Mereka yang selama ini mengeluhkan bahwa tema cerita film-film Indonesia memiliki variasi yang sangat minim seharusnya dapat merasa cukup senang dengan kehadiran Tebus, yang ditulis dan disutradarai oleh Muhammad Yusuf, yang tahun lalu sempat menggoreskan sedikit memori buruk di banyak ingatan penonton film Indonesia lewat film yang menjadi debut penyutradaraannya, Jinx (2010). Tebus sama sekali bukan sebuah karya yang brilian maupun revolusioner – para sineas Korea Selatan sepertinya telah menetapkan standar yang sangat tinggi untuk film-film bertemakan pembalasan dendam. Namun, belajar dari kesalahannya di film pertama, Muhammad Yusuf berhasil menyusun Tebus menjadi sebuah film yang penuh dengan teka-teki dan intensitas ketegangan yang makin meningkat di tiap menitnya dengan menggunakan alur kisah maju mundur yang sangat efektif.
Kelemahan terbesar di film ini, harus diakui, berada pada 40 menit awal film ini berjalan. Dibuka dengan adegan seorang narapidana yang menjalani ekseskusi tembak matinya, bagian pembukaan film ini kemudian akan memperkenalkan penontonnya pada keluarga pengusaha besar, Rony Danuatmaja (Tio Pakusadewo), dengan istri, Sisca (Chintami Atmanegara), dan kedua puterinya, Ludmilla (Sheila Marcia Joseph) dan Karissa (Luna Sabrina), yang sedang berliburan ke sebuah desa kecil setelah kematian Alaric (Revaldo), putra satu-satunya keluarga tersebut. Liburan yang awalnya berjalan dengan tenang kemudian terganggu dengan teror yang datang kepada keluarga tersebut – yang menandai awal dari peningkatan intensitas ketegangan cerita film ini. Setelah beberapa saat, beberapa pria yang tak dikenal berhasil memasuki rumah tempat keluarga Danuatmaja berlibur dan segera memulai rentetan teror yang ternyata merupakan aksi balas dendam terhadap sebuah perbuatan yang pernah dilakukan Rony Danuatmaja di masa lalu.
Tidak melulu hanya menggunakan alur maju untuk mengisahkan tragedi apa yang terjadi pada seluruh keluarga Danuatmaja pada malam itu, Muhammad Yusuf juga menggunakan alur mundur – yang dilakukan melalui adegan flashback – untuk mengisahkan beberapa plot cerita, khususnya yang berhubungan dengan karakter Alaric dan hal yang menyebabkan kematiannya. Pilihan untuk menghadirkan plot-plot cerita tambahan lewat adegan flashback inilah yang kemudian menjadi keunggulan tersendiri bagi Tebus, ketika deretan adegan tersebut berhasil menjadi satu teka-teki sendiri yang akan menggugah rasa penasaran para penontonnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Danuatmaja.
Jika bagian perkenalan film ini cenderung terkesan lemah akibat penceritaannya yang terlalu datar dan bertele-tele, maka klimaks film ini akan mulai terbentuk pada deretan adegan dimana keluarga Danuatmaja mengalami penyiksaan yang dilakukan tiga pria penyekap mereka dimana ritme cerita yang tadinya berjalan lamban kemudian mulai bergerak cepat dan dinamis. Sayangnya, sutradara Muhammad Yusuf menahan bagian ini terlalu lama – dengan membuat durasi adegan karakter Rony Danuatmaja dihajar dan digantung serta adegan kejar-kejaran antara karakter Sisca dan Karissa dengan para pemburunya berjalan panjang – sehingga ketegangan yang tadinya telah terbentuk menjadi kembali melemah. Ini masih diikuti dengan beberapa inkonsistensi medis – plot penyakit asthma Sisca yang menghilang secara perlahan hingga wajah Rony Danuatmaja yang tak kunjung membiru dan membengkak setelah sedemikian lama dihajar oleh penyekapnya – yang terjadi di dalam jalan cerita dan membuat kualitas penyampaian jalan cerita Tebus menjadi sedikit menurun. Padahal, bila dapat dikelola dengan baik, bagian ini dapat menjadi highlight dari Tebus dan berjalan dengan menegangkan.
Paruh kedua Tebus kebanyakan dimanfaatkan untuk mengenalkan beberapa karakter baru, yang membuat fokus cerita yang tadinya berada pada keluarga Danuatmaja berubah fokus pada deretan karakter-karakter baru yang berhubungan dengan kematian karakter Alaric. Muhammad Yusuf sepertinya ingin menjadikan bagian ini sebagai bagian yang mengisahkan latar belakang mengapa deretan kejadian yang telah diceritakan sebelumnya dapat terjadi. Dan harus diakui hal itu berjalan cukup efektif, walau pada beberapa bagian Muhammad Yusuf terkesan terlalu terburu-buru (dan terlalu singkat) dalam penceritaannya.
Walau beberapa karakter yang dihadirkan di jalan cerita film ini kurang begitu tergali kedalaman karakternya, namun Tebus harus diakui memiliki departemen akting yang cukup solid – berjalan wajar dan snagat meyakinkan. Tio Pakusadewo semenjak awal film telah menunjukkan kestabilan akting yang memuaskan. Pada awalnya terlihat sedikit goyah, akting Chintami Atmanegara ternyata semakin mendalam seiring dengan berjalannya durasi film. Sayang, Jajang C. Noer mendapatkan peran yang kurang begitu berarti sehingga ia tidak mampu menampilkan sesuatu yang lebih dari kemampuan perannya. Selain dari departemen akting, tata musik dan tata sinematografi di sepanjang film Tebus juga tidak mengecewakan. Muhammad Yusuf sepertinya telah sangat mempersiapkan tim produksi film ini sedemikian rupa sehingga timnya sempat menciptakan sebuah prototype social media yang digunakan salah satu karakternya dalam sebuah adegan. Dan adegan tersebut berjalan cukup meyakinkan.
Berjalan datar pada awalnya, Tebus kemudian mampu bangkit dan meningkatkan intensitas ketegangan ceritanya seiring dengan berjalannya durasi film. Departemen akting dan tata produksi film ini merupakan keunggulan yang paling nyata yang dapat disaksikan di sepanjang film. Beberapa kelemahan memang dapat ditemukan pada penulisan naskah dan dialog yang beberapa kali terdengar cheesy – walau masih dalam standar cheesy penulisan naskah sebuah film Indonesia. Namun secara keseluruhan, Tebus adalah sebuah presentasi yang cukup memuaskan.
Rating :