Cukup wajar jika DC Films dan Warner Bros. Pictures menggantungkan banyak harapan mereka kepada Aquaman. Selepas kegagalan beruntun dari Man of Steel (Zack Snyder, 2013), Batman v. Superman: Dawn of Justice (Snyder, 2016), dan Suicide Squad (David Ayer, 2016) dalam meraih dukungan dari para kritikus film dunia – serta ditanbah dengan tanggapan yang cenderung medioker dari pada penggemar komik rilisan DC Comics, yang kemudian diikuti oleh melempemnya performa Justice League (Snyder, 2017) – yang tercatat menjadi film dengan capaian kesuksesan komersial paling rendah dalam seri film DC Extended Universe, keberadaan Aquaman jelas krusial untuk membangkitkan kembali tingkat kepercayaan sekaligus ketertarikan publik pada deretan pahlawan super buatan DC Comics. Atau, setidaknya, Aquaman haruslah mampu mencapai tingkatan kualitas yang berhasil diraih Wonder Woman (Patty Jenkins, 2017) yang hingga saat ini menjadi satu-satunya film dari DC Extended Universe yang berhasil meraih kesuksesan baik secara kritikal maupun komersial. Dengan ambisi besar tersebut, jelas tidak mengherankan jika Aquaman digarap megah dalam kualitas produksinya namun, seperti halnya Wonder Woman, tetap menyajikan keintiman cerita dalam hal penggalian kisah dasar mengenai sang karakter utama film ini.
Diarahkan oleh James Wan (The Conjuring 2, 2016) berdasarkan naskah cerita yang digarap oleh David Leslie Johnson-McGoldrick (Wrath of the Titans, 2012) dan Will Beal (Gangster Squad, 2013), Aquaman dimulai dengan mengenalkan para penontonnya pada kisah personal dari masa lalu Aquaman yang membentuknya hingga menjadi sosok tangguh yang kelak akan terpilih menjadi Raja Atlantis. Terlahir sebagai seorang anak dengan darah campuran yang berasal dari sang ayah yang merupakan seorang manusia, Thomas Curry (Temuera Morrison), dan ibu yang merupakan seorang ratu dari kerajaan bawah laut bernama Atlantis, Atlanna (Nicole Kidman), Arthur Curry (Jason Momoa) teah terbiasa untuk menggunakan kekuatan super yang ia miliki untuk membantu banyak orang yang sedang berada dalam kesulitan. Suatu hari, Arthur Curry didatangi oleh Mera (Amber Heard) yang juga berasal dari Kerajaan Atlantis guna memperingatkannya bahwa adik tirinya, Orm (Patrick Wilson), sedang berencana untuk melakukan penyerangan kawasan darat dari dalam laut agar kekuatannya dapat terus bertambah. Satu-satunya cara untuk menghentikan Orm adalah dengan Arthur Curry kembali ke Kerajaan Atlantis dan merebut tahta kerajaan yang sebenarnya memang menjadi haknya. Arthur Curry jelas menolak ide tersebut. Namun, ketika serangan Orm mulai menimbulkan kerusakan yang fatal di permukaan Bumi, Arthur Curry tidak punya pilihan lain selain menghadapi Orm secara langsung.
Pilihan untuk memberikan Wan kendali atas pengisahan Aquaman jelas terbukti sebagai sebuah langkah yang cukup tepat ketika film ini mampu tampil dengan atmosfer pengisahan yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan film-film dari DC Extended Universe yang telah dirilis sebelumnya. Jika film-film sebelumnya tampil dengan pengisahan yang kelam – yang kemudian secara perlahan berusaha diarahkan untuk tampil lebih ringan namun, sayangnya, terus terasa kurang berhasil untuk menemukan ritme yang tepat dalam penyajiannya, Wan sukses mengolah Aquaman menjadi sebuah pertunjukan hiburan yang terasa benar-benar lepas, menyenangkan, dan sama sekali tidak terasa dipaksakan. Bukan lantas berarti Aquaman meninggalkan sepenuhnya jejak film-film pendahulunya. Nuansa kelam dalam pengisahan perseteruan antar karakter, konflik-konflik yang mereka hadapi, hingga pendalaman yang dilakukan pada beberapa karakter masih membentuk benang merah akan kemuraman yang selalu terpancar pada setiap cerita dalam seri DC Extended Universe.
