Review

Info
Studio : Maarif Production, Damien Dematra Production
Genre : Drama
Director : Damien Dematra
Producer : Endang Tirtana, Irene Christina, Stevie Sylvana, Fajar Riza Ul Haq, Damien Dematra
Starring : Radhit Syam, Lucky Moniaga, Pong Hardjatmo, Virda Anggraini, Ayu Azhari, Maya Ayu Permata Sari, Ingr

Kamis, 21 April 2011 - 14:27:10 WIB
Flick Review : Si Anak Kampoeng
Review oleh : Rangga Adithia (@adithiarangga) - Dibaca: 1871 kali


Pada 2010 lalu kita telah diperkenalkan dengan tokoh pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan, lewat film “Sang Pencerah” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Tahun ini, tokoh Muhammadiyah lain kembali diangkat kisahnya ke layar lebar, Damien Dematra akan mengajak kita untuk meneropong kehidupan masa kecil seorang sejarawan dan bapak bangsa, Syafi’i Ma’arif. Film “Si Anak Kampoeng” sendiri beranjak dari novel yang juga ditulis oleh Damien Dematra, menceritakan Syafi’i Ma’arif kecil atau ketika itu biasa dipanggil Pi’i (Radhit Syam), seorang anak yang lahir di desa bernama Sumpur Kudus, Sumatera Barat, yang memiliki impian besar bahwa suatu hari dirinya bisa pergi merantau untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

Walau impian Pi’i sedikit terhalangi oleh keinginan sang ayah, Ma’rifah Rauf (Lucky Moniaga), supaya Pi’i tak perlu merantau dan tetap tinggal untuk membangun Sumpur Kudus, tetapi Pi’i tidak pantang menyerah dan kemudian buru-buru mengubur impiannya tersebut. Sebaliknya Pi’i justru makin giat belajar dan itu dibuktikan dengan prestasinya di Sekolah Rakjat Sumpur Kudus. Pi’i yang semenjak masih bayi telah ditinggal pergi oleh ibu kandungnya ini bahkan sanggup lompat kelas. “Si Anak Kampoeng” tidak hanya mengisi masa-masa kecil Syafi’i Ma’arif dari sudut pandang pendidikan saja, tetapi juga tidak melupakan mengisahkan hubungan Pi’i dengan orang-orang disekitarnya, termasuk juga dengan ayahnya. Dengan latar belakang Sumpur Kudus tahun 40-an, film “Si Anak Kampoeng” pun tidak ketinggalan menceritakan persahabatan Pi’i dengan Zainal, Husin, Makdiah, dan Julai, teman sepermainan dan satu sekolah.

“Si Anak Kampoeng” sepertinya terlalu serakah untuk memasukkan setiap halaman novel untuk tertuang ke dalam film, memang tidak ada salahnya, apalagi jika hasilnya sanggup menceritakan bagian-bagian terpenting dengan maksimal. Namun apa yang dilakukan oleh Damien Dematra justru sebaliknya, penulis yang juga merangkap sebagai sutradara, editor, kemudian duduk dibangku DOP (Director of Photography), sekaligus produser dan terlibat dalam departemen musik ini tampak percaya diri untuk menumpuk-numpuk banyak kisah tetapi tidak mampu menuturkan cerita dengan nyaman dan membuat saya sebagai penonton untuk betah duduk selama 105 menit. Apa yang terjadi bukannya saya asyik melahap setiap cerita masa kecil Syafi’i Ma’arif, sayangnya mendekati menit ke-30 kok saya malah ingin rasanya keluar dari studio.

Dari awal “Si Anak Kampoeng” tampak asyik sekali menyodorkan potongan-potongan kisah, dari kelahiran Pi’i sampai dia berumur 7 tahun, kemudian juga dilanjutkan dengan proses memperkenalkan kita dengan ayahnya dan orang-orang terdekat Pi’i. Pola cerita yang sepotong-potong inilah yang akan dijadikan pondasi Damien untuk bercerita, seperti sebuah slideshow yang dipresentasikan searah oleh Damien tanpa mengajak penontonnya untuk ikut berinteraksi dengan apa yang ditontonnya. Potongan-potongan cerita “Si Anak Kampoeng” terus saja dijejalkan oleh Damien tanpa memberikan sedikitpun emosi saya untuk ikut terlibat, jalan cerita bergulir sangat datar dan membosankan. Damien memang tidak lupa menyelipkan berbagai atraksi dramatisasi sebagai pemancing emosi penonton, tetapi itu pun gagal ketika “potongan” emosi tersebut tidak sanggup menutupi kegagalan lain film ini yaitu dalam menjalin chemistry dengan penonton.

Akting Radhit Syam sebagai Syafi’i Ma’arif kecil bisa dikatakan tidaklah buruk, sebagai seorang anak berumur 7 tahun yang diperlihatkan “sempurna” dia mampu melakonkan bagian-bagian yang dimaksudkan untuk menjadi sebuah inspirasi ataupun panutan bagi yang menonton. Tetapi sekali lagi karena filmnya pun sulit berinteraksi dengan penonton, hal tersebut berimbas besar ketika saya kesulitan menemukan celah untuk menyampaikan rasa simpati saya pada karakter Pi’i. Apalagi karakternya yang ditempatkan pada cerita yang terlalu lama mengajak saya pada konflik-konflik yang setidaknya memperlihatkan pergolakan batin Pi’i dan perkembangan karakternya, alhasil bukannya saya menemukan sesuatu untuk pada akhirnya menyukai karakter ini, sekali lagi saya justru menambahkan nilai plus pada bagaimana film ini berhasil membuat saya mati bosan.

Setelah “Si Anak Kampoeng” sudah berhasil menghadirkan pola cerita tidak kontinu-nya yang sepotong demi sepotong menumpuk rasa bosan, kemudian tidak membuat saya jadi peduli dengan deretan karakter yang dijajarkan tanpa penggalian karakter yang maksimal Film yang didominasi oleh dialek Minang ini terus saja menambah nilai minusnya, pada saat saya melihat “Si Anak Kampoeng” sebagai film anak yang justru tidak fun, terlalu banyak memikul beban pesan dan petuah-petuah tapi kemudian menganaktirikan pesona dunia anak yang seharusnya mengasyikkan. Pesan-pesan yang dibawa film ini sebetulnya mudah untuk dipetik bagi penonton cilik, karena diperlihatkan dengan jelas dan ringan, tetapi saya merasa kemasannya terlalu serius dengan Pi’i yang juga digambarkan menjadi seorang anak yang “disempurnakan”. Jika saja film biopik ini dihadirkan lebih fun, toh bukan tidak mungkin dengan asyik kita juga lebih mudah memetik pesannya tanpa serasa dipaksa-paksa. Karena kabarnya kisah Syafi’i Ma’arif ini akan menjadi sebuah trilogi, semoga saja sekuelnya “Si Anak Panah” mampu memperbaiki kekurangan-kekurangan “Si Anak Kampoeng” yang kurang maksimal dalam bercerita dan menyampaikan kisah yang bertujuan mulia, untuk memberikan contoh dan menginspirasi anak-anak melalui sebuah kisah “anak kampung” yang tidak pernah menyerah untuk menggapai impian.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.