Review

Info
Studio : Participant Media/DreamWorks Pictures/Innisfree Pictures/Cinetic Media
Genre : Biography, Comedy, Drama
Director : Peter Farrelly
Producer : Jim Burke, Brian Hayes Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga, Charles B. Wessler
Starring : Viggo Mortensen, Mahershala Ali, Linda Cardellini, Dimitar Marinov, Mike Hatton

Kamis, 31 Januari 2019 - 22:24:45 WIB
Flick Review : Green Book
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 1516 kali


Berlatar belakang di tahun 1960an ketika perlakuan diskriminasi dan segregasi terhadap orang-orang kulit berwarna di Amerika Serikat masih berlangsung, film terbaru arahan Peter Farrelly (The Three Stooges, 2012), Green Book, memulai pengisahannya ketika mantan penjaga klub malam yang merupakan seorang Italia-Amerika, Frank “Tony Lip” Vallelonga (Viggo Mortensen), dipekerjakan oleh seorang musisi jazz berdarah Afrika-Amerika, Don Shirley (Mahershala Ali), untuk menjadi supir sekaligus penjaga keamanannya ketika sedang melakukan tur keliling Amerika Serikat yang akan berjalan selama delapan minggu. Jelas bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Selain keduanya harus bersiap menghadapi berbagai kendala yang akan muncul akibat identitas ras yang dimiliki Don Shirley, Frank “Tony Lip” Vallelonga dan Don Shirley sendiri seringkali merasa bahwa mereka bukanlah rekan kerja yang tepat akibat berbagai perbedaan yang ada dalam kepribadian mereka. Namun, menghabiskan masa selama delapan minggu bersama, keduanya mulai saling mengenal, membuka diri, dan bahkan melindungi satu sama lain. 

Ditilik dari struktur pengisahannya, Green Book memang tidak menawarkan sebuah formula pengisahan yang benar-benar baru. Meskipun terinspirasi dari sebuah kejadian nyata, naskah cerita yang ditulis oleh Farrelly bersama dengan Nick Vallelonga – yang merupakan putra dari Frank “Tony Lip” Vallelonga dan Brian Hayes Currie memiliki warna pengisahan yang tidak begitu berbeda dengan film-film drama sejenis garapan Hollywood: dua karakter dengan dua kepribadian dan latar belakang kehidupan yang berbeda, dua karakter tersebut awalnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran satu sama lain, dua karakter tersebut mulai mecoba untuk saling mengenal, dan, tentu saja, kisah persahabatan erat yang kemudian terjalin erat antara keduanya di akhir kisah. Familiar.

Isu rasial yang kental mengalir pada linimasa penceritaan Green Book menjadi elemen yang memberikan dorongan maupun warna pada tema cerita film yang terlanjur berkesan hambar akibat kefamiliarannya. Konflik yang tercipta kemudian mampu dikemas menjadi kuat sekaligus menarik dalam menggali karakterisasi kedua tokoh utama dalam film ini. Di saat yang bersamaan, cukup sulit untuk mengacuhkan penggunaan narasi white savior – pengisahan dimana karakter berkulit putih tampil sebagai juru selamat bagi karakter-karakter kulit berwarna yang berada di sekitarnya – yang terasa cukup mendominasi di beberapa bagian film. Memang, berkat pengolahan cerita Farrelly yang handal dalam mengemasnya sebagai proses pembelajaran bagi karakter Frank “Tony Lip” Vallelonga dan Don Shirley, narasi white savior tersebut tidak pernah benar-benar merusak atau mengganggu kualitas tatanan pengisahan Green Book secara keseluruhan. Tetap saja, glorifikasi keberadaan atau keunggulan satu ras terhadap ras lainnya tersebut akan dapat dirasakan jelas kehadirannya.

Kemampuan Farrelly untuk mengolah tema cerita yang cukup sensitif dengan nada pengisahan yang ringan dan begitu menghibur jelas menjadi faktor krusial mengapa Green Book – yang judulnya diambil dari judul buku terbitan tahun 1936, The Negro Motorist Green Book, yang merupakan sebuah panduan bagi turis berkulit warna untuk menemukan tempat-tempat aman bagi mereka berkunjung di berbagai wilayah Amerika Serikat – sukses dalam bercerita. Ritme pengisahan yang mengalir cepat dengan elemen komedinya menjadikan film ini tampil begitu hangat. Begitu pula dengan pemilihan warna terang namun lembut yang mengisi gambar-gambar racikan sinematografer Sean Porter serta komposisi musik garapan Kris Bowers yang menyokong penuh gaya pengarahan Farrelly dalam menggiring Green Book menjadi sajian yang mampu mencuri hati setiap penontonnya.

Pengarahan cemerlang Farrelly juga mendapatkan dukungan solid dari penampilan akting kedua pemeran utamanya, Mortensen dan Ali. Keduanya hadir dengan chemistry yang begitu meyakinkan. Tumbuh dan berkembang secara perlahan, chemistry antara Mortensen dan Ali sukses untuk menghidupkan perjalanan hubungan yang terbentuk antara kedua karakter yang mereka perankan. Mortensen sendiri hadir lebih santai dari penampilan akting yang biasa ia tampilkan dalam film-filmnya. Karakteristik yang membuat karakternya begitu mudah untuk disukai sekaligus dipercaya kehadirannya. Ali juga menghadirkan kapasitas akting yang kaliber. Berusaha menghidupkan sosok pria berkulit warna yang cerdas – yang tidak diterima oleh kaum kulit putih karena warna kulitnya serta merasa diasingkan oleh kaumnya sendiri karena perbedaan latar belakang dan arah pemikirannya, Ali menyajikan sosok Don Shirley sebagai sosok yang rapuh namun memiliki ketangguhan dan keberanian yang luar biasa besar. Akting Ali bukanlah semacam akting yang dipenuhi penampilan drama besar yang emosional. Meskipun begitu, penampilannya akan mampu melekat dalam pada benak setiap orang yang menyaksikannya.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.