Saat franchise Transformers disebut, apa yang pertama kali terlintas di benakmu? Pertarungan antar robot yang gegap gempita kah? Atau karakter-karakternya semacam Optimus Prime dan Bumblebee? Atau efek khususnya yang mencengangkan mata? Atau malah justru suasananya yang begitu riuh sampai-sampai telinga pengang lantaran berisiknya minta ampun? Bagi saya, franchise yang diinisiasi oleh Michael Bay ini hanya memunculkan satu ingatan: tontonan blockbuster yang meriah dari segi tampilan, tapi nihil kandungan gizi. Pokoknya “tarung, tarung, tarung” lalu “ledak, ledak, ledak” sementara narasi tidak memiliki urgensi lantaran hanya dimanfaatkan untuk menjustifikasi keberadaan sekuens laga. Untuk sesaat sih memang seru ya, cuma untuk jangka waktu panjang ini terasa melelahkan. Itulah mengapa satu-satunya seri yang meninggalkan kesan diantara lima instalmen adalah Transformers jilid awal (2007), sementara sisanya saya bahkan tidak bisa mengingat guliran penceritaannya seperti apa kecuali diberi contekan. Mirip semua sih! Saya pun sejatinya sudah hilang harapan pada franchise ini hingga mencapai titik melontarkan satu pertanyaan bernada skeptis, “apakah masih mungkin bagi Transformers untuk memiliki satu seri saja yang bagus?.” Seolah rajukan ini didengar, pihak studio pun menelurkan sebuah spin-off bertajuk Bumblebee yang menaruh perhatian serius pada narasi dan mengaplikasikan gaya pengisahan berbeda. Tentu saja saya seketika mempertimbangkan ulang keragu-raguan ini karena mereka berhasil membuktikan bahwa kemungkinan tersebut masih ada.
Diposisikan sebagai spin-off sekaligus prekuel, Bumblebee mengambil latar pengisahan dua dekade sebelum peristiwa di film pertama. Disamping si robot berwarna kuning, karakter utama yang memegang peranan penting pada film ini adalah seorang remaja bernama Charlie Watson (Hailee Steinfeld) yang berseteru dengan sang ibu, Sally (Pamela Adlon), selepas meninggalnya sang ayah. Keputusan Sally untuk melanjutkan hidup dengan menikahi Ron (Stephen Schneider) membuat hubungannya dengan Charlie memburuk. Tak ada lagi quality time bersama-sama, tak ada lagi komunikasi dua arah yang layak, dan hanya ada Charlie dengan tampang bersungut-sungut yang menghabiskan sebagian besar waktunya di garasi untuk memperbaiki mobil peninggalan ayahnya. Kehidupan yang diibaratkan sebagai neraka bagi Charlie ini perlahan tapi pasti mulai berubah usai dia mendapatkan sebuah hadiah ulang tahun dari seorang kawan baik di bengkel berupa mobil Volkswagen Beetle. Charlie pun seketika mengalihkan fokusnya ke Beetle kuning ini yang ternyata oh ternyata bukanlah mobil biasa. Mobil ini adalah jelmaan dari sesosok robot asal Planet Cybertron bernama B-127 yang datang ke bumi dengan harapan dapat menyelamatkan kaumnya, Autobots, yang tengah diburu oleh kaum Decepticons. Pertemuan Charlie dengan B-127 yang belakangan diberinya nama Bumblebee ini menciptakan sebuah simbiosis mutualisme bagi keduanya. Kehadiran Bee membantu Charlie dalam menaklukkan ketakutan terbesarnya untuk berdamai dengan kehilangan, sementara Charlie membantu Bee yang kehilangan ingatan dan suaranya dalam satu pertarungan untuk menemukan kembali tujuan kedatangannya ke bumi.
