Hollywood sepertinya belum merasa puas untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang dapat mereka raih dengan kisah legenda Robin Hood. Setelah sebelumnya Ridley Scott merilis versinya pada tahun 2010 – dengan dibintangi nama-nama besar seperti Russell Crowe, Cate Blanchett, hingga Oscar Isaac, Léa Seydoux, Mark Strong, William Hurt, dan Max von Sydow – saduran teranyar dari kisah sang pahlawan rakyat jelata dari tanah Inggris tersebut kini hadir lewat film berjudul sama garapan sutradara asal Inggris, Otto Bathurst. Merupakan debut pengarahan film layar lebar bagi sutradara yang lebih dikenal sebagai sutradara bagi serial televisi seperti Peaky Blinders dan Black Mirror ini, Robin Hood mencoba menghadirkan penyegaran pada beberapa sudut pengisahan dan karakterisasi Robin Hood yang memang telah begitu familiar tersebut. Cukup menyegarkan… walau dengan durasi pengisahan yang mencapai hampir 120 menit, Robin Hood terasa mencuri waktu yang terlalu banyak untuk menjabarkan deretan konflik yang sebenarnya cukup sederhana dan kurang mendalam.
Mengikuti jejak Crowe, Sean Connery, Kevin Costner, dan Cary Elwes (the most fun one!), Taron Egerton kini berkesempatan untuk memerankan sang karakter utama. Dikisahkan, sepulangnya dari masa tugasnya dalam membela Inggris di Perang Salib, bangsawan Robin of Loxley (Egerton) mendapati bahwa kekasih hatinya, Marian (Eve Hewson), kini telah menjalin hubungan asmara dengan pria lain, Will Tillman (Jamie Dornan), setelah Sheriff of Nottingham (Ben Mendelsohn) memberikan berita yang salah bahwa dirinya telah tewas dalam pertempuran dua tahun yang lalu. Tidak hanya itu, Sheriff of Nottingham juga telah menyita seluruh kekayaan Robin of Loxley sebagai bagian dari programnya untuk mengumpulkan pajak yang lebih besar dari rakyatnya guna mendukung pasukan Inggris dalam peperangan. Robin of Loxley kemudian bertemu dengan seorang tawanan perang bernama Yahya ibn Umar – yang kemudian menyebut dirinya sebagai John (Jamie Foxx) – yang mengusulkan agar Robin of Loxley untuk membalaskan dendamnya kepada Sheriff of Nottingham dengan cara merampok kekayaannya dan para bangsawan yang berada di sekitarnya untuk kemudian membagikan hasil rampokan tersebut kepada rakyat miskin.
Harus diakui, naskah cerita Robin Hood yang digarap oleh Ben Chandler dan David James Kelly memberikan cukup banyak sentuhan segar pada pengisahan legendaris Robin Hood untuk menjadikannya relevan dengan berbagai isu sosial maupun politik yang sedang terjadi di era sekarang. Pemaparan tentang pemanfaatan isu agama sebagai bagian dari strategi politik, penggunaan pajak untuk kepentingan pribadi, penciptaan isu perbedaan ras dan budaya guna menyebar ketakutan pada masyarakat luas, hingga perubahan karakterisasi pada beberapa karakter utama film harus diakui mampu menjadikan Robin Hood tampil dengan intrik yang penuh warna. Meskipun begitu, terlepas dari berbagai elemen cerita baru yang coba dihadirkannya, Chandler dan Kelly masih dengan setia mempertahankan garis kuat kisah tentang sosok Robin Hood yang telah lama dikenal dunia. Dan, sayangnya, dari sinilah berbagai problematika pengisahan film ini kemudian banyak berasal.
Berbagai konflik yang kental dengan nuansa pengisahan yang lebih padat tersebut seringkali hanya disajikan sebagai pembungkus bagi kisah dasar dari karakter Robin Hood dalam penggambaran misinya untuk membalaskan dendam. Hal tersebut sebenarnya tidak akan menjadi masalah yang begitu besar jika Robin Hood mampu memberikan bangunan karakter yang kuat bagi sang tokoh utama. Namun, dengan himpitan karakter-karakter lain yang tampil dengan karakterisasi yang lebih lugas dan berbagai konflik yang menyertai pengisahan mereka, karakter Robin Hood seringkali terasa tenggelam, dangkal, dan tidak mampu untuk memberikan ikatan emosional yang berarti.
Penuturan Bathurst yang cenderung lamban juga sering membuat ritme presentasi film menjadi berantakan: Pada bagian awal hingga pertengahan Robin Hood terkesan ingin menghadirkan setiap konflik cerita secara mendetil namun kemudian kebingungan untuk memberikan ujung pengisahan yang kuat sehingga paruh akhir film diwarnai banyak keterburu-buruan. Tidak sepenuhnya membosankan. Robin Hood masih mampu menghibur ketika elemen aksi dan komedinya berhasil dieksekusi dengan cukup baik. Pemilihan tata kostum yang berkesan “modern namun tetap terasa berasal dari era tempoe doeloe” juga seringkali mencuri perhatian. Sayang, banyak bagian menyenangkan tersebut kemudian terkubur oleh paruh-paruh film yang tampil datar dan cenderung membosankan.
Selain karakternya yang tergarap kurang matang, penampilan Egerton yang dikelilingi penampilan kharismatik dari aktor-aktor seperti Foxx, Mendelsohn, dan kecantikan Hewson juga menjadi salah satu faktor mengapa karakter Robin Hood yang ia perankan terasa tidak sepenuhnya berhasil. Egerton adalah seorang aktor yang mumpuni dan ia berhasil memberikan nyawa bagi karakter yang dihadirkannya… namun tidak sekuat penampilan yang diberikan oleh Foxx dan Mendelsohn – bahkan ketika karakter yang mereka perankan disajikan dengan rangka cerita yang tidak terlalu maksimal. Hewson dan Jamie Dornan menjadi dua penampilan lain yang turut memperkuat departemen akting Robin Hood. Karakter yang diperankan Dornan sepertinya memang sengaja untuk dihadirkan dalam porsi yang terbatas – satu misteri yang nantinya akan terjawab di paruh akhir cerita. Karakter Marian yang diperankan Hewson sebenarnya berusaha disajikan sebagai sosok karakter wanita yang tangguh namun kurang berhasil untuk tergarap dengan lebih baik.
Rating :