Mungkin akan ada banyak prasangka buruk ketika mendengar sutradara Hanny R. Saputra kembali mengarahkan sebuah film dengan naskah yang ditulis oleh Armantono serta menempatkan Acha Septriasa dan Irwansyah sebagai pasangan di film tersebut. Jelas, tidak akan ada yang mampu melupakan Heart (2006), film yang merupakan kolaborasi pertama mereka dan sukses luar biasa secara komersial ketika dirilis namun mendapatkan banyak backlash dari beberapa pihak yang menganggap jalan cerita film tersebut terlalu ‘cengeng’ untuk dapat dinikmati. Kesuksesan formula Heart kemudian digunakan kembali pada film Love Is Cinta (2007), yang masih mampu meraih jumlah penonton yang lumayan namun kali ini lebih banyak menerima kritikan atas jalan ceritanya yang tidak hanya lebih ‘melodramatis’ serta kadang terkesan kurang masuk akal.
Suka atau tidak, kolaborasi empat nama tersebut kembali terjadi pada film Love Story. Bahkan, kali ini, Anto Hoed dan Melly Goeslaw yang sempat sukses merangkai lagu dan tatanan musik untuk Heart, kembali diajak untuk bekerjasama. Menempatkan latar belakang sebuah desa yang memegang kuat adat istiadatnya serta masih sedikit ketinggalan dari peradaban modern mungkin memberikan sedikit justifikasi mengapa dialog para karakter di film ini terksan terlalu puitis untuk dapat terjadi di sebuah lingkungan yang selama ini kita kenal. Namun, dialog-dialog puitis tersebut bukan masalah utama pada Love Story. Seiring dengan bergeraknya durasi tayang Love Story, jalan cerita yang mengangkat tema mengenai kisah cinta yang tidak dapat disatukan ini kemudian terlihat semakin absurd, terkesan dipanjang-panjangkan dengan pengulangan masalah yang tak kunjung berhenti atau diselesaikan serta dialog-dialog yang awalnya puitis menjadi semakin terdengar sebagai lantunan bahasa yang corny dan menggelikan untuk didengar.
Kisahnya sendiri menceritakan persahabatan Galih (Irwansyah) dan Ranti (Acha Septriasa) yang telah terjalin semenjak kecil. Sebenarnya, keduanya sama-sama saling mencintai satu sama lain namun terpaksa menahan hasrat tersebut karena mereka dilahirkan di dua desa yang dipisahkan secara adat oleh sebuah legenda yang melarang warga dari masing-masing desa tersebut untuk jatuh cinta dan menikahi warga yang berada di desa lainnya. Walau begitu, sebelum masa kepergiannya ke Bandung untuk melanjutkan kuliahnya, Galih menyatakan perasaannya tersebut pada Ranti dan berjanji pada suatu hari akan kembali ke desa dan melanjutkan hubungannya dengan gadis tersebut.
Beberapa tahun berlalu, Galih akhirnya memenuhi janjinya dan pulang kembali ke desa. Untuk membuktikan perasaannya benar-benar mendalam pada Ranti, Galih memutuskan untuk mewujudkan salah satu impian Ranti di masa kecilnya, yakni untuk memiliki sebuah sekolah dimana ia bisa mengajar murid kedua desa tersebut. Sebuah niatan yang tulus, namun jelas kemudian mendapatkan tantangan dari banyak warga yang takut kalau jika hubungan Galih dan Ranti terus berlanjut akan membawa marabahaya besar bagi penduduk dua desa tersebut. Layaknya Romeo dan Juliet, Galih dan Ranti terus melanjutkan hubungan mereka walaupun kerapkali menuai cercaan dan penghakiman dari banyak orang.
Pertama-tama, mari memberikan sedikit perhatian yang sedikit lebih kepada Acha Septriasa. Aktris yang dikabarkan merupakan salah satu aktris dengan honor terbesar di Indonesia ini telah menunjukkan kemampuan akting yang sangat jauh berkembang semenjak ia memulai karir filmnya sebagai pemeran pendukung di Apa Artinya Cinta? (2006) serta, tentu saja, Heart. Dalam perjalanan karirnya, Acha memang kerap memerankan seorang wanita dengan karakter yang tegar namun tetap melodramatis. Namun, selama masa itu pula Acha berhasil menambahkan kedalaman sifat dalam setiap karakter yang ia perankan. Lihat saja perannya di Love (2008) atau Menebus Impian (2010) yang benar-benar membuktikan Acha Septriasa yang Anda saksikan sekarang bukanlah aktris dengan kemampuan akting yang sama seperti yang pernah Anda lihat sebelumnya di Apa Artinya Cinta? atau Heart. Hal ini kembali ia tunjukkan dalam Love Story. Dengan dominasi peran yang cukup besar di dalam jalan cerita Love Story, tidak dapat disangkal bahwa Acha adalah satu-satunya penampilan yang tampil hampir tanpa cela di sepanjang film ini.
