It’s quite hard not to feel sorry for Anak Hoki. Pertama kali diumumkan pada awal tahun lalu sebagai film yang akan mengadaptasi kisah kehidupan masa remaja dari mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, keberadaannya kemudian mulai tersaingi oleh A Man Called Ahok (Putrama Tuta, 2018) yang diangkat dari buku berjudul sama dan juga mengulik seputar kehidupan sang mantan Gubernur. A Man Called Ahok lantas mendapatkan masa rilis terlebih dahulu dan, bagaikan menabur garam di atas luka, berhasil meraih perhatian besar dan jumlah penonton yang signifikan – lebih dari 1.4 juta penonton hingga akhirnya film tersebut turun layar. Jelas sebuah pencapaian yang akan membayangi Anak Hoki pada masa tayangnya. Kini, tiga bulan setelah A Man Called Ahok dirilis, Anak Hoki akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bercerita. Dan… well… mungkin ada baiknya membiarkan A Man Called Ahok menjadi satu-satunya film yang berkisah tentang Basuki Tjahaja Purnama untuk saat ini.
Diarahkan oleh Ginanti Rona (Midnight Show, 2016) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Ally Alexandra, Anak Hoki memulai pengisahannya ketika Ahok remaja (Kenny Austin) berangkat meninggalkan keluarganya di Belitung untuk melanjutkan pendidikan kuliahnya di Jakarta. Di sana, Ahok lantas berkenalan dengan Bayu (Lolox), Daniel (Chris Laurent), dan Eva (Nadine Waworontu), yang nantinya akan menjadi teman-teman terdekatnya. Seperti Ahok yang merasa bahwa jurusan kedokteran yang diambilnya tidak sesuai dengan minat pribadinya dan merupakan jurusan pilihan orangtuanya, Bayu dan Eva juga merasakan hal yang sama dengan jurusan kuliah mereka. Ahok sendiri memilih untuk membicarakan hal tersebut kepada orangtuanya dan menyarankan agar Bayu dan Eva untuk melakukan hal yang sama. Sayang, kedekatan yang terbentuk antara Ahok dan Eva lantas membuat Daniel yang telah sekian lama menaruh hati pada Eva cemburu kepada keduanya.
Tidak seperti A Man Called Ahok yang struktur pengisahannya terasa terikat dengan kisah nyata dari kehidupan Basuki Tjahaja Purnama, Anak Hoki menawarkan garisan cerita, konflik, dan barisan karakter fiksi (yang sepertinya) berdasarkan kehidupan dan karakter dari tokoh yang kini lebih ingin dikenal dengan sapaan BTP daripada Ahok tersebut. Hal tersebut sebenarnya membuka peluang lebih besar bagi Anak Hoki untuk menghadirkan jalinan kisah yang lebih kuat dan berwarna. Sayangnya, Alexandra sepertinya tidak memiliki kemampuan yang handal untuk melakukanya. Lihat saja bagaimana film ini memulai ceritanya dengan penggambaran bagaimana karakter Ahok kecil yang memiliki tiga sosok sahabat. Apakah Anak Hoki lantas melanjutkan pengisahannya dengan kisah perjalanan persahabatan keempat karakter tersebut? Tidak. Plot tersebut kemudian menguap dan menghilang begitu saja serta berganti dengan kisah pertemanan baru yang dijalin oleh karakter Ahok dengan tiga karakter lain.
Paruh pengisahan Anak Hoki selanjutnya kemudian diisi dengan barisan konflik yang sepertinya ingin menunjukkan karakter Ahok sebagai sosok yang well… terlihat bijaksana dan mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Sial, daripada berhasil menciptakan gambaran tersebut, naskah cerita garapan Alexandra malah membuat karakter Ahok seperti sosok yang selalu berusaha mencampuri urusan orang lain dengan memberikan berbagai opini dan pendapat yang sebenarnya tidak diperlukan. Mengganggu. Selain karakter utama yang akan membuat setiap penonton meringis melihat kehadirannya, Anak Hoki juga diisi oleh barisan sketsa konflik – karena masing-masing konflik tidak pernah terasa mampu membaur antara satu dengan yang lain dan disajikan bergantian hanya untuk mengisi ruang waktu pengisahan film – yang tampil tanpa penggarapan yang matang dan dialog yang menggelikan. Sebuah eksekusi penceritaan yang benar-benar buruk.
Kualitas buruk dari naskah cerita Anak Hoki memang memberikan kontribusi besar pada performa film ini secara keseluruhan. Namun, lemahnya pengarahan Rona juga jelas memberikan andil pada buruknya penceritaan Anak Hoki. Ritme penceritaan yang berantakan jelas dapat dirasakan pada berbagai sudut pengisahan film. Pengarahan Rona pada akting yang disajikan oleh para pemerannya juga tampil loyo. Austin sepertinya hanya dapat mengartikan sosok sebagai sosok yang fisiknya tampil membungkuk namun tidak pernah mampu memberikan kehidupan dan jiwa pada karakter yang diperankannya. Waworontu seringkali terlihat canggung dalam usahanya untuk menghidupkan karakternya yang digambarkan sebagai sosok pemberontak. Lolox dan Tamara Geraldine mungkin mampu mengeksekusi dialog-dialog komikal yang diberikan pada karakter mereka dengan cukup baik. Namun, tentu saja, beberapa momen komedi yang menghibur tidak lantas membuat karakter mereka terasa utuh dan kuat kehadirannya. Austin, Lolox, Laurent, dan Waworontu juga tampil dengan chemistry yang terlalu minimalis untuk membuat karakter mereka terlihat sebagai empat karakter dengan jalinan persahabatan yang erat. Kehadiran beberapa pemeran pendukung seperti Maia Estianty, Elkie Kwee, dan Harry Tjahaja Purnama dengan penampilan akting mereka yang canggung juga membuat kualitas departemen akting film ini semakin terpuruk.
Bahkan tanpa perlu memberikan perbandingan pada A Man Called Ahok, Anak Hoki adalah sebuah presentasi film yang buruk dengan sendirinya.
Rating :