Mulan adalah yang terbaru dari trend adaptasi live-action Disney untuk film-film animasi klasik mereka (dan rasa-rasanya tidak akan menjadi yang terakhir). Meski begitu, ada yang sedikit berbeda dari adaptasi mutakhir ini, karena memingirkan ranah musikal seperti versi aslinya dan memilih pendekatan yang katanya lebih “membumi.”
Secara garis besar, kisah Mulan versi terbaru ini tidak mengalami perubahan berarti, yaitu tentang Hua Mulan (Liu Yifei, The Forbidden Kingdom, The Four), yang menggantikan sang ayah (Tzi Ma) ke medan perang, setelah Kaisar (Jet Li) meminta semua warga laki-laki bergabung dalam dinas ketentaraan untuk melawan bangsa asing, yang kali ini adalah datang dari Böri Khan (Jason Scott Lee), pemimpin etnis Rouran yang ingin membalas dendam ayahnya.
Yang membedakan, hilang sang naga mungil cerewet yang menjadi teman Mulan dalam petualangannya, Mushu. Sementara itu, Li Shang, yang menjadi objek roman Mulan dalam versi animasi, dipecah menjadi dua karakter; Komandan Tung (Donnie Yen), salah satu petinggi tentara kerajaan yang kemudian bertugas sebagai mentornya, dan rekannya sesama tentara Chen Honghui (An Yoson). Sebagai tambahan, di masukkan pula karakter seorang penyihir bernama Xianniang (Gong Li) yang menjadi rekan Böri Khan.
Sutradara asal Selandia Baru, Niki Caro (Whale Rider, The Zookeeper’s Wife) bertugas sebagai sutradara, berdasarkan naskah tulisan Rick Jaffa, Amanda Silver, Lauren Hynek dan juga Elizabeth Martin. Absennya nama-nama berdarah Tionghoa, atau setidaknya Asia, dalam tim inti belakang layar seharusnya bisa menjadi pertanda akan hasil akhir Mulan.
Sudut pandang ditangkap dari perspektif barat, yang boleh dikatakan tidak begitu sesuai dengan filosofi Asia. Begitu banyak yang salah kaprah untuk Mulan kali ini. Bagaimana film terlalu mengedepankan konsep Chi sebagai kekuatan utama Mulan dan bagaimana ia, sebagai perempuan, harus menyembunyikan bakatnya. Mungkin para penulis naskah film tidak pernah menonton film-film silat, di mana penguasaan Chi sebenarnya tidak mutlak harus dikuasai kaum lelaki saja, namun bagi mereka yang memang berbakat secara alami.
Bisa jadi film bermaksud memasukkan unsur kritikan pada patriarki yang kerap mengsubordinasi para perempuan. Hadirnya karakter yang diperankan oleh Gong Li setidaknya menjadi penanda, di mana ia sebagai sosok dengan kekuatan besar harus dipinggirkan hanya saja karena ia perempuan. Xianniang juga bisa menjadi semacam katalis untuk Mulan itu sendiri. Idenya menarik, tapi tidak hanya setengah matang, namun juga salah kaprah. Secara sosiologis, konteks marginalisasi yang terjadi di perempuan Barat tidaklah sama dengan yang berada di belahan Timur.
Sayangnya eksekusi setengah matang juga terjadi di banyak lini film. Utamanya adegan pertempuran atau aksi-laga. Yifei tampak berdedikasi untuk memerankan karakternya yang menantang tidak hanya secara emosional, melainkan juga fisik. Hanya saja, film tidak memanfaatkan dedikasinya tadi dengan maksimal, sehingga menjadi tanggung, jika tidak mau dikatakan kurang meyakinkan.
Tidak heran jika Mulan terlihat seperti versi jenerik murah-meriah dari berbagai epik fantasi ataupun WuXia yang datang dari Tiongkok. Jelas mengecewakan, mengingat bahkan versi animasi Disney rilisan 1998 lalu menangkap warna Asia, dan semangat feminisme, justru dengan lebih kuat. Nyaris tidak ada resonansi, hanya pertunjukkan fantastis yang terpoles mengkilap, namun dangkal.
Rating :