Bukan bermaksud mendiskreditkan para pemeran lainnya, namun, selain Acha Septriasa dan Reza Rahadian – yang akan kita bicarakan lebih lanjut nantinya, hampir setiap pemeran di film ini terasa sebagai sebuah miscast. Reza Pahlevi – dengan penampilan yang kadang terlalu meledak-ledak — terasa terlalu muda untuk berperan sebagai figur ayah bagi karakter yang diperankan oleh Acha Septriasa. Aktris senior, Henidar Amroe – selalu hadir dengan permainan terbaik, namun kali ini dengan porsi peran yang sayangnya amat terbatas, terlihat terlalu muda untuk memerankan nenek dari karakter yang diperankan oleh Acha Septriasa serta ibu dari karakter yang diperankan oleh Reza Pahlevi. Sebenarnya sama sekali tidak masalah untuk menempatkan seorang aktor atau aktris untuk memerankan karakter yang lebih tua atau lebih muda dari usia mereka sebenarnya. Disinilah arti penting dari tim tata rias sebuah produksi film. Di Love Story, departemen ini terasa kurang begitu dimanfaatkan dengan baik, yang menyebabkan karakter yang diperankan oleh Reza Pahlevi dan Henidar Amroe terkesan kurang begitu melekat pada kepribadian mereka.
Dan kemudian ada Irwansyah, yang sepertinya masih berusaha untuk menjadi seorang romantic hero di film-film drama percintaan Indonesia. Baiklah, ia memang tepat untuk memerankan seorang pria dengan karakter romantis nan puitis seperti yang digambarkan pada paruh awal film ini. Namun untuk memerankan seorang pria yang mampu membangun sendiri sebuah sekolah untuk sang kekasih, dengan melibatkan banyak adegan dimana karakter tersebut mengangkat sendiri kayu-kayu pembangun bangunan sekolah dengan tangan telanjang? Dan bahkan ketika ia sakit parah ia masih memaksakan diri untuk mengerjakannya? Maaf, kurang meyakinkan. Dan sejujurnya, semenjak bagian penceritaan karakter Galih membangun sekolah inilah Love Story mulai terasa dangkal untuk kemudian menyeret jalan ceritanya demikian panjang dan memenuhi kuota durasi tayang selama 100 menit. Irwansyah sendiri well… masih Irwansyah dulu yang pernah Anda lihat sebelumnya. Bukan berarti hal yang buruk, namun Irwansyah sepertinya tidak (akan pernah) mampu meribah image boyish-nya untuk diberikan sebuah peran yang menuntutnya untuk melakukan sebuah kegiatan fisik yang berlebihan seperti yang terjadi di film ini.
Saatnya membicarakan Reza Rahadian, yang saat ini sepertinya sangat haus akan peran-peran ‘aneh’ untuk membuktikan bahwa dirinya memang layak untuk memenangkan berbagai penghargaan film yang ia terima sepanjang beberapa tahun terakhir, dan membuatnya mau menerima sebuah karakter kecil namun harus diakui adalah peran yang sangat menantang. Dalam Love Story, Reza Rahadian berperan sebagai Pengkor, seorang pria dengan kemampuan otak yang tidak normal jika dibandingkan dengan manusia lainnya. Karakter yang diperankan Reza diceritakan hanya berkeliling desa dengan pakaian kumalnya dan seringkali berbicara dengan gumaman bahasa yang sukar dimengerti. Awalnya, kehadiran Reza sangat mencuri perhatian. Reza mampu mendalami karakter ini dengan sangat baik. Sayangnya, naskah yang terlalu berfokus pada kisah cinta Galih dan Ranti, tanpa memberikan karakter lain – termasuk karakter Pengkor — kesempatan untuk lebih berkembang, membuat karakter ini kemudian terbuang percuma. Bahkan, lama-kelamaan kehadirannya justru terkesan menyebalkan dengan memberikan performa yang sama – datang, melihat sekeliling dan kemudian bergumam serta berteriak dengan keras – dan diulang secara terus menerus.
Sementara itu, tak banyak yang dapat diceritakan dari sisi naskah cerita film ini. Pertengahan cerita film ini adalah masa-masa dimana Love Story secara perlahan menemui jalan buntu yang kemudian diikuti dengan berbagai permasalahan yang diulang, jalan cerita yang didramatisir secara berlebihan hingga dialog-dialog yang berubah menjadi begitu corny dan terasa sangat menggelikan untuk didengar. Ending yang dipilihkan untuk film ini juga terasa begitu klise untuk dihadirkan, seperti dihadirkan hanya untuk dapat menghilangkan seluruh masalah yang semenjak awal film sama sekali belum terselesaikan. Apakah kehadiran tata musik karya pasangan Anto Hoed dan Melly Goeslaw perlu disinggung? Sepertinya tidak begitu diperlukan, mengingat apa yang mereka hadirkan disini seperti sebuah ‘kesatuan’ dari beberapa tata musik yang pernah mereka rancang di beberapa film sebelumnya, dan sayangnya, juga tidak terlalu begitu berarti pada Love Story.
Menjenuhkan, mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Love Story. Adalah sangat dimengerti jika pembuat film ini ingin menghasilkan sebuah film yang mungkin akan mampu membuat penontonnya yang berhati lembut untuk menguras air mata mereka. Namun kelemahan demi kelemahan yang terus menerus dihadirkan di sepanjang film sepertinya akan membuat penonton sedikit kesulitan untuk melihat berbagai keunggulan lain yang ada serta menerima kisah cinta yang dihadirkan film ini. Ibaratnya, daripada menaruh rasa haru kepada pasangan karakter yang ada di dalam jalan cerita, sepertinya kebanyakan penonton akan lebih merasa lega ketika film ini telah berakhir (. Melodramatis pada tingkat tinggi namun urung disertai dengan peningkatan kualitas penceritaan yang berarti membuat Love Story hanya mampu menjadi sebuah film ‘cengeng’ yang tampil setengah hati.
Rating :