terhadap apa yang ia kerjakan. Pertanyaannya datang dari mana ini sebenarnya bedanya. Di lingkungan sekolah kita akan ditanya secara resmi lewat sistem, sementara yang belajar otodidak, pertanyaan ini akan datang dari kacamata sosial.
Soal idealismenya? Apakah ada kecenderungan sutradara yang datang dari sekolah film akan lebih punya visi terhadap karya-karya idealis dan sebaliknya?
Ada banyak sekali faktornya. Menurut saya itu akan menjadi salah satu komponen saja. Saya datang dari Makassar dan ingin sekolah film di IKJ. Setelah menempuh pendidikan sekitar 4 ½ tahun, IKJ justru membuat saya belajar menemukan siapa diri saya. Jadi idealisme menurut saya tidak dibentuk dari komponen eksternal tapi bagaimana individunya mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri. Banyak sekali variabel yang sulit untuk kita bahas secara umum. Film, se-industrial apapun saya kira akan menjadi sesuatu yang ideal bagi si sutradara sendiri karena diambil dari keputusan-keputusan personal dalam dirinya.
Kembali ke signature Anda dalam memilih tema-tema yang tak jauh dari soal keluarga, apakah datang dari selera tontonan film, pandangan pribadi atau seperti apa?
Ini sebenarnya agak ironis. Di Makassar saya tumbuh dalam lingkungan yang cukup diskriminatif. Saya tidak punya kesempatan untuk ikut bermain bersama anak-anak lain di gang tempat saya tinggal, karena etnis. Saat kuliah pun masih ada persepsi-persepsi yang sama. Karena itu mungkin saat kita dipaksa untuk bercerita, salah satu cerita terbanyak yang saya punya adalah soal keluarga, karena secara tidak sengaja saya tumbuh besar dalam lingkungan yang terisolasi. Dari soal selera tontonan sendiri, saya memang suka dengan film-film Kore-eda dan terutama sinema Jepang. Kurosawa, Ozu, juga. Dan Teguh Karya mengagetkan saya saat kuliah saat saya menyaksikan film Ibunda. Ini sedikit banyak mungkin yang mempengaruhi saya untuk menyukai tema-tema keluarga.
Soal budaya, apakah Anda punya keinginan untuk menyemat soal etnis asal Anda ke film-film yang Anda buat?
Saya kira sesuai dengan kepentingan ceritanya saja. Wan An bahkan pada awalnya tidak ingin bercerita soal etnis China, walaupun idenya datang dari kakek saya. Awalnya saya memilih budaya Betawi sebagai latarnya agar lebih universal. Namun setelah di-develop, entah kenapa rasanya lebih enak kalau dikembangkan dengan budaya etnis China.
Bagaimana pandangan personal Anda soal product placement dalam film?
Ini juga menurut saya soal bagaimana kita menempatkannya dalam perubahan cerita. Product placement dalam Keluarga Cemara, sebesar apapun di-frame, menurut saya – seperti banyak juga dikatakan penontonnya, dikemas dengan sangat halus sebagai bagian dari ceritanya.
Kembali lagi kalau kita berpikir “Apa sih yang akan dilakukan Abah kalau Keluarga Cemara terjadi di tahun ini?”. Karena dulu salah satu elemen terkuatnya adalah becak – dalam konteks keterkaitan ke lingkup transportasi, maka soal ojek online tentu menjadi sesuatu yang dipertimbangkan, dan ini memang bukan ada dalam skrip setelah sponsor masuk tapi sudah dari awalnya.
Soal product placement di film-film lain, menurut saya yang terjadi sekarang adalah penonton kita sudah ada pada level trauma dengan product placement di film kita. Seperti apapun product placement-nya, sebagian besar akan jadi masalah karena mereka memang akan sangat memperhatikan itu. Sebagai sutradara, saya pastinya akan berusaha sedapat mungkin tidak usah ada product placement kecuali produknya memang membutuhkan.
Seperti ini kira-kira, saya sedang membuat sebuah web series di mana ada perpindahan set dari Korea ke Jakarta dan kita perlu menginformasikan itu ke penonton. Yang biasanya dilakukan adalah shot bundaran HI atau traffic di Sudirman untuk menunjukkan Jakarta, tapi kita bisa membuat yang lain seperti misalnya adegan di kafe dengan antrian jasa pembelian makanan dari transportasi online.
