(Ulasan di bawah ini turut membahas babak pamungkas, jadi berhati-hatilah kalian yang anti spoiler!)
Apabila hanya berpatokan pada materi promosi yang digeber oleh Visinema Pictures (Love for Sale, Keluarga Cemara), entah itu dari poster berwarna merah muda yang unyu-unyu maupun kutipan-kutipan mengenai mantan di media sosial, saya cukup meyakini sebagian besar dari kita pasti mengira Mantan Manten sebagai film percintaan yang diniatkan untuk bikin gemas para penontonnya. Kalaupun ternyata dugaan tersebut meleset, paling tidak film masih berpijak di genre romansa dengan pendekatan beralih ke melodrama yang meminta para pemirsanya untuk bersedu sedan terhadap nasib karakter utamanya yang pilu. Berhubung saya tergolong konservatif – dan tidak pula banyak menggali info mengenai film ini sebelum menonton – sudah barang tentu dua ekspektasi ini yang saya tetapkan tatkala menyimak Mantan Manten yang ternyata oh ternyata membuat saya terkezut. Alih-alih mengkreasinya sebagai film percintaan konvensional dimana fokusnya tertambat pada hubungan dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, Farishad Latjuba (film sebelumnya pun berhubungan dengan kekasih dari masa lampau, Mantan Terindah) selaku sutradara mencoba untuk membelokkannya. Tak sebatas berceloteh soal pahit manisnya cinta, film turut menyinggung budaya Jawa dengan segala unsur mistis yang melingkunginya serta isu women empowerment dimana si karakter perempuan tidak dideskripsikan tunduk pada lelaki yang dicintainya melainkan sebagai seorang pejuang yang menolak untuk menyerah pada keadaan.
Karakter perempuan yang dimaksud dalam konteks ini adalah Yasnina Putri (Atiqah Hasiholan) yang dikisahkan telah merengkuh segalanya dalam usia menjelang kepala tiga. Dia mempunyai karir sangat mapan sebagai manajer investasi, dia mempunyai harta melimpah ruah hasil dari kerja kerasnya selama bertahun-tahun, dan dia juga mempunyai seorang tunangan bertampang rupawan yang bersedia melakukan apa saja demi Yasnina, Surya (Arifin Putra). Lalu, apa lagi yang kurang dari kehidupannya? Jika sekadar ditengok dari permukaan, Yasnina memang terlihat telah memiliki semuanya. Tapi setelah rekan kerjanya, Iskandar (Tyo Pakusadewo), yang merangkap pula sebagai calon mertuanya tiba-tiba mengkhianatinya dalam suatu kasus pemalsuan, penonton mulai mengendus bau tak sedap yang mengindikasikan bahwa protagonis kita ini mungkin tidak benar-benar kaya. Bukan soal hartanya yang bisa ludes hanya dalam satu kejapan mata, melainkan soal orang-orang yang mencintainya secara tulus dan bagaimana dia menyikapi permasalahan. Yasnina memang tidak terpuruk, tapi dia menaruh dendam kesumat kepada Iskandar dan berniat untuk membalas dendam. Guna memenangkan pertarungan, perempuan yang akrab dipanggal Nina ini mesti mendapatkan uang dari satu-satunya properti miliknya yang tersisa di Tawangmangu, Jawa Tengah. Mengira seluruh proses berkenaan dengan villa akan berlangsung lancar, Nina justru dihadapkan pada persoalan lain ketika dukun manten yang mendiami villa tersebut, Marjanti (Tutie Kirana yang tampak berwibawa sekaligus keibuan di waktu bersamaan), mengajukan satu syarat sulit yang harus dipenuhi apabila Nina ingin memperoleh apa yang dimauinya.
