Selamat kepada Tom Holland, karena film aksi solo Spider-Man versinya akhirnya bisa mencapai bagian ketiganya dengan Spider-Man: No Way Home, menyusul versi Tobey Maguire di era 2000-an dulu. Sebuah “kemewahan” yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Andrew Garfield melalui seri The Amazing Spider-Man dirinya.
Tapi Spider-Man versi Tom Holland bisa dikatakan cukup beruntung dalam meraih kepopuleritasan secara lebih mudah, karena mendapat asupan dukungan yang sangat besar berkat keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Dengan demikian ia bisa bersinggungan dengan banyak karakter komik Marvel lain yang hak lisensinya tidak dipegang oleh Sony.
Oleh karena itu, tidak hanya terlibat dalam seri Avengers, dalam film solonya seperti Spider-Man: Homecoming (2017) dan Spider-Man: Far From Home (2019), ia didukung oleh karakter-karakter ikonik lain, seperti Tony Stark/Iron Man dan Nick Fury.
Sedang dalam Spider-Man: No Way Home, giliran sang penyihir kawakan Dr. Stephen Strange (Benedict Cumberbatch) yang hadir untuk memeriahkan. Dikisahkan selepas peristiwa dalam Far From Home, di mana setelah identitas Peter sebagai Spider-Man diungkap ke hadapan publik oleh Mysterio (Jake Gyllenhaal), kehidupannya dan juga sang kekasih, MJ (Zendaya), dan sang sahabat Ned (Jacob Batalon), menjadi tak mudah.
Peter lantas menemui Strange dan meminta mantra yang bisa membuat orang melupakan statusnya sebagai Spider-Man. Strange menyetujui, tapi sikap Peter yang plin-plan mengacaukan rapalan mantra. Buntutnya, berbagai supervillain dari semesta lain bermunculan.
Mereka adalah Norman Osborn/Green Goblin (Willem Dafoe), Otto Octavius/Doctor Octopus (Alfred Molina), Max Dillon/Electro (Jamie Foxx), Dr. Curt Connors/Lizard (Rhys Ifans) dan Flint Marko/Sandman (Thomas Haden Church). Kehadiran mereka menimbulkan kekacauan yang mengharuskan Peter berputar otak dan keuletan untuk mencari solusi.
Spider-Man: No Way Home diniatkan sebagai “penutup” sebuah trilogi, sehingga Jon Watts yang kembali terlibat sebagai sutradara memiliki ambisi untuk menjadikannya sebagai yang terepik dibandingkan dua judul sebelumnya. Naskah yang digarap oleh Chris McKenna dan Erik Sommers mengakomodir keinginan ini dengan baik.
Pada dasarnya Spider-Man: No Way Home adalah sebuah “festival fan-service” yang sangat bersandar pada nostalgia penontonnya. Kehadiran para supervillain dari “semesta” sebelumnya menjadi penanda paling signifikan. Penggemar mana yang tak bersorai saat Peter Parker gawangan Holland bersua dengan sosok-sosok klasik seperti Green Goblin, Doc Oc atau Electro yang kembali diperankan oleh aktor yang sama dari barisan franchise Spider-Man sebelumnya.
Jadi, tidak heran jika naskah sangat kaya dengan nuansa memoria dan referensial masa lalu, terlepas dari niatnya untuk menjadi epilog pada aspek coming-of-age dari perjalanan kisah Peter Parker versi Holland.
Tujuan utamanya adalah fan service tadi dan menjadi penutup yang manis untuk berbagai semesta sekaligus, selain menjadi landasan untuk alur Fase Empat MCU yang tampaknya akan bersandar pada konsep Multiverse. Oleh karena itu, plot yang kompleks dan inventif bukanlah sajian utama film, melainkan dialurkan sedemikian rupa untuk memuaskan para fans yang sudah setia mengikuti kisahnya.
Watts mengerjakan filmnya dengan rapi, membungkus keseruan aksi-fantasi berbalut kenangan yang mengandung unsur hiburan yang besar. Begitu rapi sehingga kita cenderung mengabaikan berbagai kebetulan/kenyamanan yang bertabur dalam filmnya. Termasuk menafikan jika Peter Parker-nya Tom Holland ini adalah yang paling menjengkelkan, meski tampaknya sikapnya tersebut dimanfaatkan dengan baik untuk menjadi plot device yang efektif untuk Spider-Man: No Way Home.
Rating :