Pertanyaan yang muncul dari wacana reboot terbaru Batman oleh Warner Bros./DC Films adalah, apakah urgensinya, mengingat versi terbaru sang Dark Knight yang diperankan Ben Affleck dalam beberapa film DC Extended Universe (DCEU) masih segar menghiasi layar bioskop.
Memang selepas Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dan Justice League, Affleck direncanakan tampil solo sebagai Batman yang langsung digarapnya sendiri sebagai sutradara. Sayangnya, rencana tersebut gagal jalan dan proyek beralih ke tangan sutradara lain, Matt Reeves (Cloverfield, Let Me In, Dawn of the Planet of the Apes).
Oleh Reeves, melalui film berjudul The Batman, kisah sang pahlawan super ikonik ini dihadirkan baru dan mandiri karena terlepas dari DCEU. Dengan demikian sang Batman/Bruce Wayne pun diputuskan jatuh ke tangan aktor baru, yaitu Robert Pattinson.
Reeves yang juga turun tangan langsung menggarap naskah film bersama dengan Peter Craig mengerti benar jika The Batman harus berbeda dengan versi-versi sebelumnya. Maka ia memutuskan untuk memusatkan Batman sebagai sosok investigator. Bagaimanapun Batman yang merupakan kreasi Bob Kane dan Bill Finger ini lebih dulu dikenal sebagai The World’s Greatest Detective sebelum akhirnya populer sebagai pahlawan super.
Sebagaimana yang disebutkan Finger, ide dari karakteristik Batman adalah perpaduan antara Douglas Fairbanks dan Sherlock Holmes. Seakan berniat back-to-basic, inilah yang kemudian disajikan Reeves dalam The Batman. Bukan sekedar kisah detektif belaka, karena dengan berbalutkan sisi film noir yang kental, The Batman adalah sebuah thriller misteri gelap dan atmosferik, mengingatkan akan Seven atau Zodiac karya David Fincher yang berpadu dengan The French Connection garapan William Friedkin atau Chinatown-nya Roman Polanski.
Berseting Gotham di tahun kedua Bruce Wayne mengenakan mantel sosok bertopengnya, Batman dalam The Batman belumlah semapan Batman-Batman di versi sebelumnya. Wayne pun belum menjadi sosok kosmopolitan dan atraktif sebagaimana yang kita kenal. Meski 20 tahun berlalu semenjak tragedi yang merenggut nyawa kedua orangtuanya, Wayne masih diselubungi duka mendalam yang membuatnya tampak layaknya anggota band emo.
Terkecuali James Gordon (Jeffrey Wright), kepolisian Gotham City pun belum menjadi sekutu Batman dalam memberantas kejahatan dan selalu memandangnya dengan curiga. Korupsi dan kriminalitas begitu merajalela, bahkan struktural, di Gotham, sehingga sulit menemukan mana lawan atau kawan sejati.
Mengaku dirinya sebagai sang “Vengeance” alias pembalas dendam, Batman memang cenderung mengejar penjahat-penjahat kelas teri yang memenuhi jalanan dan lorong gelap kota. Sampai suatu hari muncul teror dari sosok yang menamakan dirinya Riddler (Paul Dano). Bagai pembunuh berantai, ia menghabisi banyak tokoh penting kota Gotham.
Dari sinilah Batman/Bruce Wayne mulai melebarkan “sayap” dan sasaran penyelidikannya dan membuatnya harus bersiteru dengan gembong kelas kakap yang ditakuti banyak orang, Carmine Falcone (John Turturro) dan bawahannya, Oswald “Oz” Cobblepot alias Penguin (Colin Farrell). Sementara itu, sesosok perempuan misterius bernama Selina Kyle (Zoë Kravitz) bersinggungan pula dengan aksi Batman.
The Batman memang tidak seperti awamnya film pahlawan super lain. Adegan-adegan laga spektakuler nan komikal nyaris absen di dalamnya. Dengan alur yang berjalan merambat, film bukan hanya mengajak kita larut dalam sisi investigatif Batman, tapi juga sisi psikis berbagai karakternya.
Durasi yang berjalan nyaris mencapai tiga jam memang menjadi tantangan tersendiri. Meski demikian, ketelatenan Reeves dalam merangkai alurnya membuat kita bisa meminggirkan hal tersebut dan fokus dalam kisah dan atmosfer-nya. Film juga memilih untuk tidak menghadirkan adegan klimaks menggelegar, melainkan pendekatan yang lebih subtil bahkan filosofis dan puitis. Lengkap dengan bahasa visual yang menggambarkan transformasi Batman dari sesosok vigilante menjadi pembawa harapan untuk masyarakat di sekitarnya.
Pada dasarnya The Batman sebenarnya bukanlah film yang kompleks. Alurnya sederhana saja. Hanya saja, pilihan Reeves untuk menghidangkannya sebagai sebuah tontonan yang memiliki lapisan dan tekstur membuat The Batman tampil mencorong dibandingkan rekan-rekannya.
Apalagi film didukung dengan jajaran pemain dengan akting kaliber dan memberi dimensi untuk karakter mereka yang sebenarnya bisa jatuh menjadi karikatural. Bukan hanya Pattinson – yang memiliki chemistry sangat kuat bersama Kravitz – barisan aktor lain pun bermain gemilang. Apalagi didukung dengan karakterisasi yang cukup kuat tadi.
Jadi, menjawab pertanyaan di atas; ternyata tidak ada salahnya jika aksi solo Batman kembali dihadirkan. Apalagi tim di belakangnya ternyata mampu memberikan perspektif berbeda dan memberi warna segar dalam semesta sang pahlawan pembela kebenaran legendaris ini. Menyimak The Batman, rasa-rasanya tidak ada salahnya jika memantikan sepak terjang berikutnya dari Batman versi Robert Pattinson ini.
Rating :