Bisa dimengerti jika Neve Campbell, Courtney Cox, dan David Arquette, trio pemeran utama dari franchise Scream enggan melanjutkan kisahnya selepas Scream 4 (2011). Bukan karena secara box office tidak semeriah film-film sebelumnya, namun karena wafatnya sang sutradara sekaligus ikon horor, Wes Craven, di tahun 2015 lalu. Bagaimanapun tanpa kehadiran Wes, franchise Scream tidak akan pernah sama.
Singkat cerita, ternyata judul kelima franchise ini, yang kembali memakai judul Scream saja, terlaksana juga. Hanya saja bangku penyutradaraan kini diduduki oleh duo Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett yang sebelumnya sukses dengan horor-komedi banjir darah, Ready or Not (2019).
Bettinelli-Olpin dan Gillett mengaku sebagai fans berat Scream dan rupanya itu cukup untuk melibatkan para pemain orisinal tadi untuk terlibat dalam film yang disebut sebagai “rekuel” alias reboot-sekuel ini. Sepanjang menyimak Scream (2022), kita bisa memang merasakan kecintaan Matt dan Tyler kepada Scream, karena semangat kecerdikan dan juga kengerian yang sama turut mewarnai atmosfer film.
Sebagai rekuel, film memusatkan perhatian pada barisan karakter (remaja) baru. Woodsboro masih menjadi seting. Hanya saja, yang menjadi sasaran Ghostface yang misterius kali ini adalah Tara Carpenter (Jenna Ortega) dan barisan teman-temannya, termasuk kakak-beradik kembar yang merupakan keponakan Randy Meeks, Chad dan Mindy Meeks-Martin (diperankan Mason Gooding dan Jasmin Savoy Brown).
Serangan terhadap Tara menyebabkan sang kakak yang telah lama meninggalkan Woodsboro, Samantha atau Sam (Melissa Barrera), pun kembali, yang disertai dengan teman dekatnya, Richie (Jack Quaid).
Teror Ghostface menyebabkan Sam menemui Dewey Riley (Arquette), yang kini hidup menyendiri setelah berpisah dari Gale Weathers (Cox) dan melepas jabatan sheriff. Awalnya enggan, namun Dewey akhirnya bersedia juga. Sidney Prescott yang juga sudah hidup terpisah pun memutuskan kembali untuk menuntaskan aksi bengis Ghostface.
Sang kreator franchise, Kevin Williamson, tidak dilibatkan dalam penulisan naskah, tapi James Vanderbilt dan Guy Busick tampaknya mengerti esensi dari sebuah film Scream: sebuah satir untuk genre horor itu sendiri dan juga komentar sosial tentang apa yang sedang hangat terjadi, tanpa melupakan sisi horornya, tentu saja.
Jika Scream di tahun 1996 lalu mengambil referensi dari banyak film horor di beberapa dekade sebelumnya, maka kesuksesannya dalam “meluncurkan” franchise film-dalam-film, Stab, menjadi bagian dari penceritaan Scream versi 2022, selain juga “elevated horror” alias horor prestisius sejenis The Witch atau Hereditary. Bukan hanya itu, film juga menohok soal “toxic fandom“, yang memang harus diakui semakin mewabah saja akhir-akhir ini.
Scream dikenal sebagai film yang “self-referential” dan juga meta. Scream edisi 2022 juga bukan pengecualian. Seru sekali menyimak film yang menelaah, dan juga mengkritisi isu-isu yang sedang hangat ini, sembari memberi tribut kepada Scream itu sendiri. Film yang sangat menyadari identitas dirinya tapi juga menghormati genre yang diusungnya.
Meski begitu, tetap saja Bettinelli-Olpin, Gillett, James Vanderbilt, dan Busick bukanlah Craven dan Williamson. Kapasitas mereka lebih kepada sebuah penghormatan yang cenderung sebagai sebagai impersonasi ketimbang benar-benar menyamai.
Naskah Scream tidak setajam para pendahulunya dan terlalu sering bermain-main dengan konsep meta dan trivia dalam genre ini, namun sedikit meminggirkan sisi horornya. Usungan komedi dalam film pun hadir dengan lebih melimpah, seolah hendak menyaingi pendekatan yang diambil oleh Scream 3 (2000).
Memang, dari segi kekerasan dan aliran darah, film menyajikan dalam kadar yang lumayan memuaskan. Tapi kebengisan bukan satu-satunya pemantik kesuksesan sebuah horor. Atmosfer, build-up, antisipasi dan suspensi film boleh dikatakan dalam kapasitas yang biasa saja kalau tidak mau disebut tertebak.
Barisan pemain barunya juga menunaikan tugasnya dengan baik, meski tetap harus diakui film terasa lebih hidup saat karakter orisinal seperti Sidney, Gale dan Dewey muncul di layar, meski kali ini kapasitas mereka lebih dari pendukung ketimbang pemain utama.
Terlepas dari itu, sebagai sebuah sajian horor, Scream terbaru ini tetap memikat dan seru untuk disimak. Boleh dikatakan ia cukup berhasil dalam menunaikan tugasnya untuk “menghidupkan” franchise Scream. Yang pasti kehadirannya telah memantik keinginan untuk kembali menyaksikan sepak-terjang Ghostface di babak berikutnya.
Rating :