Di tahun 2019 lalu, Gina S. Noer sukses meluncurkan debut sutradaranya dengan Dua Garis Biru. Melalui film tersebut, ia seolah menyatakan jika dirinya bukan sekedar penulis naskah andal saja, tapi juga sineas yang tangkas. Beberapa tahun berlalu, kini hadir karya penyutradaraan keduanya; Cinta Pertama, Kedua & Ketiga.
Dengan sukses Dua Garis Biru, tentunya ekspektasi menjadi besar untuk film terbarunya ini. Sayangnya, Gina malah terkesan tergagap saat menyajikan Cinta Pertama, Kedua & Ketiga.
Idenya menarik, tentang konflik antar-generasi. Keluarga masih menjadi bingkai utama film dengan bumbu-bumbu romansa mewarnai. Berkisah tentang Raja (Angga Yunanda) seorang pemuda usia 20 tahunan yang tinggal berdua bersama sang bapak yang memiliki usia jauh di atasnya, Dewa (Slamet Raharjo), semenjak kedua kakak-nya (diperankan Widi Mulia dan Ersa Mayori) telah hidup berumah-tangga.
Ada juga Asia (Putri Marino) yang tinggal berdua saja dengan ibundanya, Linda (Ira Wibowo). Perjalanan nasib mempertemukan dua keluarga ini dan berujung pada pernikahan antara Dewa dan Linda. Sementara itu, Raja dan Asia ternyata juga memiliki benih cinta di hati masing-masing.
Di atas kertas, Cinta Pertama, Kedua & Ketiga akan menjadi sebuah film bertema roman yang kompleks sekaligus mendebarkan. Kenyataanya tidak demikian. Gina terlalu repot ingin memasukkan banyak ide di dalamnya, termasuk beberapa khas melodrama, seperti penyakit fatal yang mengancam, selain juga masalah-masalah sosial seperti himpitan ekonomi, dan berbagai printilan lain.
Berbagai isu yang ditawarkan film sebenarnya apik. Masalahnya tidak ada satupun yang tergali dengan baik. Gina seolah menumpuk semuanya, tapi kurang memiliki kemampuan untuk menjalinnya melalui satu benang merah yang jahitannya mulus. Semua permasalahan yang ada di film berteriak meminta perhatian, seolah semuanya layak untuk dikedepankan dan tidak ada yang menjadi semacam panggung untuk tema besarnya.
Fokus melebar kemana-mana inilah yang membuat film menjadi berlarat-larat. Padahal di bagian awal Gina mengeksekusi film dengan editing lumayan kilat. Saking cepatnya seperti terasa melompat-lompat. Setelahnya, alur berjalan dengan merambat bahkan tertatih, sehingga terasa menjemukan.
Keterlibatan para pemain yang mayoritas bernama besar dan memiliki jam terbang tinggi pastinya menunjang performa film. Meski sebenarnya tidak ada yang terlalu menonjol juga, namun setidaknya fungsional.
Ganjalan utama terdapat pada Angga Yunanda. Alih-alih sebagai seorang pemuda di awal 20-an yang terpaksa matang akibat situasi, interprestasi untuk karakternya lebih mirip seorang siswa sekolah menengah kolokan sehingga terasa menyebalkan ketimbang mengundang simpati.
Agak disayangkan memang Cinta Pertama, Kedua & Ketiga tidak bisa memenuhi premis awalnya. Ia cenderung seperti sebuah kompilasi antara adegan marah-marah atau pamer kesedihan, ketimbang menjadi sebuah film dengan pesan dan bobot emosional kuat. Sama halnya dengan berbagai adegan tari dan dansa dalam film yang terlihat canggung, nyaris tidak berjiwa, dan tidak memiliki esensi signifikan untuk leitmotif ceritanya.
Rating :