Berlatarbelakang kisah pada masa Perang Dunia II, Overlord berkisah mengenai sekelompok pasukan lintas udara dari angkatan bersenjata Amerika Serikat yang ditugaskan untuk menghancurkan sebuah menara radio milik pasukan Jerman yang terletak di sebuah wilayah pedesaan terpencil di negara Perancis. Sial, sebelum mencapai tujuan, pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh oleh pasukan Jerman dan membuat hanya lima orang dari pasukan tersebut yang tetap bertahan hidup: Corporal Ford (Wyatt Russell) serta empat orang tentara, Ed Boyce (Jovan Adepo), Tibbet (John Magaro), Morton Chase (Iain De Caestecker), dan Dawson (Jacob Anderson). Meskipun dengan jumlah pasukan yang begitu terbatas, Corporal Ford telah bertekad bahwa ia dan pasukannya akan tetap meneruskan misi mereka guna mengalahkan tentara Jerman. Namun, tantangan yang datang bukan hanya sekedar kontak fisik dan senjata dengan pihak lawan. Tanpa disangka, kelima pasukan Amerika Serikat yang tersisa tersebut menemukan sebuah laboratorium rahasia milik para tentara Jerman yang mencoba untuk menciptakan sekelompok pasukan super dengan eksperimen yang mengerikan dan jelas jauh dari kesan manusiawi.
Diarahkan oleh Julius Avery (Son of a Gun, 2015) – dengan “bimbingan” J. J. Abrams sebagai produser bagi film ini, Overlord adalah sebuah paduan berani akan beberapa warna penceritaan yang mampu diolah untuk menjadi sebuah sajian yang tidak hanya mengikat namun sangat, sangat menyenangkan untuk disaksikan. Bayangkan saja paduan akan film-film peperangan semacam Saving Private Ryan (Steven Spielberg, 1998) atau Inglorious Basterds (Quentin Tarantino, 2009) dengan film-film horor bertema mayat hidup seperti 28 Days Later… (Danny Boyle, 2002) atau Dead Snow (Tommy Wirkola, 2009) – yang memang telah menghadirkan para pasukan Jerman di Perang Dunia II sebagai sekelompok mayat hidup – atau well… jika Anda merupakan penggemar permainan video, Overlord dapat dilihat sebagai sebuah adaptasi alternatif dari permainan video popular berjudul Wolfenstein. Gabungan deretan elemen cerita yang mungkin berkesan familiar namun tertata dengan apik untuk dapat memuaskan setiap penonton – baik mereka penggemar film-film aksi peperangan maupun para penikmat film-film horor mencekam.
Selintas, Overlord memang berkesan tampil dengan penggalian cerita yang tidak terlalu mendalam. Hal tersebut memang dapat begitu dirasakan pada karakter-karakter yang mengisi linimasa penceritaan film ini. Karakter-karakter yang tampil dalam film ini memang bukanlah deretan karakter yang paling kuat dan utuh pengisahannya. Namun, setidaknya, Overlord tetap terus berusaha untuk menjadikan karakter-karakternya sebagai sosok yang menarik dengan deretan karakterisasi yang cukup menonjol. Di saat yang bersamaan, pada banyak sudut pengisahannya, duo penulis naskah Billy Ray (The Hunger Games, 2012) dan Mark L. Smith (The Revenant, 2015) cukup berhasil memberikan suplemen pengisahan yang kuat dan cukup relevan dengan kondisi sosial politik dunia dalam beberapa waktu terakhir. Lihat saja bagaimana Ray dan Smith mempertanyakan moral dari sebuah peperangan atau sejauh mana kekerasan berpengaruh dalam kehidupan manusia. Pretty deep eh?
Elemen terkuat Overlord, tentu saja, datang dari pengarahan apik dari Avery. Avery membungkus setiap detil pengisahan filmnya dengan ritme penceritaan yang berjalan cepat. Setiap bagian intensitas cerita dieksekusi dengan sempurna untuk terus mengikat perhatian penonton. Kualitas desain produksi film juga hadir maksimal. Dengan warna film yang berkesan sebagai sebuah film bertema peperangan kelas dua, Avery mampu menyajikan setiap bagian teknikal filmnya dalam balutan penampilan yang mewah dan berkelas. Dan meskipun departemen aktingnya tidak diisi dengan wajah maupun nama aktor-aktor papan atas Hollywood, Avery tetap berhasil mendapatkan penampilan akting yang maksimal dari para pemeran filmnya.
Rating :