Krisis film-film Hollywood yang dapat dirilis di ranah layar lebar Indonesia sepertinya telah sedemikian akut sehingga The Gravedancers, yang di Amerika Serikat sendiri telah dirilis semenjak tahun 2006, baru mendapatkan jadwal tayangnya pada tahun 2011 di Indonesia. Bukan masalah besar sebenarnya, karena walaupun memiliki premis yang terdengar sangat sederhana, The Gravedancers ternyata mampu dieksekusi dengan cukup baik sehingga menghasilkan pencapaian yang tidak begitu mengecewakan, minimal tidak seburuk apa yang dibayangkan banyak orang ketika mendengar tentang sebuah film yang baru dirilis lima tahun setelah masa rilis awalnya.
The Gravedancers mengisahkan tiga sahabat, Harris McKay (Dominic Purcell), Kira Hayden (Josie Maran), dan Sid Vance (Marcus Thomas), yang setelah demikian lama tidak saling berjumpa satu sama lain, akhirnya berkumpul kembali untuk menghadiri pemakaman sahabat mereka. Merasa belum puas untuk mengucapkan perpisahan pada sang sahabat, mereka memutuskan untuk pergi ke kompleks pemakaman dan berkumpul di sana. Atas dorongan sebuah puisi yang dibacakan oleh Sid, yang diartikannya sebagai ‘menari di atas sebuah kuburan,’ dan juga pengaruh alkohol dari minuman yang mereka bawa, ketiga karakter tersebut pun berpesta di atas kuburan-kuburan tersebut… yang kemudian menjadi sumber datangnya teror dalam kehidupan mereka.
Harris dan istrinya, Allison (Clare Kramer), kini diteror oleh arwah seorang guru musik wanita yang ingin membunuh mereka. Sid diteror oleh arwah seorang anak yang senang untuk membakar barang-barang yang ada di dekatnya. Yang paling buruk, Kira diteror oleh seorang hakim yang suka menyiksa wanita ketika sedang melakukan hubungan seks. Melalui bantuan dua ahli paranormal, Vincent Cochet (Tchecky Karyo) dan Frances Culpepper (Meganh Perry), diketahui bahwa perbuatan mereka yang menari di atas kuburan dan membacakan puisi – yang ternyata merupakan sebuah mantra – menjadi sumber malapetaka tersebut. Dan ketiga arwah tersebut tidak akan berhenti sebelum Harris, Kira dan Sid menemui ajal mereka.
Apa yang ditampilkan sutradara Mike Mendez di The Gravedancers sepertinya memenuhi setiap ekspektasi akan sebuah film horor yang diproduksi dengan skala sederhana. Walau begitu, beberapa kali The Gravedancers tampil dengan special effects yang terlihat meyakinkan. Dalam hal penulisan naskah, karya Brad Keene dan Chris Skinner memang sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Setiap gerak-gerik karakter yang ditampilkan di film ini sepertinya sangat mudah untuk ditebak karena mengikuti dengan patuh setiap formula film yang mengisahkan mengenai karakter yang sedang dikejar-kejar sesuatu yang mengancam hidup mereka.
Sederhana, namun beberapa bagian plot cerita mampu tergarap dengan baik. Kisah mengenai latar belakang setiap arwah yang menghantui ketiga karakter film ini mampu digarap dengan tampilan visual yang demikian gelap dan menghantui. Bagian-bagian kecil inilah yang membuat The Gravedancers tetap dapat tampil menarik untuk diikuti, termasuk sempalan plot cerita mengenai kisah drama hubungan suami istri yang dikemukakan di beberapa bagian cerita film.
Kelemahan terbesar The Gravedancers berada pada departemen aktingnya. Bukan karena mereka menunjukkan kemampuan akting yang tidak memadai, namun karena setiap aktor dan aktris di film ini terlihat sama sekali tidak bersemangat untuk menghidupkan karakter yang mereka mainkan. Yang terburuk di antara mereka adalah Marcus Thomas dengan yang menampilkan ekspresi dan intonasi yang hampir sama pada setiap adegan. Tuan Thomas bahkan mampu menampilkan mimik wajah yang terlihat baik-baik saja ketika karakternya hampir menemui ajalnya.
The Gravedancers sama sekali bukanlah sebuah karya yang istimewa. Jalan ceritanya sendiri dengan patuh mengikuti setiap formula horor tradisional yang ada mengenai deretan karakter yang berusaha untuk menyelamatkan diri dari sesuatu yang mengancam hidup mereka. Walau tidak memiliki jalan cerita dan jajaran pemeran yang istimewa, The Gravedancers setidaknya masih mampu terlihat sebagai sebuah karya yang dikerjakan dengan kesungguhan. Penataan produksi seperti tata efek hingga tata musik berhasil memberikan atmosfer horor yang cukup meyakinkan. Sebuah film horor yang sederhana, namun mampu memberikan hiburan yang tidak akan mengecewakan para penggemar horor.
Rating :