Mengingat bagaimanapun juga Bumblebee masih memiliki hubungan darah dengan rangkaian judul Transformers, maka tentu saja film arahan Travis Knight (film perdananya adalah Kubo and the Two Strings yang luar biasa cakep) ini tak lepas dari pemandangan yang telah menjadi andalan utama franchise. Pemandangan tersebut tersusun atas baku hantam antara kaum Autobots melawan kaum Decepticons, tembak-tembakkan yang dipicu oleh pihak militer yang melesakkan timah-timah panas ke tubuh para robot, kebut-kebutan di jalan raya mengendarai robot yang telah bertransformasi menjadi mobil, serta ledakan-ledakan disela-sela riuhnya pertarungan. Dalam kapabilitasnya mengkreasi adegan-adegan laga ini, Travis Knight memang masih belum selevel Michael Bay yang harus diakui jagoan – sekalipun beberapa film terakhir terasa terlampau gaduh nihil emosi. Bahkan cakupan skala laga dalam Bumblebee pun tak segegap gempita kakak-kakaknya yang memiliki banyak pertarungan akbar dan digeber nyaris tanpa henti di sepanjang durasi. Akan tetapi, I can assure you, kedua hal ini tidak lantas menghalangi potensi Bumblebee untuk menjadi sebuah spektakel yang mengasyikkan. Malahan formula “less is more” yang diterapkan oleh si pembuat film di sini memungkinkan setiap adegan laga memiliki impak sekaligus menggelitik keingintahuan penonton untuk mengetahui suguhan apalagi yang akan dihidangkan selanjutnya. Tidak hanya sekadar heboh atau sebatas digunakan sebagai ajang pamer keahlian dalam menangani efek khusus, pertarungan dalam Bumblebee mempunyai tujuan yang jelas. Sejelas pergerakan kameranya sehingga kita bisa memastikan siapa melawan siapa (yes, I am talking to you, Transformers series!)
Disamping membuat setiap adegan laga terasa efektif, keputusan untuk agak mereduksi gelaran laga juga memungkinkan bagi Bumblebee untuk bercerita secara layak. Ada narasi yang bisa diikuti dan untuk pertama kalinya dalam franchise ini, ada pula karakter yang bisa didukung sekaligus dikenal dengan baik. Dibawah penanganan Travis Knight, Bumblebee dikondisikan sebagai tontonan blockbuster yang membumi ala film keluarga dari era 80-90 an seperti E.T. atau The Iron Giant. Ini adalah sebuah coming of age story mengenai persahabatan dan pendewasaan. Ini bukan hanya kisah mengenai hubungan pertemanan antara sesosok robot yang tersesat dengan seorang gadis yang kesepian. Karena lebih dari itu, film turut mengulik perihal pencarian sesosok robot terhadap tujuan hidupnya serta upaya seorang gadis melawan ketakutannya untuk berdamai dengan kehilangan besar dalam hidupnya. Keberadaan character arc ini membuat penonton dapat menginvestasikan emosi kepada dua protagonis utama. Jauh berbeda dengan karakter lempeng yang dimainkan oleh Shia LaBeouf maupun Mark Wahlberg, karakter milik Hailee Steinfeld terasa hidup, nyata dan dekat. Bumblebee yang sebelumnya memperoleh dukungan kita semata-mata karena fisik yang memantik reaksi “wih, gemes nih!” dan posisinya sebagai protagonis pun sekali ini memiliki kedalaman. Dia terlihat kebingungan, mengalami fase terombang-ambing, akibat kerusakan pada sistem memori serta suara yang membuatnya lupa dengan misi awal. Membuatnya lupa dengan jati dirinya sebagai seorang prajurit sehingga tanpa disadari dia acapkali berlaku polos seperti hewan peliharaan. Berkat latar belakang si sutradara di bidang animasi, polah dan perasaan karakter Bee ini dapat diterjemahkan melalui gestur atau facial expression yang apik selain menggunakan radio dan lagu-lagu populer dari era 1980-an.
Yang juga menarik, karakter antagonis dalam film ini pun turut diperhatikan. Oke, dua robot yang berpihak pada Decepticons memang tak ubahnya villain konvensional lain dari franchise ini – kecuali salah satunya disuarakan oleh perempuan (Angela Bassett). Namun agen Jack Burns (John Cena) bukanlah seorang keji dari sononya karena dia menyimpan sedikit kompleksitas dibalik tindakannya yang menentang keberadaan Bee. Kita mengetahuinya di awal, dipertegas pula di akhir yang sekaligus dimanfaatkan untuk menyuarakan pesan relevan: manusia acapkali bertindak kejam terhadap apa yang tidak dipahaminya. Disokong performa apik John Cena, Jack terlihat sebagai antagonis yang mengancam dan kita pun kerap dibuat berang olehnya yang terus menerus menghalangi Bee sementara di waktu bersamaan dia memberikan jalan untuk Decepticons tanpa pernah disadarinya. Ngeselin, kan? Adanya emosi yang bisa dipermainkan sedemikian rupa inilah – kadang saya bersemangat, kadang saya takjub, kadang saya tertawa, kadang saya jengkel, dan kadang saya tersentuh – yang membuat Bumblebee terasa bernyawa dan berbeda dibandingkan kakak-kakaknya yang terasa hampa. Keberadaan emosi ini pula yang membuat saya berani melabeli Bumblebee sebagai seri Transformers terbaik yang pernah dibuat. Tak pernah sedikitpun terbayangkan sebelumnya, saya bisa tertawa lepas lalu menyeka air mata saat menyaksikan sebuah film dalam franchise Transformers. Tak pernah.
Rating :