Mungkin generasi sekarang kurang familar dengan Dune, sebuah epos fiksi-ilmiah karya Frank Herbert yang terbit pertama kali di tahun 1965 lalu. Meski sampai saat ini serial Dune masih menjadi bagian dari khazanah sastra dunia klasik, namun dalam kultur pop masa kini namanya cukup tersegmentasi.
Bukan berarti Dune tidak pernah diadaptasi menjadi sebuah film, karena sudah pernah ada Dune karya auteur legendaris David Lynch di tahun 1984 lalu. Sayangnya film tidak begitu sukses di pasaran sehingga Dune tidak pernah benar-benar mencelat dan menjadi sebuah bagian dari “pengetahuan” awam, seperti trilogi Lord of the Rings misalnya, yang sukses besar selepas diadaptasi Peter Jackson di awal 2000-an lalu.
Sineas asal Kanada, Denis Villeneuve, rupanya memiliki ambisi untuk “memperkenalkan ulang” Dune dengan menghadirkan adaptasinya untuk karya Herbert ini. Meski awalnya kita mengenal Villeneuve sebagai penggarap drama atau thriller, tapi dua film terakhirnya, Blade Runner 2049 (2017) dan Arrival (2016) adalah dua fiksi-ilmiah berkelas, sehingga rasa-rasanya Dune berada di tangan yang tepat.
Oleh Villeneuve Dune menjadi dua bagian, dengan yang sekarang kita saksikan adalah bagian pertamanya dan mengadaptasi separuh pertama dari buku Herbert. Harapannya tentu saja paruh kedua buku juga nantinya diterjemahkan dalam bentuk visual dalam Dune: Part Two.
Didukung oleh jajaran pemain yang tak main-main, seperti Timothée Chalamet, Rebecca Ferguson, Oscar Isaac, Josh Brolin, Stellan Skarsgård, Dave Bautista, Zendaya, Chang Chen, Charlotte Rampling, Jason Momoa, hingga Javier Bardem, Dune memang sudah memiliki modal yang kuat untuk tampil gemilang.
Tapi, kekuatan utama Dune adalah penggarapan Villeneuve itu sendiri. Dune versinya dipersembahkan dengan visual yang memanjakan mata; di mana padang tandus Arrakis terlihat mengerikan juga indah membuai. Tidak heran saat Shai-hulud, sang monster ulat gurun raksasa muncul, alih-alih takut kita malah merasa takjub.
Ini bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan Dune. Ia hadir untuk memukau tapi terasa sedikit kering dalam penceritaan. Meski alur tidak benar-benar monoton, karena setiap jeda adegan dengan dialog verbal, selalu disusul dengan sekuens aksi seru.
Dune sejatinya adalah sebuah alegori geopolitis dibungkus konsep futuristik dan meminjam filosofi anti-korporat/imperialisme, radikalisme ekologis dan juga kultur Islam/Timur Tengah.
Meski terkesan berat, namun secara cerita – berlandaskan kisah perseteruan antara House Atreides dan Harkonnen serta melibatkan kaum Fremen sebagai penduduk natif planet Arrakis – Dune sebenarnya tidak menghadirkan sesuatu yang spektakuler atau kompleks. Asal kita mau bersabar mengikuti alur Villeneuve, maka esensi dan pesan tersurat dalam film bisa tersampaikan dengan baik.
Kalau ingin bersimplifikasi, bolehlah kita sebut Dune versi Villeneuve ini sebagai Lawrence of Arabia yang berpadu dengan Star Wars (versi George Lucas). Dengan ini, seharusnya calon penonton bisa mengantipasi apa dan bagaimana Dune ini nantinya.
Dengan durasi sekitar 2.5 jam, Dune sebenarnya belum mengungkap secara penuh apa yang ingin disampaikan Herbert dalam bukunya. Tampak jelas Villeneuve tak ingin tergesa dalam bercerita, karena ia ingin kita larut dan juga menyerap secara perlahan. Di tengah bombastisme masa kini yang terkadang bergerak terlalu cepat, apa yang dilakukan Villeneuve melalui Dune mutakhir ini jelas adalah sesuatu yang sangat layak untuk diapresiasi.
Rating :