Review

Info
Studio : Nation Pictures/Primetime Production
Genre : Drama, Musical
Director : Awi Suryadi
Producer : Delon Tio
Starring : Christian Bautista, Ira Wibowo, Ira Maya Sopha, Gista Putri, Sophie Navita

Jumat, 30 September 2011 - 07:19:36 WIB
Flick Review : Simfoni Luar Biasa
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2999 kali


Setelah beberapa kali mengalami penundaan masa rilis – awalnya akan dirilis di Indonesia pada bulan Maret 2011 sebelum dipindahkan ke bulan Agustus 2011 dan untuk kemudian tayang terlebih dahulu di Filipina dengan judul Jayden’s ChoirSimfoni Luar Biasa akhirnya justru menemui masa rilisnya pada akhir September 2011. Menampilkan akting penyanyi asal Filipina, Christian Bautista, Simfoni Luar Biasa harus diakui bukanlah sebuah film yang mampu menawarkan sesuatu yang baru dalam jalan ceritanya. Berkisah mengenai seorang pemuda yang menemukan jati dirinya dengan menjadi seorang pengajar musik bagi sekelompok anak-anak berkebutuhan khusus, Simfoni Luar Biasa terlihat seperti perpaduan dari film Perancis, The Chorus (2004), dan serial televisi Glee dengan tanpa kehadiran akting meyakinkan para pemerannya, penggarapan maksimal dari para produsernya, lagu-lagu yang memikat serta naskah cerita yang mampu berjalan menarik.

Bautista memerankan sang karakter utama, Jayden, seorang musisi asal Manila, Filipina yang sedang berusaha untuk menemukan jalan kesuksesannya namun terbentur dengan kenyataan hidup yang begitu sulit. Atas saran bibinya, Helena (Maribeth), Jayden kemudian berangkat ke Jakarta, Indonesia untuk tinggal bersama ibunya, Marlina (Ira Wibowo), yang sebenarnya telah tidak pernah ia temui lagi selama dua puluh tahun terakhir. Mengetahui bahwa Jayden adalah seorang musisi yang sebenarnya cukup berbakat, Marlina, yang merupakan seorang pembina yayasan sebuah sekolah luar biasa, kemudian menyarankan Jayden untuk menjadi seorang tenaga pengajar sementara di kelas musik di ekolah tersebut.

Seperti yang dapat diduga, Jayden menemui masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan anak-anak berkebutuhan yang ia temui di sekolah tersebut. Ini belum lagi ditambah dengan sifat tidak bersahabat yang ia terima dari Dimas (Verdi Solaeman), seorang pengajar lain di sekolah luar biasa tersebut yang menilai keberadaan Jayden hanyalah karena faktor nepotisme belaka. Walau sempat menyerah, Jayden akhirnya berhasil untuk sedikit demi sedikit menemukan jalannya dalam berusaha mengarahkan setiap anak yang berada di kelasnya. Ia bahkan berhasil memimpin mereka untuk mengeluarkan bakat vokal yang mereka miliki sehingga ia mampu membentuk sebuah kelompok paduan suara. Keberhasilan Jayden tersebut mengundang perhatian sebuah kompetisi paduan suara tingkat regional yang kemudian mengundang para murid Jayden untuk ikut berkompetisi.

Dalam sebuah catatan produksi disebutkan bahwa jalan cerita Simfoni Luar Biasa terinspirasi dari sebuah kelompok paduan suara serupa di Beijing, China, dimana penggunaan musik sebagai alat pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus menjadikan mereka mampu mengembangkan jalan pemikiran dan tingkah laku mereka dengan lebih baik. Sebuah inpirasi yang sangat mulia. Namun sayangnya, Simfoni Luar Biasa sangat jauh dari kesan mulia tersebut. Naskah cerita yang ditulis oleh Awi Suryadi bersama dengan Maggie Tiojakin tidak lebih adalah sebuah naskah cerita komersial dengan terlalu banyak sentimentalitas cerita yang seperti berniat untuk dapat memberikan inspirasi maupun menyentuh emosi mendalam kepada setiap penontonnya namun gagal karena dieksekusi dengan cara yang terlalu datar dan biasa.

Semua unsur cerita yang dapat Anda harapkan dari sebuah kisah mengenai ‘seorang karakter yang dengan terpaksa melakukan sebuah pekerjaan namun kemudian menemukan dirinya jatuh cinta terhadap pekerjaan tersebut sekaligus menemukan jati diri yang sebenarnya’ dapat ditemukan pada Simfoni Luar Biasa. Mulai dari bagaimana penggambaran permasalahan pribadi Jayden, tantangan yang ia hadapi, niatnya untuk menyerah, sebuah inspirasi yang tidak sengaja datang dan membangkitkan kembali semangatnya – dengan menyaksikan sekelompok anak dibawah umur yang tampil dengan tata rias yang begitu tebal ketika menyanyikan lagu Pelangi – hingga penyelesaian akhir dimana ia harus meninggalkan apa yang kini telah begitu ia cintai demi sebuah cita-cita yang semenjak dahulu ia dambakan. Di tangan beberapa sutradara berkemampuan khusus, naskah klise ini akan mampu terlihat ‘inspirasional’ dan ‘menyentuh.’ Di tangan Awi Suryadi, sayangnya, deretan kisah tersebut tampak murni hanya sebagai kisah yang ‘komersial’ dan cenderung datar.

