Selepas Ivanna, Kimo Stamboel punya film horor lain di tahun ini; Jailangkung: Sandekala. Memang hanya masalah timing saja, mengingat film ini sebenarnya telah lama usai dikerjakan, namun pandemi membuat penayangannya terpaksa tertunda. Lantas, apakah penantian ini memang layak?
Sepertinya tidak, karena setelah menyaksikan dua film terkini Kimo ini lantas membuat kita bertanya-tanya apakah Ratu Ilmu Hitam yang seru itu hanya sebuah kebetulan semata. Apalagi mengingat Kimo pun meluncur solonya sebagai sutradara dengan buruk melalui Dreadout.
Jailangkung: Sandekala diniatkan sebagai semacam reboot untuk franchises Jailangkung, yang sejauh ini terdiri atas dua film semenjana yang ternyata sukses di pasaran.
Dengan begitu, tentu saja secara konsep film menyajikan pendekatan berseberangan. Bahkan boleh dikatakan jika dihilangkan atribut Jailangkung itu sendiri dari gimik plot, ini adalah film yang jauh berbeda.
Kimo yang juga bertugas sebagai penulis naskah bersama Rinaldy Puspoyo tampaknya lebih menekankan pada sisi misteri dan investigasi ketimbang horor belaka, selain penekanan pada dinamika drama keluarga.
Keluarga sebagai pusat kisah film Kimo seharusya memang bukan sesuatu yang asing, mengingat Ratu Ilmu Hitam dan juga Ivanna memiliki pendekatan serupa.
Kali ini fokusnya pada pasutri Adrian (Dwi Sasono) dan Sandra (Titi Kamal), yang sedang melakukan perjalanan darat bersama dua anak mereka, Niki (Syifa Hadju) dan Kinan (Muzakki Ramdhan).
Saat beristirahat di sebuah telaga menjelang senja datang, Kinan mendadak hilang secara misterius. Seorang polisi bernama Madjid (Mike Lucock), dan keponakannya, Faisal (Giulio Parengkauan), turut membantu pencarian mereka.
Perpaduan antara elaborasi mitos lokal tentang anak hilang yang disekap makhluk halus di kala Maghrib, Jailangkung itu sendiri, dan juga sisi investigatif serta drama keluarga seharusnya menjadikan Jailangkung: Sandekala sebagai sebuah kisah yang kaya akan nuansa dan lapisan.
Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Setiap elemen tersebut terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa perekat utuh untuk menjalin mereka menjadi satu kesatuan. Bahkan elemen isi Jailangkung terasa seperti tempelan saja, agar ada kesinambungan dengan film-film terdahulu di franchise-nya.
Tidak masalah jika film mencoba membangun momentum melalui plot yang berjalan merambat, asal saja tersaji dengan alur menarik, bukan datar sebagaimana yang ada dalam film ini.
Mungkin Kimo dan Rinaldy merasakan hal yang sama sehingga memutuskan untuk "banting setir" di babak ketiga dengan menghadirkan gaya bercerita dan atmosfer dengan pendekatan ala slasher. Atau bisa jadi memang demikian konsep awalnya, meski jika memang begitu realisasinya tidak begitu meyakinkan.
Sebenarnya babak ketiga film adalah yang paling menarik dibandingkan dua babak sebelumnya, karena ketegangan digeber dengan lebih intens.
Hanya saja, tidak cukup untuk menjadikan Jailangkung: Sandekala sebagai sebuah film yang kohesif, karena hanya membuat warna film menjadi belang-belang secara tidak rapi. Sulit untuk menghindari kesan konyol pada babak ketiga ini, termasuk dengan asupan komedi yang terasa masuk secara mendadak dan tidak padu dengan atmosfer film secara keseluruhan.
Mungkin cocok saat diterapkan di Rumah Dara (2010), debut film panjang Kimo yang dilakukannya bersama Timo Tjahjanto di bawah moniker Mo Brothers. Sayangnya, Jailangkung: Sandekala tidak memiliki kualitas eksekusi film slasher ciamik tersebut.
Rating :