Bahkan dengan durasi film yang berjalan sepanjang 124 menit, The Sword with No Name masih belum mampu untuk mengeksplorasi seluruh plot cerita yang ingin dituangkan sutradara Kim Yong-gyun dalam film tersebut. Mengisahkan mengenai kisah nyata Empress Myeong-seong – Permaisuri Korea Selatan di masa Dinasti Chosun pada akhir abad ke-19 dan sekarang sangat populer di kalangan masyarakat Korea karena tindakannya yang sangat berani dalam melawan agresi tentara Jepang – The Sword with No Name memasukkan terlalu banyak intrik di dalam jalan ceritanya yang akhirnya malah membuat film ini tidak memiliki satu titik fokus yang dapat menarik perhatian para penontonnya.
Walau karakter Empress Myeong-seong (Su Ae) adalah seorang karakter nyata, hubungan romansanya yang digambarkan di film ini adalah sebuah cerita fiktif. Dikisahkan, beberapa saat sebelum dirinya menikah dengan sang raja, King Gojong (Kim Young-Min), Min Ja Yeoung – nama asli Empress Myeong-seong sebelum ia menikah – bertemu dengan seorang pemburu bayaran, Mu-Myeong (Cho Seung-Woo), dan segera menjalin persahabatan yang sangat dekat dengannya. Mu-Myeong sendiri secara mulai jatuh hati kepada Min Ja Yeoung dan tak pernah segan untuk menunjukkan perasaan itu padanya, walaupun ia mengetahui bahwa Min Ja Yeoung akan segera menjadi permaisuri di kerajaan negaranya.
Beberapa tahun kemudian, Min Ja Yeoung akhirnya menikah dengan King Gojong dan berganti nama menjadi Empress Myeong-seong. Min Ja Yeoung, yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keluarga kerajaan, akhirnya menyadari bahwa kehadirannya, dengan seluruh kecerdasan dan keberanian yang ia miliki, dianggap sebagai ancaman bagi beberapa orang, khususnya dari sang ayah mertua, Dae Won Kun (Cheon Ho-Jin). Mu-Myeong, yang masih menyimpan perasaan hatinya pada sang permaisuri, akhirnya mendaftarkan dirinya untuk menjadi seorang pengawal istana guna mendedikasikan hidupnya untuk mengawal Empress Myeong-seong. Di masa-masa inilah, ketika Korea berada di ambang modernisasi sekaligus di ambang ancaman masuknya tentara Jepang, Mu-Myeong berusaha untuk melindungi Empress Myeong-seong dari ancaman banyak orang yang mencoba menyingkirkannya.
Banyaknya intrik permasalahan yang coba dihadirkan di The Sword with No Name akan membuat banyak orang seperti menyaksikan tiga film yang dijadikan satu oleh sang sutradara. Film pertama mengisahkan bagaimana hubungan cinta dua orang karakter yang berbeda status dalam usaha mereka untuk terus saling menjalin hubungan. Film kedua berkisah mengenai intrik politik antara dua pihak, yang kali ini diceritakan antara Korea dan Jepang, untuk merebut atau mempertahankan wilayah mereka. Suatu bagian cerita yang ditampilkan dengan banyak adegan laga khas film-film Asia Timur. Sedangkan film ketiga, walaupun dihadirkan dengan porsi yang lebih minimalis dibandingkan dengan dua kisah lainnya, bercerita mengenai seorang permaisuri yang mencoba untuk membawa negaranya ke arah yang lebih baik melalui modernisasi.
Sayangnya, sutradara Kim Yong-gyun terlihat kurang mampu untuk memadukan ketiga plot utama cerita tersebut untuk menjadi sebuah kisah yang mengalir dengan baik. Ketika kisah perseteruan politik yang diwarnai beberapa adegan laga mampu dihantarkan dengan penuh pesona, khususnya dari sisi visual, The Sword with No Name kemudian memasukkan unsur romansa, yang walaupun mampu ditampilkan dengan baik oleh kedua pemeran karakter tersebut, tetap menimbulkan kesan sebagai suatu bagian yang berjalan tanpa pengembangan yang berarti. Diantara dua kisah ini, tepatnya di tengah-tengah film, plot mengenai usaha sang permaisuri untuk melakukan modernisasi dimasukkan. Walau hanya ditampilkan secara penuh dalam beberapa adegan saja, plot ini terlihat cukup kuat mengingat kuatnya karakterisasi dari Empress Myeong-seong yang digambarkan di sepanjang film.
Sutradara Kim Yong-gyun juga sepertinya mencoba menyatukan dua tampilan yang berbeda dalam menggambarkan jalan cerita film ini. Visual pertama merupakan sinematografi alami khas film-film Korea Selatan yang mampu menangkap seluruh keindahan lanskap alam. Di tengah film – yang dimulai dalam sebuah adegan perseteruan – barulah visual mulai digabung dengan beberapa animasi CGI. Walau kebanyakan dimanfaatkan untuk menampilkan efek slow motion dari gerakan dua karakter yang sedang berseteru, harus diakui tampilan special effect tersebut cukup mampu untuk dapat tampil memikat. Harus diakui, adalah sebuah usaha yang cukup layak dipuji atas penggabungan dua tampilan visual tersebut.
Departemen akting film ini, untungnya, didukung dengan jajaran aktor dan aktris yang dengan sempurna mampu membawakan setiap karakter mereka dengan baik. Su Ae terlihat pas dalam memerankan Empress Myeong-seong, namun dua aktor, Cho Seung-Woo dan Cheon Ho-Jin, yang memerankan Mu-Myeong dan sang ayah mertua, Dae Won Kun, yang harus diakui benar-benar menampilkan kemampuan akting impresif. Dalam tata produksi, The Sword with No Name terlihat sangat unggul dalam tata kostum yang ditampilkan di sepanjang film.
Sebagian kisah polittik dan sebagian kisah romansa, The Sword with No Name sayangnya harus takluk karena ambisi sang sutradara untuk mengangkat terlalu banyak plot cerita di dalam film ini. Bukan suatu hal yang salah, sebenarnya, namun Kim Yong-gyun terlalu sering melakukan pergantian fokus cerita dalam menggambarkan The Sword with No Name yang kemudian berakhir dengan hilangnya titik poin penting cerita di beberapa bagian tempat. Departemen akting serta tata kostum dan visual menjadi bagian paling unggul dari film yang kemungkinan besar akan sedikit sulit untuk menarik hati pasar penonton dalam skala luas ini.
Rating :