Ini sebenarnya konteksnya potret budaya sekarang, tapi sebagian orang akan memberi saran kenapa tidak sekalian gandeng sponsornya walaupun intensi awal sebenarnya hanya untuk menyiasati shot-shot klise yang selama ini kita lihat. Lagi-lagi, bagaimanapun saya menyarankan untuk tidak ada product placement tapi film adalah karya kolaborasi dan kita harus mengerti kepentingannya.
Pandangan Anda terhadap film-film arthouse dan mainstream kita sekarang?
Masa di mana art cinema adalah non-industri dan film komersil adalah industri menurut saya sudah lewat. Yang diekshibisi di jaringan bioskop adalah industri, benar, tapi festival-festival film juga another industry. Ujung-ujungnya, semua butuh film agent dan teman-teman yang membuat film arthouse juga butuh memutarkan uang mereka untuk bikin film arthouse lagi.
Film agent akan menjadi sarana yang sangat dibutuhkan agar filmnya dibeli dan didistribusikan lagi ke negara lain. It’s just another industry, dan ini semua adalah pilihan, tanpa ada yang superior ataupun inferior. Saya menyikapinya lebih ke betapa menderitanya saya kalau saya tidak punya kecenderungan bertutur secara arthouse tapi memaksa diri untuk bikin film arthouse atas nama prestis, dan sebaliknya. Right man on the right place. Dari pada wadahnya, lebih baik orang yang tepat untuk mengerjakan sesuatu.
Kalau dalam film-film Anda sendiri, apakah ada cara-cara tertentu untuk menciptakan keseimbangan terhadap idealisme dan tuntutan industri ini saat membuat film, terutama dalam penyampaian emosi? Sebagaimana kita tahu, guliran kisah Keluarga Cemara sangat berpotensi untuk menjadi sangat melodramatis tapi yang kita lihat pada produk akhirnya adalah sesuatu yang tersampaikan dengan sangat halus tapi mengena.
Begini. Saya dan Mbak Gina sangat terbantu oleh value yang dititipkan oleh Mas Wendo sejak 20 tahun lalu untuk penonton Indonesia. Setelah kita gali, kita menemukan bahwa Keluarga Cemara sebenarnya mau bicara tentang apa sih? Kesederhanaan adalah buahnya, namun Keluarga Cemara punya satu hal paling penting soal memiliki dan dimiliki. Saat kita tahu ini yang mau kita sampaikan, semua plot, semua struktur dan semua putaran dramatiknya disusun untuk menyampaikan pesan ini.
Ada juga preferensi bahwa saya dan Gina suka drama tapi tidak over-melodrama. Kebetulan Mbak Gina dan Teh Anggi juga suka Kore-eda, dan syukurlah kita bisa menghindari itu. Terus terang dalam prosesnya sama sekali tidak ada pembicaraan soal bagaimana untuk tidak menjadi over-melodramatik, hanya fokus memikirkan adegan dan tiap penyusunannya agar pesan-pesan soal memiliki dan dimiliki tadi bisa sampai ke penonton tanpa terasa menceramahi penonton.
Pesan inti soal memiliki dan dimiliki dalam keseluruhan bangunan Keluarga Cemara ini datang dari tim penulis atau diskusi bersama dengan Mas Wendo?
Ini sebenarnya lebih berupa director’s statement. Dari awal saya membedahnya secara tekstual saja. Harta yang paling berharga adalah keluarga. Bagaimana keluarga diartikan sebagai harta, dan kata ini dibedah lagi.
Kenapa harta disebut harta dan harta berarti kekayaan yang punya kepemilikan. Harta karun disebut harta karun karena seseorang pernah memilikinya. Kepemilikan lantas akan punya dua komponen; memiliki dan dimiliki. Seorang anak SMP seperti Euis saat jalan ke luar dan tidak mau berkumpul dengan keluarga, kalau ditanya apakah ia memiliki keluarga, tentu memiliki. Namun bila ditanya apakah kamu dimiliki keluargamu, belum tentu.
