Lima tahun berlalu semenjak Pengabdi Setan (2017), ulang biat/prekuel/reboot untuk film klasik berjudul sama, jelas antusiasme menjadi besar untuk lanjutannya.
Dengan embel-embel Communion sebagai sub-judul, tampaknya Joko Anwar sebagai sutradara sekaligus penulis naskah ingin mengembangkan lingkup cerita untuk kultus yang sempat diperkenalkan dalam film sebelumnya.
Selepas tragedi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, bapak Bahru Suwoni (Bront Palarae) kini mengajak anak-anaknya yang tersisa, Rini (Tara Basro), Toni (Endy Arfian) dan Bondi (Nasar Annuz) untuk tinggal di sebuah rumah susun. Alasannya masuk akal; hidup secara komunal bersama banyak orang di satu lokasi cukup aman ketimbang tinggal di rumah.
Pada suatu malam penuh badai, ketenangan keluarga ini, dan para penghuni rusun lain, seperti Wisnu (Muzakki Ramadhan), Tari (Ratu Felisha), Ari (Fatih Unru) atau Dino (Jourdy Pranata), terusik dengan hadirnya ancaman mengerikan dan mengancam jiwa mereka.
Secara konsep, Pengabdi Setan 2: Communion digeber dalam kanvas lebih luas karena ingin mengelaborasi kultus sesat yang melibatkan Ibu Mawarni Suwono (Ayu Lakshmi). Joko cukup cermat memasukkan beberapa unsur sosio-politis era tersebut untuk kemudian dikaitkan dengan mitologi semesta karangannya.
Hanya saja, ternyata bukan berarti Communion menawarkan sesuatu yang berbeda. Secara garis besar film adalah pengulangan formula dari film sebelumnya. Menjadi pembeda adalah barisan karakter yang lebih beragam dan pastinya seting yang berbeda.
Film masih menyisakan banyak pertanyaan yang tampaknya disiapkan untuk film berikutnya. Dengan demikian, Communion menyajikan dirinya seperti sebuah wahana rumah hantu yang tujuan utamanya adalah menakuti-nakuti penonton ketimbang benar-benar berniat menceritakan sesuatu yang signifikan atau esensial.
Harus diakui jika film masih bisa diandalkan dalam meramu adegan horor efektif dengan bangunan antisipasi dan atmosfer kuat. Hanya saja, dengan meminjam konsep wahana tadi, pada ujungnya film tak lebih dari kompilasi jump scares ketimbang kisah utuh dan organis.
Film terasa repetitif dalam sajian jump scares-nya alih-alih menawarkan formulasi pemancing rasa takut berbeda dari sebelumnya. Film tampak nyaman dengan sajian setipe dan tertebak kalau tidak mau disebut klise. Ini jadinya menghambat alur untuk menjadi lebih dinamis ketimbang bertele.
Padahal film sudah dibuka cukup baik dengan janji perkembangan cakupan mitologinya atau juga karakter Budiman Syailendra yang diperankan oleh Egy Fadly. Namun lagi-lagi sosoknya diutilisasi hanya sebagai komplementer dan kembali menjadi semacam deus ex-machina di penghujung cerita.
Sedang sebagai besar karakter lain pun harus puas ditugaskan sebagai sekedar alat penggerak plot. Latar mereka tidak begitu jelas sehingga sulit untuk bisa merasa peduli dengan eksistensi mereka di sepanjang durasi.
Communion memang masih menderita penyakit yang sama dengan sebagian besar film Joko Anwar lainnya, babak ketiga yang keteteran dalam mengeksekusi ide yang lebih matang dan tidak anti-klimatis.
Bukan berarti Communion adalah film yang buruk sekali. Secara teknis ia tetap film yang kompeten. Asupan komedinya mulus tanpa terlalu dipaksakan. Namun, kalau berharap lebih, atau sesuatu yang berbeda, ia bukan jawabannya.
Rating :