Review

Info
Studio : PT Kharisma Starvision Plus
Genre : Drama
Director : Helfi Kardit
Producer : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Starring : Adipati Dolken, Nadine Alexandra, Henidar Amroe, Tio Pakusadewo, Ray Sahetapy

Sabtu, 27 Oktober 2012 - 22:09:08 WIB
Flick Review : Sang Martir
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2478 kali


Film terbaru Helfi Kardit (Brokenhearts, 2012) mencoba untuk berbicara mengenai banyak hal. Jalan ceritanya sendiri bermula dengan pengisahan mengenai kehidupan Rangga (Adipati Dolken) dan adiknya, Sarah (Ghina Salsabila), yang hidup dalam di sebuah panti asuhan yang dipimpin oleh pasangan Haji Rachman (Jamal Mirdad) dan istrinya, Hajjah Rosna (Henidar Amroe), bersama dengan puluhan anak-anak lainnya. Walau hidup dalam kondisi yang sangat sederhana, Rangga dan anak-anak penghuni panti asuhan tersebut hidup dalam suasana yang bahagia. Namun, ketika seorang preman bernama Jerink (Edo Borne) memperkosa Lili (Widy Vierra), yang merupakan salah seorang gadis penghuni panti asuhan tersebut, kehidupan Rangga mulai berbalik arah secara drastis. Rangga, yang kemudian mendatangi Jerink guna melampiaskan rasa amarahnya, secara tidak sengaja kemudian membunuh Jerink dan akhirnya menghantarkan dirinya masuk ke lembaga pemasyarakatan.

Tiga tahun berlalu, Rangga akhirnya keluar dari penjara. Tanpa disangka, Rangga kemudian dijemput oleh kawanan dari seorang preman bernama Jerry (Ray Sahetapy). Walau awalnya menolak, namun mereka akhirnya menjelaskan bahwa Rangga kini sedang menjadi incaran seorang preman lain bernama Rambo (Tio Pakusadewo). Jerink yang telah dibunuh oleh Rangga ternyata adalah adik Rambo dan kini mengerahkan semua kawanannya untuk membalaskan dendam sang adik pada Rangga. Mau tidak mau, Rangga akhirnya bergabung dengan kelompok Jerry. Secara perlahan, Rangga kemudian mempelajari mengenai bagaimana nsib panti asuhan yang dulu pernah menaungi hidupnya – dan kini sedang berada dibawah cengkeraman Rambo. Rangga akhirnya menyusun rencana untuk kembali menyelamatkan panti asuhan tersebut.

Ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh Helfi Kardit – yang juga menulis naskah cerita untuk film ini – dalam Sang Martir: mulai dari kisah cinta antara dua pemuda yang berbeda agama, konflik sosial, konflik hukum, permasalahan narkoba, agama hingga persinggungan tentang masalah korupsi. Sayangnya, kekayaan tema cerita yang dimiliki oleh Sang Martir justru yang kemudian menjadi titik terlemah film ini ketika Helfi gagal mengembangkan ide-ide yang telah ia paparkan menjadi sebuah struktur cerita yang menarik untuk diikuti. Pada kebanyakan bagian, tema-tema cerita tersebut terkesan hanya dihadirkan secara selintas, tanpa pernah benar-benar mampu bercerita secara mendalam. Ini yang kemudian membuat perjalanan durasi 98 menit film ini terasa begitu lama dan cenderung membosankan.

Banyaknya tema cerita yang ingin disampaikan oleh Helfi juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada pengembangan karakter-karakter yang ingin dihadirkan Helfi dalam jalan cerita Sang Martir. Seperti halnya pengembangan jalan cerita film, tak satupun diantara deretan karakter yang ada di dalam film ini mampu dihadirkan secara jelas, baik latar belakang kisahnya maupun motivasi yang mereka tampilkan selama berada di dalam jalan cerita. Dangkal dan akhirnya membuat penonton sama sekali tidak mau mempedulikan apa yang sedang maupun akan terjadi pada mereka. Sempitnya ruang untuk penggalian karakter juga membuat beberapa karakter seringkali terlihat muncul dan hilang begitu saja dari dalam jalan cerita Sang Martir – termasuk salah seorang karakter yang dimunculkan secara besar dalam poster film ini namun sama sekali tidak memegang peranan apapun di dalam jalan cerita Sang Martir.

Berbagai kedangkalan yang terdapat di dalam penulisan naskah cerita jelas kemudian memberikan banyak pengaruh pada penampilan pengisi departemen akting film ini. Bahkan nama-nama seperti Henidar Amroe, Ray Sahetapy dan Tio Pakusadewo yang biasanya dengan mudah dapat tampil bersinar terlihat begitu sulit untuk menghidupkan karakter yang mereka perankan. Adipati Dolken yang berada di garda depan departemen akting juga tidak memiliki nasib yang lebih baik. Adipati sepertinya hanya menterjemahkan pengertian seorang pria tangguh dan berani mati dengan tampilan mata yang melotot serta ritme bicara yang seolah berpuisi. Dan tampilan tersebut ia tampilkan di sepanjang penceritaan film ini. Tidak ada penampilan akting lain yang terasa istimewa dalam Sang Martir – suatu hal yang jelas terasa akibat kurangnya kemampuan Helfi dalam mengarahkan para aktornya.

Seandainya Helfi Kardit mau meminimalisir tema cerita yang ingin ia sampaikan dalam jalan cerita Sang Martir serta memfokuskan diri pada beberapa karakter utama dan memperkuat pengarahannya pada jajaran pengisi departemen akting film ini, Sang Martir mungkin mampu tampil menjelma menjadi sebuah film drama yang emosional dan menyentuh. Dalam 98 menit durasi film berjalan, Sang Martir terlihat bergerak ke banyak arah yang akhirnya membuat film ini terkesan pointless. Penampilan Adipati Dolken yang begitu lemah pada garda terdepan departemen akting juga membuat Sang Martir terlihat semakin tidak menarik. Sebuah usaha yang harus diakui baik dalam menghadirkan tema penceritaan yang berbeda dari kebanyakan film drama Indonesia lainnya. Namun sayangnya gagal untuk mendapatkan eksekusi yang sempurna.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.