Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah karya pertama dari novelis kenamaan Indonesia, Eka Kurniawan, yang diangkat dalam bentuk film. Edwin, sutradara pemenang piala Citra untuk Sutradara Terbaik berkat Posesif (2017), adalah yang berada di belakang layar adaptasi bentuk filmnya.
Di atas kertas, kolaborasi ini terasa sempurna. Meski dua film terakhir Edwin cenderung bergerak dalam pendekatan yang lebih populer, namun semangat magis-realisme nyeleneh Eka Kurniawan juga bisa ditemui dalam karya-karya awalnya, seperti Babi Buta Yang Ingin Terbang dan Kebun Binatang.
Film berkisah tentang Ajo Kawir (Marthino Lio), seorang jawara di kampungnya. Keberaniannya tak usah diragukan lagi. Tidak ada yang ditakutinya. Sampai suatu waktu ia bertemu dengan seorang dara cantik yang tak kalah jagoan, Iteung (aktor langganan Edwin, Ladya Cheryl).
Pertemuan ini berbuah cinta. Apalagi Iteung juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, romansa baru yang seharusnya membahagiakan ini justru membuat Ajo Kawir ketar-ketir. Ia punya kekurangan; alat kelaminnya tidak bisa ereksi alias impoten.
Melalui kisah cinta unik ini, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas ingin menelaah tentang maskulinitas beracun. Bagaimana pria dikungkung oleh proyeksi tertentu oleh masyarakat yang pastinya berbasis patriarki.
Meski demikian, film tidak hanya berbicara tentang itu. Era 80-an hingga awal 90-an yang menjadi seting memang dimanfaatkan untuk menjadi semacam tribut kepada film-film aksi-silat yang menjamur di periode tersebut. Sejalan pula dengan konsep Eka Kurniawan untuk novelnya, yang pada dasarnya meminjam formula kisah-kisah silat pula dengan karakter-karakternya yang penuh warna.
Era yang sama, Orde Baru di bawah pemerintahan otoriter Soeharto, juga menjadi pondasi bagi kultur kekerasan yang seolah menjadi siklus kehidupan di masa itu. Kekerasan dan segala bentuknya menjadi sesuatu yang banal dan dipandang ringan saja. Ternyata, jika menilik pembahasan film, penyebabnya tidak terlepas dari langgengnya maskulinitas beracun tadi.
Edwin membuka Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dengan asyik sekali. Pakem film hiburan rakyat dipadukan secara pas dengan estetika dramatik bertuturnya yang cenderung subtil. Kita larut dalam dunia eksplosif Ajo Kawir dan Iteung serta segala problematika mereka tanpa terkesan bombastis.
Hanya saja, memasuki pertengahan film terasa seperti berjuang untuk menyeimbangkan pilihan naratifnya. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menjadi sedikit berlarat dengan lompatan adegan yang tak selalu mulus. Ekspose film menjadi terlalu melodramatis untuk materi yang sebenarnya memiliki potensi menjadi atmosferik.
Pilihan untuk menggunakan bahasa percakapan yang baku tentu tidak salah. Apalagi ini sejalan dengan tribut kepada perfilman Indonesia di era tersebut. Hanya saja para pemerannya, utamanya dari generasi yang lebih muda, kurang mampu meresapi rangkaian kalimat yang mereka ucapkan sehingga malah terasa canggung dan artifisial ketimbang alami.
Berbeda jauh sekali dengan aktor-aktor kawakan yang juga terlibat, seperti Piet Pagau misalnya. Aktor yang sudah kenyang makan-asam garam dunia perfilman Indonesia ini tidak hanya resap dengan karakternya yang kharismatis, tapi juga menguarkan dunia lawas tadi dengan presisi yang pas. Bukan hanya sebatas pengucapan kalimat, tapi juga dengan gestur dan pembawaannya.
Marthino Lio dan Ladya Cheryl mencoba memberikan yang terbaik dari mereka, tapi hasilnya tidak terlalu piawai. Pada banyak bagian, keduanya tampak bagai berdeklamasi di depan kelas ketimbang menyuarakan sosok Ajo Kawir dan Iteung secara meyakinkan.
Penyebabnya entah karena memang jangkauan akting yang terbatas atau kurang bisa lebih mendalami karakter. Malah para pemain pendukung, seperti Ratu Felisha, Reza Rahadian, dan bahkan pendatang baru seperti Sal Priadi, yang tampak lebih siap.
Terlepas dari itu, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tetap menyegarkan untuk disimak. Sebagaimana tradisi film-film Edwin, khazanah esoterik berkelindan bersama realisme, kemudian menyublim dalam sebuah kisah “tak biasa,” dan pada akhirnya memberi impresi yang sulit untuk dilupakan.
Rating :