Orang suka lupa bahwa memiliki punya saudara kembar yang namanya dimiliki. Abah belajar dimiliki oleh keluarganya, Euis belajar dimiliki oleh teman-teman barunya di kampung, Emak belajar dimiliki oleh Abah yang menjadi vulnerable karena melihat Emak mesti bekerja keras saat hamil, dan menurut saya ini adalah proses yang sangat besar.
Jadi pada satu titik mereka tidak harus kembali kaya saat di awal film, nilai-nilai inilah yang harus dimiliki oleh keluarga untuk mengatasi tantangan yang ada dalam keluarga. Ini juga proses penting yang saya kira secara keseluruhan harus dijalani oleh Abah agar bisa menyampaikan kerapuhan saat keluarga mereka dilanda masalah demi masalah.
Keluarga Cemara surprisingly punya pemilihan cast yang sangat tepat setelah kita menyaksikan filmnya. Apakah Anda juga terlibat di dalam prosesnya?
Iya. Kita memang punya casting director, Cristian Imanuell, tapi kolaborasi untuk penentuan cast-nya. Semua pemainnya di-casting terlebih dahulu. Kita lihat bahwa salah satu pertimbangan dalam penyutradaraan adalah pemain yang punya relevansi dengan karakternya.
Kita tidak kenal semua pemain, namun salah satu pertimbangan muncul setelah proses casting dan obrolan di dalamnya. Sebagai Abah, mengapa Ringgo, karena ia adalah orang yang sangat mencintai keluarganya. Pada saat casting, Ringgo ngobrol hingga 5 jam dan bicara soal bagaimana ia membina keluarga dan memang terlihat sangat menikmati setiap prosesnya. Nirina justru orang yang terakhir kita casting. Di tengah kesusahan mencari pemeran Emak, Nirina datang dengan hardtop, lompat turun dengan daster tanpa makeup. Begitu dia pulang, saya dan Mbak Gina – Teh Anggi saling melihat dan tahu bahwa kita sudah dapat pemeran Emak.
[Ke arah Widuri Puteri yang ikut hadir dalam penayangan, stage appearance dan wawancara ini di Sakurazaka Theater, Kokusaidori, Okinawa] Jadi Ara juga di-casting dong?
[Ara] Sama Om Cristian seru banget kalau casting. Tapi yang paling bikin deg-degan adalah waktu nangis karena ini baru pertama kali aku casting film layar lebar. Waktu minta burger saat dikasih kangkung... gimana ya ngejelasinnya?
[Yandy] Jadi Ara (memanggil Widuri dengan nama perannya) di-casting untuk melihat reaksi. Saat ia meminta namun tidak dikasih, Ara menunjukkan gradasi emosi yang luar biasa untuk ukuran pemeran berusia 7 tahun. Kita langsung memilih Widuri sebagai Ara saat itu juga.
Ada kesulitan tidak untuk mengarahkan pemain anak buat Anda?
Tidak hanya anak-anak sebenarnya, ada kesulitan pastinya saat mengarahkan pemain. Nah kalau pemain anak-anak saya kira memang harus dibuat bermain, seperti Ara ini (tertawa). Sempat capek baca skrip terus, tapi ternyata pelan-pelan saya tahu Ara bermain lebih lepas saat skripnya saya ucapkan. “Ra, nanti di adegan ini gerakannya seperti ini, terus dialognya ini, ini, ini... dan diulangi lagi seperti itu”, dengan cara ini Ara sepertinya merasa tidak ada tekanan, dan memang kita mencari trivia di tengah-tengahnya.
Oke, terakhir. Kasih statement tentang film Indonesia sekarang.
Film Indonesia sekarang kesempatannya sedang terbuka lebar bagi banyak pihak, tapi kesempatan yang sama itu juga datang dengan tanggungjawab yang sama besarnya. Kita siap atau tidak, itu masalahnya. Saya selalu bilang banyak orang yang komplain menunggu kesempatan, tapi lupa apa yang harus kita lakukan saat kesempatan itu datang. Lepas dari itu, film Indonesia sedang bertumbuh ke arah yang sangat positif. Makin banyak film yang membicarakan identitas.
Amin. Semoga bisa terus seperti itu, ya.
Amin.