The Devil All the Time diangkat dari novel thriller psikologis karya Donald Ray Pollock yang disebut-sebut bergaya gotik selatan (southern gothic). Meski tidak berseting di abad pertengahan – atau kastil menyeramkan – The Devil All the Time mengandung unsur fantastis tapi murung/suram/gelap seperti yang kerap diusung estetik tersebut.
Dengan Mr. Pollock bertugas sebagai narator untuk versi filmnya, menyimak The Devil All the Time serasa menyaksikan lembaran narasi dalam buku yang menjadi hidup. Dengan lini waktu yang bergulir antara Perang Dunia II dan Perang Vietnam, plot berkisah tentang beberapa karakter, yang masing-masing mendapat porsi penceritaan tersendiri sebelum nantinya bersinggungan. Atau bertabrakan mungkin lebih tepatnya.
Meski begitu, karakter yang menjadi sentral dalam kisah yang disebut-sebut terjadi di West Virginia dan Ohio ini adalah Arvin Eugene Russell (Tom Holland, Spider-Man: Far From Home), seorang remaja yang hidup bersama neneknya, Emma (Kristin Griffith, Ben Is Back), dan juga anak angkat sang nenek, Lenora (Eliza Scanlen, Little Women).
Arvin tidak memilih untuk tinggal bersama sang nenek, tapi setelah sang ayah, Willard (Bill Skarsgård, IT: Chapter I & II), memilih bunuh diri menyusul sang istri, Charlotte (Haley Bennett, The Girl On The Train), yang meninggal karena kanker, maka ia tidak punya pilihan lain.
Nantinya ia akan bertemu dengan pasutri pembunuh berantai Carl (Jason Clarke, Pet Sematary) dan Sandy Henderson (Riley Keough, The Lodge), sheriff korup kakak lelaki Sandy, Lee Bodecker (Sebastian Stan,Captain America: Winter Soldier) dan juga pendeta dengan kesalehan meragukan, Preston Teagardin (Robert Pattinson, The Batman).
Antonio Campos (Christine), sang sutradara, telaten dalam membangun suspensi dan ketegangan dalam filmnya. Alur boleh dikatakan bergerak dengan lumayan perlahan, namun tidak pernah membosankan. Kita selalu penasaran, apa yang berikutnya akan terjadi? Divisi dramatik film pun tergali dengan baik. Apalagi didukung oleh penampilan menawan oleh para pemain. Utamanya Tom Holland.
Karakter dengan kompleksitas pekat seperti Arvin bisa diterjemahkan Holland secara artikulatif. Alih-alih bertendensi satu dimensi, justru bernas dan bertekstur kaya lapisan. Holland juga berhasil menyajikan sisi emosional kuat sehingga penonton bisa merasakan pergulatan batinnya.
Agak disayangkan kompleksitas dan juga tekstur naratif film ternyata tidak menandingi akting Holland. Kesan yang didapat, The Devil All the Time seperti koleksi rangkaian sekuens yang mengglorifikasi sensasionalitas tragedi dalam cerita ketimbang makna. Depresif tapi seru. Tapi juga tak memiliki implikasi mendalam.
Mungkin saat kanak-kanak pernah membaca seri fabel dengan pesan moral tercantum di akhir cerita. Secara implisit, demikianlah yang didapat sehabis menyaksikan The Devil All the Time. Kekerasan, ketamakan, religiusitas buta, adalah beberapa sifat-sifat tercela manusia yang coba digambarkan Campos sebagai sesuatu yang sebenarnya bagian dari kemanusiaan itu sendiri. Setiap orang bisa memilikinya.
Hanya saja Campos terjebak pada arketipe ketimbang benar-benar memanusiakan karakter-karakternya. Tidak heran sebagian besar dari mereka cenderung hadir sebagai karikatur saja ketimbang bulat dan utuh sebagai manusia dengan sifat dalam gradasi abu-abu. Ada upaya untuk itu, tapi relatif hanya menyentuh permukaan. Pada akhirnya, film pun gampang terlupakan.
Rating :