Aquaman memang menyenangkan untuk disaksikan. Bahkan dalam durasi presentasi yang mencapai 143 menit, film ini benar-benar mampu memberikan ikatan yang kuat bagi para penontonnya untuk terus mengikuti petualangan yang dijalani oleh sang karakter utamanya. Di saat yang bersamaan, juga hal yang tidak dapat terbantahkan bahwa Aquaman seringkali tampil dalam ritme pengisahan yang tidak beraturan ketika Wan berusaha menampilkan berbagai elemen kisah dalam filmnya. Setelah memulai kisahnya dengan solid melalui presentasi cerita dari masa lalu karakter Aquaman dan berbagai pengenalan awal akan karakter dan konflik mereka, paruh kedua film disajikan Wan sebagai paduan dari berbagai hal: mulai dari kisah petualangan a la seri Indiana Jones, konflik perebutan tahta kerajaan seperti halnya yang tersaji dalam kisah-kisah karangan William Shakespeare – atau Black Panther (Ryan Coogler, 2018), bahkan, dalam satu bagiannya, Wan sempat mentransformasi Aquaman menjadi sebuah komedi romansa bagi karakter Aquaman dan Mera. Elemen-elemen tersebut tereksekusi dengan baik namun seringkali meninggalkan kesan tidak mampu terajut dengan baik sebagai sebuah kesatuan cerita sehinga berakhir sebagai sebuah kisah pengisi celah sebelum film ini akhirnya melangkah ke paruh penceritaan finalnya.
Dan memang, paruh ketiga dari Aquaman memang menjadi tampilan paling solid dalam linimasa penceritaan film. Sajian kisah akan pertempuran antara karakter-karakter yang saling berseteru kemudian dibungkus dengan garapan efek audio visual dalam dunia laut yang bombastis – serta sentuhan emosional dari sebuah kisah keluarga – jelas akan membuat penonton tenggelam dalam sajian kisah pahlawan super yang epik. Pengarahan Wan yang beberapa kali sempat terasa terbata-bata juga hadir dengan langkah yang meyakinkan pada bagian ini. Sebagai seorang sutradara yang akrab dengan film-film bernuansa horor, cukup mengagumkan untuk melihat kemampuan Wan dalam menggarap satu adegan penceritaan film ini – sebuah adegan yang melibatkan karakter Aquaman dan Mera dalam kepungan makhluk-makhluk asing dari dalam lautan yang disebut dengan The Trench – dengan intensitas horor yang sangat kental. Dukungan penampilan teknis film, mulai dari tata sinematografi hingga suara dan efek visual, jelas memberikan dorongan bagi kualitas pengisahan Aquaman untuk selalu tampil maksimal.
Terlepas dari berbagai ganjalan yang hadir dalam pengisahannya – arahan Wan yang goyah pada beberapa bagian, dialog yang seringkali terasa cheesy, jalan cerita yang terlalu berusaha untuk mencakup terlalu banyak hal, hingga kehadiran iringan musik dan lagu yang memiliki kesan terlalu acak (Pitbull yang menampilkan versi terbaru dari lagu Africa milik Toto?) – Aquaman tidak pernah terasa menjemukan berkat penampilan apik dari para pengisi departemen aktingnya. Sebagai seorang pahlawan super, Momoa hadir dengan daya tarik dan kharisma yang sangat meyakinkan. Sosoknya tampil begitu mudah untuk disukai. Chemistry yang ia jalin bersama dengan Heard – yang juga akan mencuri hati banyak penonton – juga tampil solid. Para pemeran lainnya, mulai dari Kidman, Wilson, Willem Dafoe, hingga Dolph Lundgren, juga memberikan penampilan terbaik mereka bagi film ini. Secara keseluruhan, Aquaman adalah sebuah kisah pembuka bagi sang karakter pahlawan super yang cukup kuat. Tidak semulus Wonder Woman namun jelas tampil lebih prima jika dibandingkan film-film pengisi DC Extended Universe lainnya.
Rating :