Review

Info
Studio : Maxima Pictures
Genre : Drama
Director : Rizal Mantovani
Producer : Ody Mulya Hidayat
Starring : Donita, Marcel Chandrawinata, Kaditha Ayu, Arthur Brotolaras, Ichsan Akbar

Jumat, 27 Mei 2011 - 19:08:49 WIB
Flick Review : Pupus
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 5511 kali


Banyak hal yang dapat diceritakan dari daftar filmografi seorang Rizal Mantovani. Harus diakui, horor adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Pun begitu, Rizal juga sempat menyelingi daftar filmografinya dengan film-film drama remaja yang kebanyakan kurang mampu meraih perhatian sebesar film-film horor yang ia rilis. Setelah merilis Cewek Gokil beberapa bulan yang lalu, kini Rizal merilis Pupus, sebuah film yang menandai kali keenam ia bekerja sama dengan penulis naskah Alim Sudio, namun merupakan film drama kedua yang mereka hasilkan setelah Ada Kamu, Aku Ada (2008). Dengan hasil kerjasama seperti Jenglot Pantai Selatan (2011), Taring (2010) atau Air Terjun Pengantin (2010), kerjasama antara Rizal Mantovani dan Alim Sudio bukanlah sebuah kerjasama paling brilian yang pernah ada di sejarah perfilman dunia. Bahkan, setelah melihat apa yang mereka hasilkan untuk Pupus, mungkin kerjasama itu seharusnya telah berakhir semenjak lama.

Sebenarnya, bukanlah sebuah masalah besar jika seorang sutradara atau seorang penulis naskah sama sekali tidak menawarkan sebuah cara penceritaan baru dari jalan cerita yang hendak mereka tawarkan pada penonton. Lihat saja bagaimana The Fighter (2010) atau The King’s Speech (2010) yang tahun lalu tetap dapat mampu tampil memikat walaupun dengan jalan penceritaan yang telah begitu familiar. Dalam Pupus, Rizal dan Alim lagi-lagi mengeksploitasi sebuah jalan cerita yang sepertinya telah begitu sering ditampilkan di naskah cerita film Indonesia – bahkan juga digunakan oleh jalan cerita film Purple Love yang baru saja dirilis – yakni mengenai hubungan sepasang kekasih yang harus terancam oleh suatu penyakit mematikan. Sayangnya, sama seperti Purple Love dan banyak film lainnya, Pupus mengeksekusi bagian kisah ini dengan sangat dangkal. Hasilnya, bagian tersebut menjadi terkesan begitu cheesy dan gagal dalam membangkitkan gairah emosional para penonton untuk dapat tersentuh akan kisah tersebut.

Pupus sebenarnya diawali dengan sangat manis. Layaknya sebuah film-film romansa, Alim Sudio berhasil menyelipkan sebuah adegan meet cute yang cukup… wellcute untuk kedua karakter utama film ini. Cindy (Donita) dan Panji (Marcel Chandrawinata) memang ditakdirkan untuk bersatu. Walau memiliki ketertarikan untuk berkuliah di jurusan yang berbeda, keduanya kuliah di sebuah kampus yang sama dan memiliki tanggal lahir yang sama. Karena dorongan Eros (Ichsan Akbar), mahasiswa senior di jurusan perkuliahan Cindy dan juga sahabat Panji, keduanya akhirnya bertemu dan mulai dekat satu sama lain.

Entah kenapa, dalam sebuah kencan pertama, Panji meninggalkan Cindy begitu saja. Jelas saja, Cindy langsung membenci Panji dan berniat untuk tidak mengenalnya lagi. Kisah asmara Cindy kemudian berlanjut dengan seorang mahasiswa senior lainnya, Hugo (Arthur Brotolaras). Namun, cinta Panji ternyata telah begitu melekat pada Cindy. Karenanya, setelah Cindy akhirnya putus dengan Hugo akibat perselingkuhan Hugo dengan wanita lain, Panji secara perlahan mulai kembali mendekati Cindy. Ketika keduanya telah kembali dekat, Cindy merasa bahwa Panji menyimpan sebuah rahasia dari dirinya. Kecurigaan Cindy terbukti benar ketika suatu hari Panji meneleponnya dan menyatakan bahwa ia telah bertunangan dengan wanita lain.

