Selepas satu dekade lebih, Marvel Cinematic Universe (MCU) akhirnya menghadirkan superhero berdarah Asia mereka, Shang-Chi, sebagai karakter utama untuk pertama kali dalam film ke-25 untuk franchise ini, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings.
Di bawah garapan Destin Daniel Cretton (Short Term 12), Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings tampaknya mengikuti jejak Crazy Rich Asian (2018) untuk setia dengan inklusivitas Asia, atau tepatnya Tiongkok.
Sehingga tidak heran jika ia mempertahankan otentitas segi kultural film, termasuk menggunakan Mandarin untuk berbagai dialognya, selain tentunya berbagai aspek etnik yang disematkan sebagai ornamen, baik dari segi plot ataupun visual.
Aktor asal Kanada, Simu Liu, didapuk sebagai Shang-Chi. Meski boleh dikatakan tidak terlalu dikenal secara luas (setidaknya jika menilik barisan pendukungnya yang… spekatakuler), namun ia cukup baik dalam menerjemahkan karakternya.
Disebutkan Shang-Chi hidup sebagai seorang imigran di kota San Fransisco dengan meggunakan nama Shaun. Bersama sahabatnya, Katy (Awkwafina), ia bekerja sebagai seorang valet. Kehidupan damai Shang-Chi terusik saat suatu pagi ia dan Kathy diserang Razor Fist (Florian Munteanu) dan kawanannya dari Ten Rings.
Terkuaklah rahasia masa lalu Shang-Chi yang selama ini coba dihindarinya. Merasa jika sang adik, Xialing (Meng’er Zhang), adalah target komplotan Ten Rings berikutnya, maka ia dan Katy pun melakukan perjalan ke Macau.
Dari sini diketahuilah jika ayah kakak-beradik ini, Wenwu (Tony Leung) adalah sosok di belakang kekacauan. Wenwu menangkap Shang-Chi dan Xialing dan mengajak anak-anaknya tersebut untuk “menyelamatkan” istri dan ibu mereka, Ying Li (Fala Chen), dari sekapan desa misterius nan mistis, Ta Lo, yang kini dipimpin oleh Ying Nan (Michelle Yeoh).
Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings bisa dikatakan adalah angin segar di MCU. Jika biasanya kisah asal muasal seorang superhero dalam konteks yang lebih eksternal, maka Shang-Chi dalam pendekatan yang lebih internal. Tema-tema keluarga bukan hal asing di ranah MCU, dalam Shang-Chi terasa lebih intim.
Bisa jadi karena pengaruh kultur Asia tadi atau juga gaya penceritaannya yang tampaknya mencoba mengikuti alur narasi ala kisah-kisah silat Wu Xia. Tentunya sebagai sebuah film MCU, adegan-adegan laga fantastis (dan kaya efek, tentunya) dan komedi juga mendominasi, namun film juga berkilau dalam momen-momen drama yang lebih personal.
Mungkin karena melibatkan Tony Leung, aktor kawakan yang bahkan hanya dengan gestur atau tatapan matanya saja sudah menguarkan emosi kuat. Ia memberikan kedalaman tersendiri dan juga empati untuk karakternya yang bisa saja menjadi antagonis satu dimensi membosankan. Adegan pertemuan, kemudian pertarungan, bersama Fala Chen di awal film bisa menjadi bukti (meski agaknya terinspirasi dari adegan perkelahian Leung bersama Zhang Ziyi dalam The Grandmaster).
Kelebihan lain dari Shang-Chi memang adalah adegan pertarungannya. Cretton tanggap menghadirkan perkelahian yang mengikuti standar film-film laga Asia, atau Hong Kong lebih tepatnya, dengan ritme atau beat yang dieksekusi dengan rapi, sehingga terlihat jelas (alih-alih diedit membabi-buta agar terlihat kompeten) dan seru mendebarkan.
Meski begitu, terlepas dari berbagai kelebihannya, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings adalah film standar MCU. Pada akhirnya film tetap harus mengikuti pakem mereka yang memilih pendekatan film hiburan ringan dengan klimaks yang harus segegap-gempita mungkin dan kaya akan efek khusus. Kedalaman film superfisial dan tidak berniat mendobrak streotipe yang sudah menjadi pakem Hollywood pada umumnya.
Kultur Asia hanyalah atribut, bukanlah benar-benar esensi. Ia tidak benar-benar sebuah eksplorasi akan kultur itu atau juga komentar sosial tentang kehidupan seorang imigran di Amerika Serikat. Jika bisa meminggirkan semua “harapan” tadi, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings tetap sebuah film hiburan yang lumayan solid.
Rating :