Syarat sulit yang dimaksud dalam konteks ini adalah mengisi posisi sebagai asisten pribadi Marjanti yang profesinya berkaitan dengan pernikahan tradisional atau lebih spesifik lagi, memaes. Sebagai seorang Jawa tulen yang kebetulan memiliki kerabat yang penghasilan sehari-harinya bersumber dari rias manten, saya tentu pernah mendengar sekaligus melihat langsung paes yang definisi sederhananya adalah tata rias pengantin dalam adat Jawa berupa lekukan berwarna hitam di dahi pengantin. Tapi bagi penonton yang tak pernah mengetahuinya mungkin bertanya-tanya, “apa sih kegunaan paes ini? Mengapa keberadaannya sedemikian sakral sampai-sampai hanya orang tertentu yang dapat mengemban tugas memaes?”. Mantan Manten yang naskahnya ditulis oleh Farishad Latjuba bersama Jenny Jusuf ini sayangnya kurang memberikan penjabaran memuaskan mengenai latar belakang ilmu paes termasuk soal filosofi dibaliknya dan ketentuan-ketentuan untuk menjadi seorang pemaes sehingga tanya para awam bisa jadi kurang terjawab termasuk hubungannya dengan klenik. Dalam paruh awal yang memang mengalami kendala dalam mengutarakan narasi (terkadang bertele-tele terkadang tergesa-gesa), film juga urung memberi penekanan pada hubungan percintaan yang terjalin diantara Yasnina dengan Surya. Kedua pemain tampil kompeten, khususnya Atiqah Hasiholan yang bermain gemilang sebagai perempuan tangguh dengan ego menggelembung, namun mereka tidak terlihat seperti pasangan yang benar-benar saling mencintai. Apakah ini disengaja oleh si pembuat film guna memberikan isyarat bahwa ada problematika yang coba diredam diantara mereka atau semata-mata karena film tak mengeksplorasi relasi keduanya?
Saya sempat mempertanyakan hal ini dan sempat pula beberapa kali dibuat mengernyitkan dahi akibat narasi yang cenderung kagok, sampai kemudian Mantan Manten membuat saya bersedia untuk memafhuminya setelah film secara perlahan tapi pasti menambat hati ini terhitung sedari melunaknya sikap Nina kepada Marjanti. Ya, meski digambarkan sebagai perempuan cerdas nan tangguh, Nita bukanlah sosok karakter yang mudah disukai pada mulanya karena tindak tanduknya yang acapkali mengabaikan unggah ungguh (baca: sopan santun) terutama saat berinteraksi dengan Marjanti yang secara usia berada jauh di atasnya. Perubahan dalam dirinya mulai tampak usai Marjanti mengutarakan alasannya menjalani profesi dukun manten yang dilandasi oleh keikhlasan. Dari sini, Mantan Manten tak lagi menaruh minat untuk membahas kelanjutan hubungan percintaan Nina-Surya dan lebih memberi perhatian terhadap perjuangan si karakter utama dalam membangun kehidupan baru yang membuat film terasa seperti tontonan pengembangan diri dengan tema utama “sebuah seni untuk bersikap ikhlas.” Apakah ini salah? Bagi saya pribadi, tidak sama sekali karena film justru menguarkan pesona sesungguhnya di sini. Saat dirinya menghadirkan metafora untuk mendeskripsikan nuansa mistis dalam budaya Jawa yang bisa pula tampak indah alih-alih menakutkan, saat dirinya memperbincangkan tentang “senjata” yang dipersiapkan oleh Nina untuk memenangkan pertarungan besarnya. Nina yang tadinya seorang perempuan modern dengan pemikiran pragmatis akhirnya bersedia merangkul budaya Jawa yang serba tradisional sesuai dengan saran dari Marjanti. Berkat budaya yang baru dikenalnya secara mendalam ini, Nina menyadari bahwa dirinya dapat memperoleh kekayaan hati serta jalan keluar untuk sederet permasalahannya asalkan dia bersedia berdamai dengan luka, meredam dendam, sampai akhirnya tiba dalam fase “nerimo”.
Mantan Manten memang mempunyai babak pamungkas menyesakkan dada yang akan membuat penonton beruraian air mata, khususnya bagi mereka yang mempunyai pengalaman serupa. Tapi bagi saya, air mata ini tumpah bukan karena kenelangsaan si karakter utama melainkan karena akting ciamik Atiqah Hasiholan yang memperlihatkan bagaimana Nina akhirnya mampu memenangkan pertarungannya secara elegan. Dia menegakkan kepala, dia pun tersenyum. Andai karakter ini benar-benar nyata adanya di depan mata, saya pasti sudah menghampirinya seraya berujar, “kamu perempuan hebat, Mbak Nina. I am so proud of you!”
Rating :