Review

Info
Studio : Universal Pictures
Genre : Action, Adventure, Thriller
Director : Cary Joji Fukunaga
Producer : Michael G. Wilson, Barbara Broccoli
Starring : Daniel Craig, Rami Malek, Lea Seydoux, Lashana Lynch, Ralph Fiennes, Christoph Waltz

Sabtu, 16 Oktober 2021 - 23:12:59 WIB
Flick Review : No Time To Die
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 874 kali


Lima tahun berlalu semenjak Spectre di tahun 2015 (dan beberapa penundaan yang terutama akibat pandemi), akhirnya film ke-25 franchise agen rahasia 007, No Time To Die, bisa disaksikan. Film menjadi istimewa, karena merupakan film terakhir Daniel Craig sebagai James Bond, setelah pertama kali mengenakan mantelnya di Casino Royale (2006).

Sebagai film terakhir Craig sebagai Bond, tentunya No Time To Die disiapkan sebagai sebuah presentasi spektakuler yang epik. Dengan durasi, 163 menit, di permukaan mudah mengasosiasikan No Time To Die sebagai film epik dan spektakuler. Hanya saja, meski tetap menghibur, bukan itu yang terjadi di kenyataan.

Dikisahkan Bond dan Madeleine Swann (Léa Seydoux) berpisah setelah sebuah krisis terjadi. Lima tahun kemudian, Bond yang pensiun diminta temannya dari CIA, Felix Leiter (Jeffrey Wright) untuk menemukan Valdo Obruchev (David Dencik), seorang ilmuan MI6, yang diculik komplotan misterius.

Sementara itu, pengganti Bond sebagai 007, Nomi (Lashana Lynch) juga mendapat tugas yang sama dari M (Ralph Fiennes). Meski awalnya bersinggungan, tapi Bond dan Nomi kemudian bekerjasama untuk mengungkap siapa dalang di balik kekisruhan ini, yang ternyata menyangkut Ernst Stavro Blofeld (Christoph Waltz), yang kini mendekam di penjara, dan juga sosok misterius bernama Lyutsifer Safin (Rami Malek), yang sepertinya memiliki hubungan dengan Madeleine.

Cary Joji Fukunaga (True Detective, Jane Eyre) dipilih menjadi pengganti Sam Mendes selepas Skyfall dan Spectre. Ia dikenal sebagai sutradara yang kompeten dalam menggarap narasi dengan infusi ketegangan yang merambat dan suspensi terjaga, tapi juga kuat dalam aspek dramatis. Kekuatannya tersebut masih bisa dirasakan dalam No Time To Die, meski sayangnya hanya di paruh pertama.

Setelah mencuri perhatian dengan sisi aksi-laga yang dieksekusi dengan baik dan drama yang mengundang penasaran, jelang pertengahan hingga klimaks, intensitas film menjadi kendor dan kurang mengikat lagi. Alur menjadi terlalu klise dan tertebak. Meski sisi emosional dalam klimaks film tergali dengan baik, tapi secara keseluruhan tidak memberikan imbas yang terlalu mengesankan.

Terlepas dari Malek yang mencoba memberikan yang terbaik dari materi yang diberikan kepadanya, Lyutsifer Safin bukan villain yang menarik. Motivasi dan aksinya cenderung tidak terlalu meyakinkan. Sementara koneksinya dengan Bond terasa lemah, kalau tidak mau disebut terlalu mengada-ada. Hasilnya Safin menjadi karakter yang gampang dilupakan.

Kekuatan dari film-film Bond, selain adegan aksi spektakuler, gadget over-the-top, dan para bond girl, adalah antagonis dengan karakter yang kuat. Terlepas apakah kadang terlalu karikatural atau realistis, villain Bond kerap memiliki daya tarik tersendiri bagi para penonton. Sesuatu yang sulit ditemukan dalam diri Safin. Jujur saja, ia tidak begitu layak untuk lawan terakhir Bond versi Craig.

Masalah No Time To Die bukan itu saja. Film-film Bond pra-Daniel Craig biasanya tidak memiliki kewajiban untuk berhubungan dengan satu sama lain alias bisa berdiri sendiri secara mandiri. Sedang lima film James Bond versi Craig ternyata adalah serangkaian kisah yang saling menyambung satu sama lain. Selain menjadi kelebihan, ini juga menjadi kekurangan, karena Bond sudah dibatasi oleh benang merah tertentu ketimbang memulai kembali kisahnya di setiap film barunya.

Dengan konsep “serial,” sudah sewajarnya “finale” seri ini diharapkan dihadirkan dengan sesuatu yang eksplosif untuk menjadi sebuah penutup setelah perjalanan panjang dan dramatis. Avengers: Endgame bisa menjadi contohnya. Hanya saja No Time To Die tidak memiliki tensi tersebut. Justru Spectre-lah yang lebih tepat dalan konteks ini.

No Time To Die tidak terasa sebagai sebuah bab terakhir yang organis dari narasi panjang. Lebih tepat ia hadir sebagai versi ekstensi dari sebuah epilog, yang boleh jadi akan lebih efektif jika mengalami “pemangkasan” di sana-sini. Dan mungkin akan menjadi lebih baik andai saja Craig dan Seydoux memiliki chemistry, yang kini bahkan lebih absen dibandingkan dalam Spectre.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.