Mereka yang telah familiar dengan James Cameron (Avatar, 2009) pasti telah cukup memahami bahwa setiap rilisan film yang melibatkan namanya – baik sebagai sutradara maupun produser – akan menghabiskan waktu yang cukup lama dalam tahapan produksinya. Sebagian besar waktu tersebut digunakan Cameron untuk mengembangkan teknologi yang mendukung penampilan teknologi audio maupun visual dari filmnya. Alita: Battle Angel, yang sempat akan diarahkan Cameron sebelum akhirnya diambil alih oleh Robert Rodriguez (Machete Kills, 2013), juga mengalami masa proses kreatif yang sama. Diadaptasi dari seri manga berjudul Battle Angel Alita, Cameron telah mengumumkan niatnya untuk memproduksi film ini semenjak tahun 2003. Setelah melalui berbagai rintangan – mulai dari masa pengembangan naskah, pergantian posisi sutradara yang lantas menempatkan Cameron untuk duduk di kursi produser bersama dengan Jon Landau, hingga usaha untuk menghasilkan teknologi termutakhir untuk digunakan (yang lantas semakin menambah besar beban biaya produksi film ini) – Alita: Battle Angel memasuki masa produksinya pada tahun 2016 dengan rencana rilis pada pertengahan tahun 2018 sebelum akhirnya mendapatkan revisi jadwal tayang pada awal tahun 2019.
Berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Cameron bersama dengan Laeta Kalogridis (Terminator Genisys, 2015), Alita: Battle Angel yang memiliki latar belakang masa pengisahan pada tahun 2563 memulai petualangannya ketika seorang ilmuwan bernama Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz) menemukan potongan tubuh seorang cyborg wanita dengan kondisi otak manusia yang masih utuh. Dr. Dyson Ido lantas membawa potongan tubuh tersebut, membangunnya kembali menjadi sesosok cyborg wanita yang utuh, dan memberinya nama Alita (Rosa Salazar) sesuai dengan nama puteri tunggalnya yang telah meninggal dunia. Meskipun Dr. Dyson Ido merawatnya dengan penuh kasih dan membebaskannya untuk mempelajari berbagai hal yang berada di sekitarnya, Alita terus penasaran dengan masa lalunya sebagai seorang cyborg. Rasa penasaran itu semakin diperdalam dengan berbagai kilasan-kilasan ingatan yang kerap muncul di kepalanya. Perkenalannya dengan seorang remaja bernama Hugo (Keean Johnson) lantas mengenalkan Alita pada legenda mengenai keberadaan sebuah kota langit kaya yang dikenal dengan sebutan Zalem serta dianggap sebagai tujuan hidup utama bagi setiap orang yang tinggal di bawahnya.
Jelas tidak sulit untuk mengenali atau merasakan keterlibatan Cameron dalam Alita: Battle Angel. Setiap jejak teknologi audio dan visual yang ditampilkan film ini diracik dengan sentuhan teknologi teranyar – sebuah kualitas yang jelas selalu dapat diharapkan hadir dalam film-film yang diproduksi oleh Cameron. Tidak berlebihan rasanya jika menetapkan Alita: Battle Angel sebagai sajian sinematis terbaik perdana pada tahun ini. Tidak hanya dari kualitas teknologi, naskah cerita film ini jelas juga akan membawa penontonnya pada benang merah yang dapat ditemukan dalam setiap penceritaan yang ditulis oleh Cameron: mulai dari kisah mengenai “pertarungan” antara umat manusia dengan teknologi hingga rasa ketertarikan Cameron yang dalam pada kisah cinta antara dua sosok karakter yang berasal dari dua latar belakang kehidupan yang berbeda. Alita: Battle Angel, sayangnya, tidak menawarkan pertumbuhan kualitas penulisan naskah yang signifikan dari Cameron (dan Kalogridis). Elemen romansa film ini bahkan terasa lemah dan seringkali menjadi distraksi bagi pengembangan konflik lain yang sebenarnya lebih menarik. Meskipun begitu, Cameron dan Kalogridis tetap berhasil memastikan bahwa naskah cerita garapan mereka menjadi elemen yang krusial bagi kelangsungan sentuhan emosional dari jalan cerita Alita: Battle Angel kepada penontonnya.
Keberadaan Rodriguez sebagai sutradara Alita: Battle Angel jelas sedikit tertutup oleh nama Cameron. Namun, Rodriguez sendiri cukup mampu memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada warna pengisahan film. Seperti yang dapat dirasakan pada film-filmnya seperti Desperado (1995), From Dusk Till Dawn (1996), hingga Sin City (2005), Rodriguez juga meramu Alita: Battle Angel dengan ritme pengisahan yang cepat. Rodriguez juga tampil lihai dalam menggarap adegan-adegan yang memiliki nilai ketegangan pengisahan yang kuat sehingga mampu menjadikan film ini begitu mengikat. Dan meskipun tidak pernah ditampilkan secara frontal, Rodriguez juga tetap mempertahankan ciri khasnya untuk menghadirkan adegan-adegan bernuansa kekerasan dalam banyak adegan. Dengan struktur pengisahan yang tergolong sederhana – dan familiar, Rodriguez sebenarnya dapat saja memilih untuk membuang beberapa adegan yang sebenarnya kurang krusial untuk mempersingkat durasi pengisahan. Tetap saja, terlepas dari beberapa momen lemahnya, 122 menit pengisahan Alita: Battle Angel akan mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan.
Departemen akting Alita: Battle Angel juga menawarkan barisan pemeran dengan kemampuan penampilan akting yang handal. Waltz sekali lagi membuktikan kemampuannya untuk menjadikan satu karakter menjadi sosok yang begitu simpatik. Mahershala Ali dan Jennifer Connelly, yang berperan sebagai karakter antagonis utama film, juga hadir sangat meyakinkan dan mencuri perhatian dalam setiap penampilan mereka. Dan meskipun penampilan Salazar hanya tampil dalam bentuk sajian animasi, namun penampilannya tetap begitu kuat secara emosional. Setiap gerak dari karakter Alita mampu diterjemahkan dengan baik sehingga menjadikan sosok tersebut sebagai karakter utama yang memikat. Departemen akting Alita: Battle Angel juga didukung oleh penampilan Ed Skrein, Jackie Earle Haley, Michelle Rodriguez, hingga Casper Van Dien yang, seperti halnya Salazar, juga hadir dalam tampilan animasi.
Rating :