Cukup menyenangkan untuk melihat Jennifer Lopez tampil dalam Second Act. Setelah membintangi What to Expect when You’re Expecting (Kirk Jones, 2012), Lopez seakan berusaha untuk melepas imej dirinya sebagai seorang bintang film-film drama komedi romantis yang dahulu sempat membantu membesarkan namanya di Hollywood. Langkah tersebut bukannya tidak berhasil. Beberapa film yang ia bintangi seperti film animasi Ice Age: Continental Drift (Steve Martino, Michael Thurmeier, 2012) dan Home (Tim Johnson, 2015), film drama aksi Parker (Taylor Hackford, 2015) dan Lila & Eve (Charles Stone III, 2015), serta thriller erotis The Boy Next Door (Rob Cohen, 2015) cukup mampu menarik perhatian penonton sekaligus memberikan sudut pandang baru terhadap karir akting Lopez. Namun, keberhasilan film-film tersebut jelas masih terasa minimalis jika dibandingkan dengan film-film drama komedi romantis sukses yang dibintangi Lopez seperti The Wedding Planner (Adam Shankman, 2001), Maid in Manhattan (Wayne Wang, 2002), atau Monster-in-Law (Robert Luketic, 2005). Para penggemar film-film drama komedi romantis yang dibintangi Lopez jelas akan berharap banyak pada Second Act.
Diarahkan oleh Peter Segal (50 First Dates, 2004), Second Act berkisah mengenai Maya Vargas (Lopez) yang telah merasa lelah dengan perusahaan tempatnya bekerja yang dirasa tidak pernah mampu memberikan apresiasi apapun atas pengabdian kerjanya di tempat tersebut – hal yang terjadi karena Maya Vargas tidak memiliki gelar pendidikan yang cukup untuk diberikan jabatan yang lebih tinggi. Oleh Dilly (Dalton Harrod), yang merupakan putra dari sahabat baiknya Joan (Leah Ramini), Maya Vargas lantas dibuatkan sebuah curriculum vitae yang sangat mengesankan dimana beberapa bagiannya melebih-lebihkan berbagai pencapaian hidup yang telah dilalui Maya Vargas. Tidak mengherankan bila Maya Vargas kemudian mendapatkan panggilan wawancara dari sebuah perusahaan besar untuk bekerja disana. Awalnya, Maya Vargas merasa tindakan Dilly adalah sebuah bentuk penipuan. Meskipun begitu, ketika perusahaan tersebut kemudian menawarkan sebuah posisi untuknya, Maya Vargas tidak kuasa untuk menolak dan menerima tawaran tersebut.
Penampilan Lopez dalam Second Act jelas membuktikan mengapa begitu banyak yang mencintai dirinya ketika membintangi film-film sejenis. Meskipun hadir dalam film yang memiliki jalinan pengisahan yang cenderung lemah, Lopez tetap berhasil menampilkan daya tarik karakternya sebagai sosok wanita yang penuh kharisma, mudah disukai, dan sangat relatable – suatu hal yang cukup luar biasa mengingat karakter tersebut diperankan oleh seorang Lopez yang merupakan salah satu sosok paling dikenal di permukaan Bumi. Lopez adalah energi dalam setiap detak perjalanan kisah Second Act. Barisan pemeran lainnya juga memberikan kontribusi yang sama menyenangkannya. Ramini yang berperan sebagai sosok sahabat bagi karakter Maya Vargas mengeksekusi setiap dialog-dialog jenakanya dengan sangat mulus. Begitu mencuri perhatian. Charlyne Yi dan Alan Aisenberg yang berperan sebagai dua sosok asisten bagi karakter Maya Vargas juga menghasilkan banyak momen komedi yang hangat. Elemen-elemen yang cukup mampu menjadikan film ini layak untuk disaksikan.
Di saat yang bersamaan, sulit untuk menyangkal bahwa naskah cerita film yang digarap oleh Justin Zackham (The Bucket List, 2007) dan Elaine Goldsmith-Thomas gagal untuk memanfaatkan begitu banyak kesempatan maupun momen untuk menjadikan kualitas penceritaan Second Act menjadi lebih berkelas. Second Act awalnya seperti diniatkan sebagai kisah empowerment atau pemberdayaan bagi sosok Maya Vargas – seorang wanita dengan latar belakang pendidikan sederhana dan usia yang tidak lagi muda namun memiliki bekal pengalaman dan etos kerja yang mengesankan. Komponen pengisahan tersebut sebenarnya mampu dibawa dan dikembangkan dengan baik hingga paruh pertengahan cerita film dimana Second Act menghadirkan sosok Zoe (Vanessa Hudgens) sebagai bagian masa lalu dari karakter Maya Vargas yang sempat menghilang. Mendadak, fokus penceritaan film kemudian berubah. Tadinya berkisah tentang kesempatan kedua dari karakter Maya Vargas dalam karirnya beralih menjadi kesempatan kedua bagi karakter tersebut untuk membangun kembali kisah masa lalu hidupnya yang sempat runyam.
Dua plot kisah tersebut sebenarnya dapat saja dipadukan untuk membentuk satuan kisah yang kuat dan menarik. Sayangnya, Zackham dan Goldsmith-Thomas tidak pernah mampu untuk menyatukannya dengan seksama. Hal ini masih ditambah dengan kisah romansa antara karakter Maya Vargas dengan karakter Trey (Milo Ventimiglia) yang juga berkualitas setengah matang dan tanpa ikatan chemistry yang berarti yang terbentuk dari penampilan Lopez dan Ventimiglia. Untungnya, tidak seperti chemistry-nya bersama dengan Ventimiglia, Lopez lebih menemukan ritme penampilan yang tepat ketika dirinya bersanding dengan Hudgens. Hubungan antara kedua karakter yang mereka perankan mampu terlihat manis sekaligus begitu hangat. Tentu, Second Act masih mampu menyajikan beberapa momen, khususnya komedi, yang cukup menghibur. Sayang, kualitas penceritaan yang “setengah hati” kemudian membuat film ini terasa hanya melemparkan ide demi ide namun tidak pernah mampu menggarapnya menjadi satuan pengisahan yang utuh sekaligus menarik.
Rating :