Review

Info
Studio : M-Thirtynine
Genre : Drama, Comedy, Romance
Director : Chainarong Tampong, Sakon Tiacharoen
Producer : Jantima Liawsirikun, Monthon Arayangkoon, Heman Cheatamee
Starring : Nuttapong Piboonthanakiet, Apinya Sakuljaroensuk, Irada Siriwut, Alex Rendell, Tisanat Sornsuek

Jumat, 15 Juli 2011 - 03:57:57 WIB
Flick Review : Love Julinsee
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 2977 kali


Here’s another movie anthology from Thailand. Berbeda dengan antologi film lainnya yang biasa datang dari Negeri Gajah Putih tersebut, Love Julinsee merupakan sebuah film yang berisi empat cerita berbeda dengan tema percintaan di kalangan remaja. Diarahkan oleh Chainarong Tampong dan Sakol Tiachareon, premis film ini mengisahkan mengenai empat kelompok remaja yang menghadiri sebuah pagelaran konser besar, Big Mountain Music Festival, di Khao Yai National Park. Namun, empat kisah yang berjalan di film ini tidak terjadi pada saat karakter-karakter di film ini sedang menyaksikan pagelaran konser tersebut, melainkan terjadi sebelum pagelaran konser. Nantinya, setiap kisah yang hadir diakhiri dengan seluruh karakter yang ada di keempat cerita berangkat ke pagelaran konser tersebut.

Kisah pertama yang berjudul Senior Crush bercerita mengenai seorang remaja pria (yang merasa dirinya) tampan bernama Boat (Nuttapong Piboonthanakiet) yang merasa bahwa ketampanannya akan mampu memikat setiap gadis yang ia inginkan, termasuk Fon (Apinya Sakuljaroensuk) seorang kakak kelasnya yang juga anggota cheerleader populer di sekolahnya. Untuk mewujudkan impiannya tersebut, Boat mengajak Fon untuk menghabiskan satu hari bersama. Fon setuju. Namun satu hal yang tidak diketahui oleh Boat, Fon sedang merencanakan sesuatu yang akan memberiknya pelajaran bahwa wanita (dan cinta) bukanlah sebuah permainan yang seperti selalu dianggapnya selama ini.

Dalam Waiting, Love Julinsee menceritakan mengenai rasa sakit hati yang dialaami oleh seorang gadis bernama Pla (Irada Siriwut) yang baru saja mengetahui bahwa kekasihnya telah berselingkuh dari dirinya. Untuk beberapa saat, kehidupan sepertinya tidak lagi berarti baginya. Setiap hari, Pla mengirimkan pesan lewat Facebook kepada kekasihnya untuk mengungkapkan bagaimana rasa kesendirian yang ia alami selama ini. Lewat pesan-pesannya di Facebook itu pula, Pla berhasil merayu kekasihnya untuk hadir di sekolahnya dan menyaksikan penampilan Pla dan band-nya… dimana Pla menyanyikan sebuah lagu yang berisi lirik vulgar untuk mempermalukan sang kekasih di hadapan banyak orang.

Aktor muda, Alexander Simon Rendell, yang baru saja membintangi antologi horor, Four, membintangi kisah ketiga yang berjudul Love is Not to be Played With, yang sekaligus menjadi segmen berdurasi paling panjang dan berkualitas paling buruk di Love Julinsee. Berpasangan dengan Tisanat Sornsuek, segmen ini mengisahkan mengenai seorang gadis bernama Nao (Sornsuek) yang melakukan berbagai hal bodoh (dan sangat, sangat konyol) hanya untuk mendengar kekasihnya, Yoh (Rendell), menyatakan cinta pada dirinya. Sama seperti penonton yang menyaksikan segmen ini, Yoh akhirnya merasa kesal dengan segala tindakan bodoh Nao dan tidak mau memaafkannya. Great!

Setelah tiga kisah yang harus diakui berjalan tidak begitu menarik, segmen keempat, Best Friends, akhirnya menghadirkan dua orang karakter yang benar-benar dapat tampil manis dengan kehadiran chemistry yang sangat erat satu sama lain. Seperti judulnya, segmen ini mengisahkan dua sahabat, Yok (Jirayu La-Ongmanee) dan Eue (Monchanok Saengchaipiangpen), yang kemudian memutuskan untuk menjadi pasangan kekasih. Tentu saja, momen-momen dimana status persahabatan berubah menjadi pasangan kekasih membuat keduanya sering kali terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan. Pun begitu, Yok masih terus mencoba mempertahankan hubungan keduanya, walaupun harus dihadapkan pada sifat Eue yang terkadang sering bersikap sinis pada dirinya.

Sebenarnya tidak ada masalah jika sebuah film benar-benar ingin menghadirkan sebuah cerita yang berada pada sudut pandang usia tertentu, termasuk dari sudut pandang para remaja. Namun, para karakter yang dihadirkan dalam Love Julinsee terlalu memiliki emosi yang meledak-ledak sehingga sulit untuk memberikan rasa simpati pada mereka dan kemudian merasa tertarik dengan kisah yang mereka jalani. Ini yang membuat segmen terakhir, Best Friends, terasa begitu berbeda. Lebih dewasa, mudah dimengerti dan juga sedikit mengharukan.  Untuk segi teknikal, Love Julinsee tidak menawarkan sesuatu yang berarti. Musik-musik yang dihadirkan di sepanjang film digarap oleh Paradox, sebuah band yang cukup populer di Thailand yang juga tampil dalam aksi panggung di Big Mountain Music Festival pada film ini.

Masa remaja adalah masa dimana seseorang ingin mencoba berbagai hal baru dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan percintaan. Masa-masa dimana seseorang harus menghadapi berbagai perasaan dan emosi yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Love Julinsee sepertinya menghadirkan atmosfer percintaan remaja tersebut dengan cukup dangkal. Hal inilah yang akan membuat Love Julinsee hanya akan dapat disaksikan oleh mereka yang menggemari kisah-kisah seperti Crazy Little Thing Called Love alias terlihat sangat menjauh dari pangsa pasar yang memiliki jalan pemikiran lebih dewasa.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.