Jujur saja, kelemahan terbesar dari Pupus berada pada susunan naskahnya yang lemah dan semakin berantakan seiring dengan bergeraknya jalan cerita film ini menuju babak akhir penceritaan. Seperti kebanyakan film-film drama romansa lainnya, bagian terbaik dari Pupus terjadi ketika kedua karakternya sedang berusaha mendekati dan mengenal satu sama lain sedangkan bagian terburuknya mulai mengambil alih ketika keduanya telah menjalin kasih. Bagian awal dari Pupus diisi dengan banyak momen-momen romantis yang terkadang cukup menghibur untuk mengundnag kehadiran senyum tipis di bibir para penontonnya. Ini yang membuat Pupus terlihat begitu menarik pada awalnya.

Sialnya, bagian tersebut tidak berlangsung lama. Seiring dengan bertambahnya intrik percintaan antara karakter Cindy dan Panji, semakin bertambah pula keganjilan-keganjilan yang terdapat di dalam jalan cerita. Banyak sekali adegan yang terasa melompat antara satu adegan dengan adegan lainnya. Ketika Pupus mencapai kisah klimaksnya, dan menceritakan mengenai karakter Panji yang terkena sebuah penyakit mematikan, jalan cerita serta merta berubah menjadi penuh kegalauan para karakternya. Mulai dari pengkisahan mengenai bagaimana mereka menghadapi kehidupan mereka maupun  mengenai bagaimana mereka akan melanjutkan kehidupan percintaan mereka. Pupus kemudian berubah menjadi kisah cinta yang begitu melelahkan untuk disimak.

Ketika jalan cerita yang hendak ditawarkan merupakan sebuah jalinan kisah yang mungkin telah begitu familiar bagi para penonton, seorang sutradara kemungkinan besar akan memberikan sisi lain dari filmnya untuk menutupi kefamiliaran naskah cerita tersebut. Ini mungkin dilakukan dengan pemilihan jajaran pemeran yang atraktif dan menarik serta tata produksi yang terjaga rapi. Rizal Mantovani juga melakukannya terhadap Pupus. Rizal memiliki Donita, yang dengan kecentilannya, tampil cukup atraktif dalam memerankan Cindy. Marcel Chandrawinata, yang biasa tampil dengan penampilan kakunya, kali ini tampil cukup memuaskan dengan chemistry yang terjalin baik dengan Donita.

Porsi peran besar yang diperoleh Donita dan Marcel Chandrawinata memang mempengaruhi jajaran pemeran lainnya. Selain mereka berdua, dan akibat karakterisasi peran pendukung yang sangat terbatas, hampir tidak ada pemeran lain yang dapat mengembangkan karakter mereka dengan baik. Dari sisi produksi, Rizal terlihat sangat berusaha untuk menampilkan deretan gambar di setiap adegan Pupus terkesan menjadi deretan gambar-gambar yang indah. Untuk beberapa saat, Rizal berhasil melakukannya. Dengan pewarnaan terang yang bersinar, Pupus terlihat glossy dan mewah. Namun, menuju penghujung cerita, Rizal seperti melakukannya secara berlebihan. Beberapa adegan yang seharusnya memerlukan mood yang lembut dan tenang, menjadi terkesan tidak nyata akibat pemberian efek cahaya yang berlebihan. Tambahan gubahan beberapa lagu Dewa 19 yang ditampilkan di sepanjang film juga memiliki efek yang sama: terkadang berhasil, walau lebih sering menghasilkan efek adegan yang terlalu didramatisir secara berlebihan.

Dimulai dengan cukup manis, sayangnya Pupus kemudian bergerak secara tidak teratur dan berubah menjadi film yang dipenuhi serangkaian adegan yang terkesan terlalu dibuat-buat dan tidak nyata. Akibatnya, tidak hanya Pupus gagal terhubung kepada para penontonnya secara emosional namun juga film ini menjadi semakin melelahkan untuk disaksikan seiring dengan berjalannya durasi cerita. Donita dan Marcel Chandrawinata memiliki jalinan chemistry yang cukup baik walaupun hal tersebut masih belum mampu memberikan sokongan yang kuat bagi pengisi departemen akting di film ini. Sebuah drama yang seharusnya romantis dan seharusnya menyentuh, namun menjadi begitu datar dan berlebihan akibat naskah serta eksekusi cerita yang terlalu lemah.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.