Dulu, di dekade 80-an, sebagai satu-satunya televisi di Indonesia, TVRI punya beberapa drama serial lokal yang begitu berkesan. Salah satunya adalah Losmen, kreasi pasutri Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing.
Begitu populernya serial ini, tidak hanya karakter-karakter di dalamnya, seperti Bu Broto sang pemilik Losmen yang diperankan Mieke Widjaya menjadi begitu ikonik. Bukan hanya itu, sebuah film juga menyusul kesuksesan ini, Penginapan Bu Broto, yang dirilis di tahun 1987.
Lebih dari tiga dekade kemudian, kembali sebuah film adaptasi hadir. Losmen Bu Broto, demikian judulnya, yang merupakan hasil kolaborasi dua sineas andal, Ifa Ifansyah (Sang Penari, Rumah dan Musim Hujan) dan Eddie Cahyono (Siti).
Disesuaikan dengan situasi masa kini, tapi ternyata Losmen Bu Broto tak kehilangan magis serial yang diadaptasinya; kisah keluarga yang tak terlepas dari konflik, namun pada akhirnya mengharukan, hangat, sekaligus melegakan.
Masih berseting di sebuah losmen kecil nan resik di Yogyakarta, Bu Broto kali ini diperankan oleh Maudy Koesnaedi. Sedang sang suami, Pak Broto, adalah pemeran Tarjo di serial Losmen, Mathias Muchus.
Karakter anak-anak mereka yang tak kalah ikonik, Mbak Pur, Mbak Sri dan Tarjo kini diperankan oleh Putri Marino, Maudy Ayunda dan Baskara Mahendra. Dan Erick Estrada didapuk untuk menghidupakan sang pelayan setia, Pak Atmo.
Dari segi cerita, sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dari Losmen Bu Broto. Sudah jamak terjadi di berbagai kisah drama keluarga lain. Sebagaimana serialnya, Losmen Bu Broto bercerita tentang Bu Broto dan Pak Broto yang mengelola losmen mungilnya bersama anak-anak mereka; Pur yang piawai dalam memasak, Sri yang telaten dalam hal operasional, dan Tarjo yang membantu kecil-kecilan karena masih disibukkan dengan perkuliahan.
Jika Pak Broto cenderung kalem dan bijaksana dalam menyikapi segala sesuatunya, maka Bu Broto memang lebih antusias dalam bersikap, bahkan cenderung cerewet dan keras kepala. Sikap yang sepertinya menurun kepada putri keduanya, Jeng Sri.
Di sisi lain Pur kini menjadi pribadi yang dingin dan ketus akibat sebuah tragedi yang terjadi di beberapa waktu lalu dalam kehidupannya. Sri sendiri sedang bimbang antara pilihan mengurus losmen atau mengembangkan karirnya sebagai musisi. Hubungannya bersama seniman bernama Jarot (Marthino Lio) pun kurang mendapat restu.
Sebuah kisah yang baik dan mengikat tidak melulu harus bersandar pada plot yang penuh kejutan di sana-sini, canggih atau kompleks jelimet. Bagaimana ia menarik ulur atensi penonton, atau bagaimana alur berjalan dengan renyah, serta selalu menarik untuk diikuti juga penting. Itulah yang disajikan oleh Losmen Bu Broto.
Apalagi film didukung oleh permainan cantik oleh para bintangnya, terutama trio Maudy Koesnadi, Maudy Ayunda dan Putri Marino. Berkat akting piawai mereka, kita sebagai penonton turut larut dalam setiap spektrum emosinya. Sulit untuk tidak ikut menitikkan air mata di beberapa adegan menguras perasaan, sementara di saat lain merasa bungah di momen suka-citanya.
Tangan dingin Ifa Ifansyah dan Eddie Cahyono tentunya juga menjadi salah satu tonggak keberhasilan penceritaan Losmen Bu Broto. Tidak selalu mulus memang, karena terdapat beberapa kegagapan dalam penceritaan atau transisi antara satu adegan ke adegan lain.
Porsi Tarjo yang terbatas juga menjadi sandungan kecil, sehingga kadang terasa seperti “keharusan” saja alih-alih signifikan secara organis untuk ceritanya. Ada juga keinginan untuk mengangkat konteks feminisme di dalamnya, seperti bagaimana para perempuan dalam keluarga Broto ini begitu mendominasi, meski sayangnya tampil hanya di permukaan tanpa penggalian lebih ekstensif.
Walau begitu, penggarapan Ifa dan Eddie condong mulus, sehingga ganjalan-ganjalan tadi menjadi tidak terlalu mengganggu. Pendekatan naratif membumi yang mereka tawarkan menjadi Losmen Bu Broto menjadi begitu intim, sehingga menjadi terasa dekat dan lekat.
Boleh dikatakan Losmen Bu Broto berhasil menangkap “semangat” versi orisinalnya. Bukan hanya untuk mengisi relung nostalgia, tapi juga sebuah kisah drama keluarga sarat pesan, menyentuh, sekaligus melegakan. Menonton film ini seperti pulang ke hangatnya keluarga kita. Tidak sempurna, tapi memberi rasa nyaman.
Rating :