Na Hong-jin, sineas kenamaan asal Korea Selatan, sukses mengangkat elemen folklore dan kultur mistis perdukunan melalui epik horor-nya, The Wailing (2016). Kini, ia kembali mengangkat tema serupa, meski lokasi kini berpindah ke bagian timur laut Thailand, Isan. Untuk itu, ia mengangkat salah satu sutradara negeri Siam tersebut, Banjong Pisanthanakun, untuk menggarap film berjudul The Medium ini.
Banjong, bersama Parkpoom Wongpoom, terangkat namanya berkat film-film horor seperti Shutter (2004) dan Alone (2007). Selepasnya ia lebih kerap menggarap film-film bertema komedi, seperti Hello Stranger (2010), Pee Mak (2013) dan One Day (2016). Ajakan Na Hong-jin rupanya bisa memancingnya kembali ke ranah horor.
Dengan pendekatan ala dokumenter, The Medium mengangkat kisah seorang dukun bernama Nim (Sawanee Utoomma). Hanya saja, fokus para pembuat film dokumenter kemudian berpindah kepada keponakan Nim, Mink (Narilya Gulmongkolpech), saat dipercaya jika si gadis muda dan cantik ini terpilih untuk menjadi pelanjut status dukun turun temurun keluarga mereka dan mulai dirasuki oleh Dewa Bayan yang dipercaya sebagai penyembuh oleh warga sekitar.
Ide cerita The Medium datang dari Na Hong-jin bersama dengan Choi Cha-won. Ia juga menulis naskah untuk film bersama dengan aktor yang lebih banyak terlibat dalam film komedi, Chantavit Dhanasevi. Ternyata kisah orisinal yang diformulasi Na Hong-jin bisa diterjemahkan dengan baik meski seting kini berpindah ke Thailand.
Sebagai sebuah folk-horror, The Medium tak kehilangan nuansa kultural-nya. Berkat tangan dingin Banjong, ruang lingkup yang sangat khas Thailand ternyata tidak membatasi pesannya untuk tersampaikan secara universal.
Oleh Banjong plot dalam The Medium di bangun secara perlahan dengan bangunan atmosfer bernas mewarnai alur film. Setidaknya di paruh pertama. Memasuki pertengahan menuju akhir, tempo bergerak lebih cepat dan narasi dihadirkan dalam pendekatan horor yang lebih tradisional; yang artinya lebih bersandar pada aksi dan ketegangan alih-alih suasana mencekam.
Sebagai sebuah film horor, The Medium sebenarnya tidak benar-benar menyeramkan, mengingat terlalu mengikuti pakem film-film sejenis sehingga rangkaian adegannya relatif tertebak. Apalagi Banjong tidak selalu konsisten dalam menjaga intensitas film. Ada bagian-bagian yang menjemukan, meski secara utuh filmnya mengalir dan renyah untuk diikuti. Tetap saja, dengan 130 menit durasi The Medium memang terasa lebih panjang dari seharusnya.
Teknik penceritaan ala mockumentary-nya juga menjadi kendala tersendiri untuk menampilkan narasi yang lebih solid. Perspektif kameranya terlalu invasif untuk sebuah dokumenter, sehingga narasinya lebih sering kurang “membumi” bahkan lebih mirip film “konvensional.”
Bukan masalah besar jika film bersandar pada suspense in disbelief, tapi tidak jika terlalu berlebihan karena malah terasa menganggu alur ceritanya itu sendiri. Pada akhirnya teknik dokumenter film lebih condong sebagai gimmick ketimbang organis.
Belum lagi paruh akhir yang tampak sangat terpengaruh dengan berbagai film-film found footage sebelumnya, seperti Blair Witch Project hingga Paranormal Activity. Menyingkirkan upaya realisme yang sudah disajikan di paruh awalnya. Walhasil, estetik film justru menjadi kendala saat The Medium membutuhkan atmosfer yang lebih natural dan meyakinkan.
Bukan berarti The Medium adalah film horor yang buruk. Sama sekali tidak. Ia tetap punya daya tariknya sendiri dan cukup mengikiat. Meskipun demikian, secara keseluruhan The Medium tidak menawarkan sesuatu yang baru dan cenderung mengulang formula lama, sehingga menghalanginya untuk menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar medioker.
Rating :