Kalau dipikir-pikir, perfilman Indonesia memberi akses yang cukup terjangkau bagi banyak orang yang sebenarnya tidak memiliki latar studi film untuk bisa terjun di dalamnya. Setidaknya sejauh ini kita punya sutradara yang datang dari profesi awal sebagai kritikus, novelis, penyanyi atau komedian.
Di tengah semakin berkembangnya pemanfaatan YouTube, maka kita juga memiliki berbagaicontent creator yang memanfatkan platform video on-line ini untuk mengeksplorasi bakat mereka, utamanya dalam narasi audio-visual. Kita memanggil mereka sebagai personalia YouTube. Atau jamaknya dikenal sebagai YouTuber.
Salah satu YouTuber yang memiliki populeritas masif adalah Chandra Liow. Setelah terlibat sebagai aktor dalam beberapa film layar lebar, seperti YouTubers, Single dan Hit & Run, Chandra rupanya merasa sudah punya bekal cukup untuk “menyebrang” menjadi sutradara. Lahirlah Bucin (atau Whipped) ini.
Chandra turut membintangi filmnya bersama para rekan dekatnya sesama YouTuber, Tommy Limmm, dan duo kakak-beradik Jovial dan Andovi Da Lopez yang beken berkat kanal YouTube mereka, skinnyindonesian24.
Sama halnya dengan Chandra, Tommy, Jovi dan Andovi juga sudah cukup berpengalaman di bidang akting melalui berbagai film. Bahkan Jovi pun melebarkan sayap dengan menulis beberapa naskah film, seperti Jomblo Keep Smile, Marmut Merah Jambu, hingga YouTubers dan #Modus yang dibintanginya bersama sang adik.
Jovi juga bertugas menulis naskah untuk Bucin. Sebuah pilihan yang dianggap masuk akal, mengingat Bucin alias Budak Cinta adalah istilah yang diperkenalkan oleh Jovi bersama Andovi. Jadi, siapa lagi yang paling tahu tentang Bucin kalau bukan mereka. Bukankah begitu?
Jovi, Andovi, Tommy dan Chandra memerankan versi fiksi mereka dalam Bucin. Empat sahabat yang mengikuti sebuah kelas Anti-Bucin di bawah supervisi Vania (Susan Sameh) yang misterius. Kecuali Chandra yang jomblo, tiga temannya memang memiliki masalah masing-masing dengan kekasih mereka, Cilla (Kezia Aletheia), Kirana (Widika) dan Karina Salim (Karina Salim).
Konsep yang ditawarkan oleh Bucin sebenarnya tidak baru, namun masih mampu mengundang perhatian jika digarap dengan baik. Apalagi tema dan konflik yang diusung film boleh dikatakan cukup lekat dengan keseharian para pemuda-pemudi masa kini.
Masalahnya film tidak digarap dengan baik. Naskah tulisan Jovi terbata-bata dalam bertutur, sehingga narasi tidak berjalan lancar. Disokong dengan karakterisasi yang bukan saja dangkal, tapi tak tergali dengan baik. Setiap karakter malah menggusarkan untuk bisa terkoneksi dengan baik. Tidak ada urgensi. Tidak ada nuansa. Datar seperti karikatur narsistik dan berdimensi satu.
Klise-klise dalam naskah juga ditemukan dalam pengarahan Chandra. Kita bisa merasakan percaya diri yang kuat dari Chandra kalau dirinya bisa membuat sebuah film yang penuh gaya. Harus diakui, secara teknis ada beberapa aspek yang membuat film memang mengilap. Tapi ia juga pencerita yang payah.
Alih-alih menggelitik, Bucin malah menjengkelkan. Secara naratif, plot Bucin tidak utuh, melainkan rangkaian beberapa segmen. Namun jahitannya tidak mulus, sehingga lompatan-lompatan dalam tempo menjadi pengganggu ritme film.
Belum lagi masalah inkonsistensi dalam tonalitas atau teknik komedi yang jelas meniru gaya film lain yang lebih matang. Niatan memberi semacam “twist” di klimaks patut dipuji. Hanya saja, dengan eksekusi mentah menjadi terasa dipaksakan.
Apa yang diterapkan Chandra bisa jadi akan lebih berhasil dalam platform yang lebih singkat, seperti film pendek atau sketsa yang banyak ditemui di YouTube. Sayangnya, sama sekali tidak efektif saat diterapkannya dalam format panjang seperti Bucin. Sesuatu yang bisa dipertimbangkan kalau ada film berikutnya, mungkin?
Rating :