Berpulangnya sang Godfather of the Broken Heart Indonesia, Didi Kempot, beberapa waktu lalu tentunya membuat perasaan duka yang mendalam, bukan hanya di kalangan musisi Indonesia, namun juga para penggemar lagu-lagunya, para Sad Boys dan Sad Girls yang dikenal sebagai Sobat Ambyar.
Tapi, sebelumnya sang seniman campursari asal Solo ini masih sempat memberikan “warisan” terakhirnya; sebuah film berjudul Sobat Ambyar (tentu saja), dengan jalinan kisah yang terinspirasi dari cerita sedih atau patah hati dalam beberapa lagu populernya, yang dengan dahsyat telah membekas di hati banyak orang.
Digarap Charles Gozali (Finding Srimulat, Juara) bersama penulis skenario yang kini menjajal bangku sutradara, Bagus Bramanti (Talak 3, Kartini), Sobat Ambyar tampaknya mengadopsi jargon Didi, “Patah hati ya dijogeti,” dengan sepenuh hati.
Kisahnya sederhana saja, seorang pemuda pemilik cafe yang hidup segan mati tak mau bernama Jatmiko (Bhisma Mulia) yang kecantol seorang mahasiswi cantik yang sedang menyelesaikan tugas skripsinya, Saras (Denira Wiraguna).
Di sepanjang durasi kita akan melihat bagaimana “bucin” Jatmiko pada Saras, sehingga kehidupannya menjadi tersuruk-suruk, seolah-olah lupa kalau selain percintaan, ada hal-hal penting yang harus diselesaikannya.
Awalnya menarik dan menggelitik, hanya saja alur film kemudian terjebak pada repetisi sehingga alih-alih kasihan, kita justru merasa sebal pada “kebebalan” Jatmiko. Belum lagi karakter Saras yang dihadirkan dengan ketebalan seperti kertas; tipis, dan tidak memiliki urgensi yang signifikan.
Saras, yang entah kenapa tidak digambarkan sebagai karakter yang nyata dan bulat hadir hanya sebagai alat untuk jalan ceritanya. Ia merupakan manifestasi fantasi seorang pria yang ingin menjadikan seorang perempuan sebagai “villain” dalam kehidupan percintaanya.
Saras hadir agar kisah Jatmiko bisa bergerak maju. Kita tidak perlu tahu mengapa ia bertingkah seperti seorang “psikopat” yang dengan mudah berpindah dari satu pria ke pria lain. Menyebalkan pastinya. Hanya saja, jelas karakternya hasil bentukan benak penulis laki-laki yang keteteran dalam mengenali dimensi karakter seorang perempuan yang realistis.
Sementara itu, pemilihan dialog yang campur-campur antara Jawa dan Indonesia cukup menarik dan menjadi pembeda dengan umumnya film Indonesia. Namun, entah mengapa terasa agak janggal dan kurang alami.
Terlepas dari beberapa kekurangan yang terus terang menganggu tersebut, jika niat Sobat Ambyar sebagai tribut kepada Didi Kempot, ia menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Meski bukan sebuah drama musikal, tapi ternyata ritme Sobat Ambyar memiliki kedekatan dengan sebuah pertunjukkan musikal. Cukup menyenangkan.
Mungkin memang disengaja, sehingga beberapa lagu hits Didi, seperti ‘Pamer Bojo’ atau ‘Kalung Emas’, dengan pas menyatu dengan alur. Seharusnya memang tidak aneh, mengingat alur Sobat Ambyar sepertinya memang dijalin dari beberapa lagu Didi tadi.
Niat Charles dan Bagus menghadirkan Sobat Ambyar sebagai sebuah komedi-romantis yang epik mungkin kurang berhasil. Setidaknya mereka lumayan mampu menangkap epiknya melankiolisme lagu-lagu Didi dalam alur kisahnya. Apalagi ada sisipan “bonus” berupa cameo Didi dalam bentuk konser yang rasa-rasanya setidaknya sedikit bisa mengobati dahaga penggemar akan sang idola.
Rating :