Rasanya sulit untuk menafikan jika BLACKPINK adalah girl group terbesar saat ini, hanya empat tahun berselang semenjak mereka debut di tahun 2016 lalu. Uniknya mereka bukan datang dari wilayah Barat – seperti Inggris dan Amerika Serikat yang mendominasi industri musik di beberapa dekade terakhir – melainkan dari Korea Selatan.
Harus diakui pop Korea Selatan, atau lebih dikenal sebagai K-Pop, memiliki pengaruh cukup signifikan untuk skena musik global di masa sekarang, sehingga jalan dominasi dunia BLACKPINK relatif lebih “mulus” dibandingkan pendahulunya. Topik tersebut bisa kita bicarakan lain kesempatan, karena sekarang mari fokus untuk kisah kuartet bentukan YG Entertainment tersebut dalam film dokumenter baru rilisan Netflix, BLΛƆKPIИK: Light Up the Sky.
Diluncurkan kurang lebih dua pekan perilisan album debut mereka, The Album, mudah saja mengira jika film adalah bagian dari promosi, sehingga dokumentasinya akan terkurasi secara sangat hati-hati dan hanya menampilkan hal-hal superfisial guna mendukung kesuksesan album.
Syukurlah sang sutradara, Caroline Suh, diberi cukup keleluasan untuk menggali beberapa sisi BLACKPINK, termasuk hal-hal personal. BLΛƆKPIИK: Light Up the Sky memadukan antara sesi wawancara bersama cuplikan adegan di belakang layar serta pendekatan ala cinéma vérité, sehingga narasi berjalan natural. Tidak perlu narator, karena BLACKPINK bisa menyampaikan kisah mereka sendiri.
Film dibuka dengan cuplikan perkenalan BLACKPINK di hadapan media sebagai bagian debut mereka. Suh dengan cermat menyunting adegan untuk berisi jukstaposisi antara layar laptop para jurnalis dengan kemunculan satu per-satu para member di atas panggung, sebelum memperkenalkan diri mereka. Suasana terasa menegangkan juga menggelisahkan, seolah mewakili perasaan BLACKPINK saat itu. Dengan cepat adegan berpindah ke beberapa tahun kemudian, saat grup sukses meraih kepopuleritasan dan dielu-elukan banyak orang.
Selanjutnya BLΛƆKPIИK: Light Up the Sky mengelaborasi apa yang terjadi antara dua kontras tersebut. Setiap member diberi kesempatan untuk diperkenalkan melalui ciri khas mereka masing-masing: Jennie, penyanyi/rapper/penari asal Korea yang menghabiskan masa remaja di Selandia Baru; Lisa, gadis Thailand yang boleh dikatakan sebagai seorang dance prodigy; Jisoo, lahir dan besar di Korea dan belajar menjadi seorang idol di usia yang relatif lebih lebih “dewasa” dan menekankan fungsi utamanya sebagai “visual”; serta Rosé, penyanyi dan multi-instrumentalis yang meninggalkan kampung halamannya di Australia dan hidup sendiri di Korea di usia 15 tahun guna menggapai mimpi menjadi seorang penyanyi.
Jalan sukses BLACKPINK – dikenal sebagai kumpulan “the baddest bitches” oleh para BLINKS alias penggemar mereka – tidaklah mudah. Harus rela melepas kehidupan remaja normal untuk kemudian ditempa dalam masa latihan berat dan sangat kompetitif, 14 jam perhari dalam beberapa tahun lamanya, yang disebut Rosé memiliki “nuansa yang tidak begitu membahagiakan,” seolah memberi indikasi akan beratnya kehidupan mereka pada saat itu. Validasi jika hanya orang-orang dengan bertekad bulat dan berjiwa baja yang pada akhirnya bisa bertahan.
Sudah rahasia umum jika masa training dalam industri’ grup idol K-Pop memiliki atmosfer kelam (bahkan bengis), sesuatu yang sebenarnya bisa dielaborasi secara detil oleh film. Hanya saja, dimengerti mengapa Suh kemudian memilih menghadirkan kesan tersebut hanya secara implisit dalam narasinya karena lebih fokus kepada bagaimana BLACKPINK menapaki jalan karir mereka dan betapa dedikasi tersebut pun terbayar lunas.
Berkat eksekusi yang efektif, film sukses menggali sisi emosional setiap para member, sehingga pergulatan dan tentunya perjuangan mereka terasa lekat dan nyata. Emosi tadi pun kemudian menular pada para penonton yang menyaksikan di balik hangatnya ruang privat mereka.
Meski kritik atau sinisme akan sebuah industri eksploitatif membayang di latar, namun film dengan sadar dan diplomatis memilih untuk tidak bereksplorasi lebih jauh ke wilayah tersebut. Bagaimanapun BLΛƆKPIИK: Light Up the Sky adalah sebuah kisah inspirasional dan ia berhasil untuk itu, walau durasi yang hanya 79 menit membuat kita ingin meminta cerita yang lebih banyak lagi.
Jennie, Lisa, Jisoo dan Rosé tengah bersantap siang, di sebuah restoran kecil yang dulu kerap mereka datangi saat berstatus sebagai trainee, di pilih sebagai adegan penutup. Hangat, intim tapi juga menggantung, adalah epilog sempurna untuk BLΛƆKPIИK: Light Up the Sky. Seolah menegaskan pernyataan mereka sebelumnya, jika ini adalah awal dan perjalanan mereka justru baru dimulai!
Rating :