Review

Info
Studio : Universal Pictures
Genre : Drama, Horror, Mystery
Director : Edgar Wright
Producer : Tim Bevan, Eric Fellner, Nira Park, Edgar Wright
Starring : Thomasin McKenzie, Anya Taylor-Joy, Diana Rigg, Matt Smith, Terence Stamp

Selasa, 09 November 2021 - 21:39:33 WIB
Flick Review : Last Night in Soho
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 1025 kali


Edgar Wright (Shaun of the Dead, Baby Driver) ingin melakukan sesuatu yang berbeda dengan film fiksi terbarunya. Maka hadirlah Last Night in Soho, sebuah horor psikologis yang terinspirasi dari kegemilangan film horor Inggris era 60-an dan juga giallo.

Film berkisah tentang Ellie (Thomasin McKenzie), seorang siswi sekolah fashion yang terobsesi dengan era 60-an. Ia menyewa sebuah kamar di kediaman milik perempuan sepuh bernama Ms Collins (Diana Rigg), yang ternyata membawanya masuk ke kehidupan Sandie (Anya Taylor-Joy), seorang perempuan muda yang bercita-cita menjadi penyanyi di tahun 1965.

Tapi kehidupan Sandie ternyata tak segelamor sebagaimana yang dibayangkan Ellie, karena banyak rintangan yang harus dihadapi sang calon bintang sebelum mencapai cita-citanya, termasuk sang kekasih merangkap manajernya, Jack (Matt Smith), yang punya rencana lain.

Dalam Last Night in Soho Edgar punya ide menarik; bagaimana romantisasi masa lampau tidak selamanya menawarkan sesuatu yang indah atau menarik. Tetap ada sisi kelam yang harus kita hadapi.

Melalui film, kita memasuki dunia Ellie, dan juga Sandie, yang dibalik gemerlapan lampu neon ternyata menyembunyikan kekelaman tersendiri. Sebagai horor psikiologis, bangunan cerita digelar secara perlahan. Kita sebagai penonton tidak hanya memasuki jiwa para karakter utamanya, tapi juga larut dalam plot yang melingkar dan dibubuhi dengan sisi psikedelik kuat.

Sebagaimana yang disebut di atas, Edgar tampak sangat terpengaruh oleh film-film horor Inggris era 60-an dan juga giallo, termasuk dari segi visual dan juga penceritaan. Menjadi ornamen yang mempercantik film dengan baik, mengingat secara plot ia sebenarnya tidak menawarkan sesuatu yang baru.

Ide tentang feminisme juga menjadi asupan yang memperkaya dimensi film, mengingat film berbicara tentang kekerasan (dan misogini) pada perempuan dan implikasinya pada kehidupan mereka. Tapi jangan khawatir, karena film tetap dikemas dalam semangat pop, sehingga pesan dalam film tidak memberatinya. Setidaknya di paruh pertama.

Memasuki paruh kedua film seperti kehilangan pegangan dan fokus. Kita menjadi meraba-raba, sebenarnya Last Night in Soho ingin berbicara apa? Setelah di satu jam pertama kita begitu tersedot pada pusaran ceritaya, paruh kedua film keteteran dalam membangun narasi yang mengikat dan terberangus dalam klise demi klise.

Ditambah lagi twist yang dihadirkan dalam klimaks mementahkan premis yang sudah di bangun sedari awal menuju pertengahan. Minilik babak terakhir film, usungan feminisme ternyata tidak lebih dari polesan di permukaan saja, karena dari segi esensi terkesan cetek dan dimanfaatkan sebagai shock factor sebagai bagian adegan penutup yang dramatis. Dengan demikian, kisah Ellie dan Sandie menajdi terasa tidak utuh, karena dibayang-bayangi oleh penceritaan yang penuh gaya dari Edgar Wright itu sendiri.

Terlepas dari itu, Last Night in Soho tetap saja film yang rancak. Ia selalu menarik untuk disimak berkat penggunaan bahasa sinematis yang memikat, seperti misalnya penggunan cermin sebagai bahan refleksi bagi karakternya serta penonton, atau tata sinematografi menawan olahan sinematografer langganan Park Chan-wook, Chung Chung-hoon, dan juga pastinya penampilan menawan dari Anya Taylor-Joy yang sulit ditolak pesonanya. 

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.