Awi juga terkesan ingin memburu jalan cerita dengan menghilangkan beberapa proses perjalanan cerita. Lihat saja bagaimana proses adaptasi bahasa karakter Jayden terhadap bahasa baru sebagai alat komunikasinya. Atau bagaimana anak-anak berkebutuhan khusus yang ia latih menghafal lagu-lagu yang ia berikan untuk kemudian ditampilkan di hadapan khalayak ramai. Jika pada film-film musikal lain proses tersebut menjadi sebuah jaln tersendiri bagi penonton untuk lebih dapat menikmati tampilan musikal di sebuah film atau untuk lebih mengenali lagi karakter yang ada dalam sebuah jalan cerita, maka Awi Suryadi telah kehilangan sebuah poin penting dalam menampilkan jalan ceritanya.

Yang juga mengecewakan adalah bagaimana Awi menangani pengembangan setiap karakter di film ini, khususnya karakter anak-anak berkebutuhan khusus yang seharusnya mendapatkan fokus yang sedikit lebih banyak dari apa yang ditampilkan di film ini. Awi juga gagal untuk menghasilkan kemampuan akting yang mengesankan dari para aktor dan aktris muda pemeran anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Beberapa memang tampil cukup meyakinkan, namun kebanyakan terlihat tidak autentik dalam memerankan karakter mereka. Tampilan musikal yang mereka tampilkan juga kurang begitu mengesankan. Awi sepertinya harus lebih banyak belajar dari Britney Spears mengenai bagaimana dapat tampil lipsync namun dengan penampilan layaknya seorang penyanyi yang tampil dengan vokal live.

Tidak hanya karakter anak-anak berkebutuhan khusus, setiap karakter di Simfoni Luar Biasa juga gagal mendapatkan penggalian cerita yang mendalam. Lihat saja bagaimana karakter Dimas – yang diperankan dengan baik oleh Verdi Solaiman – yang ditampilkan begitu membenci Jayden namun tidak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan mendalam mengapa ia bersikap begitu. Begitu juga karakter Helena yang diperankan Sophie Navita. Awalnya ditampilkan sebagai wanita penggoda bagi Jayden, namun lama-kelamaan karakternya tenggelam begitu saja seiring dengan berjalannya cerita. Kehadiran Jayden di tengah-tengah keluarga barunya juga tidak pernah mendapatkan porsi cerita yang sesuai. Jayden bahkan sama sekali jarang digambarkan menghabiskan waktu bersama mereka – hal yang sebenarnya tidak akan menjadi masalah besar jika saja di akhir film, karakter ayah tirinya Hans tidak berkata bahwa kehadiran Jayden telah memberikan ‘kebahagiaan’ dan ‘perubahan positif’ dalam keluarganya.

Simfoni Luar Biasa sendiri bukanlah kali pertama Christian Bautista berakting. Di negara asalnya, Bautista juga dikenal sebagai seorang bintang film yang juga membintangi beberapa serial televisi. Penampilan Bautista dalam Simfoni Luar Biasa tidak mengecewakan. Chemistry yang ia jalin dengan para lawan mainnyalah yang menjadi masalah utama di film ini. Bautista sama sekali tidak terlihat pas untuk disandingkan dengan setiap pemeran lain Simfoni Luar Biasa yang kemudian seringkali menciptakan suasana ackward antara dirinya dengan siapapun yang sedang berbagi adegan dengannya. Jelas permasalahan besar mengingat Bautista merupakan pemeran karakter utama dan membuat karakternya menjadi kurang begitu dapat dipercaya.

Tidak ada penampilan yang istimewa di Simfoni Luar Biasa. Yang cukup mengganggu mungkin adalah penampilan dari Valerie Thomas yang memerankan adik tiri Jayden, Carissa. Valerie seringkali terlihat kaku dalam dialog dan mimik wajah yang ia sampaikan. Karakter sahabat Jayden, Bimo, juga seringkali ditampilkan secara over the top oleh Stanley Saklil, yang membuat karakter tersebut seringkali terlihat sebagai karakter yang mengganggu daripada terlihat sebagai seorang sahabat yang selalu setia mendampingi temannya. Karakter (hampir digambarkan sebagai) love interest bagi karakter Jayden, Laras, yang diperankan oleh Gista Putri juga tampil tidak maksimal, walaupun sepertinya hal tersebut terjadi karena karakter Laras juga tidak diberikan pendalaman karakter yang luas.

Sebagai sebuah tayangan yang mengandung tampilan musikal, harus diakui lagu-lagu yang diaransemen ulang untuk ditampilkan dalam Simfoni Luar Biasa cukup mampu memberikan momen-momen menyenangkan dalam film ini. Kidung milik Chrisye dan Imagine milik John Lennon berhasil ditampilkan kembali dengan baik. Christian Bautista juga memberikan sumbangan vokal lewat lagu I’m Already King yang harus diakui mampu dimanfaatkan dengan baik mengikuti alur cerita film dan menjadi highlight sendiri dalam Simfoni Luar Biasa setiap lagu terebut dihadirkan di dalam jalan cerita.

Sebenarnya wajar saja jika Simfoni Luar Biasa ingin tampil sebagai sebuah film yang sentimental. Sayangnya, naskah cerita dan cara Awi Suryadi mengeksekusinya membuat kandungan emosional tersebut menghilang dan menjadikan Simfoni Luar Biasa terasa datar. Awi juga terkesan tidak begitu mempedulikan detil pengarahan cerita dan lebih mementingkan untuk segera menampilkan hasil akhir cerita daripada proses untuk menuju kesana. Tidak ada yang istimewa dari departemen akting dan tata produksi. Christian Bautista tidak mengecewakan dalam debut akting internasional perdananya, walaupun chemistry yang ia hasilkan bersama para lawan mainnya cukup kurang dapat terasa. Masih cukup dapat dinikmati.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.