Aries (Mario Lawalatta) dari kecil hidupnya tidak pernah susah, dia lahir dari keluarga orang berada, ayahnya memiliki perusahaan besar yang kelak akan jatuh ke tangan Aries. Selain kebutuhan yang selalu terpenuhi, Aries juga punya sahabat sejak kecil bernama Guntur (Edo Borne), yang sekarang terkesan seperti asisten pribadi, selalu memanggilnya bos dan melayani segala keperluan Aries. Untuk urusan perempuan, Aries sepertinya tak pernah kesulitan, selalu berhasil dengan bantuan kekayaannya pula. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang cewek yang tidak sedikitpun menoleh materi yang dia miliki. Namanya Vania (Fanny Fabriana), satu kampus dengan Aries, mahasiswi teladan, cerdas, ulet, mendapat beasiswa dan membuka usaha sendiri, berupa sebuah warnet di kampus.
Awal pendekatan Aries memang tidak semulus seperti dia mendekati cewek-cewek lain, Vania tetap dingin merespon segala macam trik Aries untuk mendapatkan perhatiannya, tapi tentu saja si Romeo manja yang satu ini tidak menyerah. Vania sebetulnya juga suka dengan Aries dan dengan sekali kencan, akhirnya mereka memutuskan jadian. Secepat masa pendekatan mereka, masa pacaran mereka pun singkat, tidak menunggu kelulusan, dan tidak juga menunggu restu dari orang tua, terutama keluarga Aries yang tidak setuju jika pewaris tahta kerajaan mereka menikah dengan Vania yang tidak jelas asal-usulnya. Karena merasa sudah cocok dan cinta, tanpa peduli konsekuensinya, Aries pun menikahi Vania dengan mengorbankan tunjangan dan restu dari orang tua.
Setelah menikah, Aries dan Vania tidak tinggal berdua, Guntur ikut tinggal untuk menemani sang majikan. Sudah bisa ditebak, karena Aries tidak bekerja dan menggantungkan kehidupan rumah tangga dari hasil pekerjaan Vania di warnet, hal tersebut kadang menjadi pemicu pertengkaran di antara mereka. Terlebih lagi Aries yang tidak bisa menahan emosi dan selalu membabi-buta jika sedang marah. Keberadaan sang pelayan, Guntur, menambah keruh kehidupan rumah tangga yang baru seumur jagung ini, karena Vania tidak ingin dia ada di rumah bersama mereka. Dalam satu malam sebuah tragedi terjadi yang akan mengubah semuanya, apakah janji bulan madu bahwa Aries dan Vania akan kembali ke Raja Ampat untuk merayakan hari jadi ke-10 akan terwujud?
Diarahkan oleh Dedi Setiadi, sutradara yang sudah malang-melintang di dunia perfilman, khususnya serial drama dan film televisi, sebut saja karyanya Jendela Rumah Kita dan Siti Nurbaya. “True Love”, yang diangkat dari novel karya penulis kenamaan tanah air, Mira W, berjudul “Cinta Sepanjang Amazon” ini, sebetulnya menawarkan sebuah drama cinta yang menjanjikan. Tapi sayang dengan durasinya yang mencapai 122 menit, saya tidak merasa nyaman ketika duduk berlama-lama menyaksikan sebuah kelabilan seorang karakter, yang dijabarkan entah kenapa begitu panjang dan berulang-ulang. Pembicaraan saya tentu saja menunjuk pada tokoh sentral di film yang syuting di Raja Ampat, Papua Barat dan Swedia ini, dia Vania yang diperankan oleh Fanny Fabriana dengan begitu menjiwai, hidup, dan saya akui pandai memainkan emosi penonton. Tapi kesannya Vania yang menjadi bulan-bulanan tragedi dan masalah ini adalah karakter yang sulit untuk disukai, alih-alih sukses mentransfer rasa simpatik ke saya, Vania adalah karakter paling menyebalkan nomor pertama di film ini.
Saya tidak bisa bohong jadi jujur saja, “True Love” itu membosankan, betul-betul cerdik dalam menjabarkan arti “Cinta Sepanjang Amazon”, yah saya tahu mungkin awalnya ingin menggambarkan bagaimana para karakternya memperlihatkan panjangnya lika-liku mereka mempertahankan cinta, atau ego yah? saya juga bingung sendiri. Sebenarnya inti masalah ada pada Vania, tapi karena dia labil dalam mengungkap kebenaran, begitulah karakternya dibentuk, maka virus kelabilan itu menyebar kepada karakter-karakter lain, terutama Aries yang dilakonkan Mario Lawalatta dengan sangat argh! menyebalkan luar biasa. Serius tidak ada satupun karakter di film ini yang bisa membuiat saya betah untuk menikmati filmnya, kecuali penampilan Edo Borne yang porsinya terbatas dan Alex Komang yang sebetulnya juga tidak banyak tampil.
Konflik yang disajikan juga tidak ada yang baru, dan sekali karena “diamnya” Vania, semua permasalahan kembali berulang dan berulang. Sudah cukup rasanya melihat Aries marah-marah dalam satu adegan, tapi malangnya, makin ke ujung Amazon, karakternya tidak berkembang, hanya bisa marah-marah. Bukan memainkan emosi tapi seperti mengusir penonton untuk cepat pergi dari kursinya dan meninggalkan bioskop. 2 jam begitu terasa lama, ketika cerita tidak rela membiarkan saya untuk menikmati filmnya, setengah jam pertama bolehlah saya masih bisa tenang, tapi seterusnya saya seperti orang yang sudah tidak tenang karena perahu yang saya tumpangi bocor, di tengah sungai Amazon yang terkenal banyak piranha itu. “True Love” mungkin bisa memanjakan mata saya dengan gambar-gambar indah pemandangan di Raja Ampat yang mempesona, tapi berbicara cerita dan karakter, saya hanya bisa geleng-gelang kepala, tidak seburuk itu, hanya gagal menyampaikan sebuah pesan cinta lewat sebuah drama yang sulit dinikmati.
Rating :