Merupakan film panjang naratif pertama Putrama Tuta setelah sebelumnya mengarahkan versi teranyar dari Catatan Si Boy (2011), A Man Called Ahok adalah film biopik yang berkisah tentang kehidupan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan naskah cerita yang digarap oleh Tuta bersama dengan Ilya Sigma (Rectoverso, 2013) dan Dani Jaka Sembada (Pizza Man, 2015) berdasarkan buku berjudul sama yang ditulis oleh Rudi Valinka. Daripada menitikberatkan pengisahan film pada karakter Basuki Tjahaja Purnama serta tindakan dan pemikiran politik yang membuat keberadaannya begitu dikenal seperti saat ini, A Man Called Ahok sendiri memilih untuk mengekplorasi masa muda dari sang karakter, kehidupan masa kecilnya di Belitung, serta hubungannya dengan sang ayah yang nantinya membentuk karakter dari Basuki Tjahaja Purnama dewasa. Pilihan yang menarik walau naskah garapan Tuta, Sigma, dan Sembada kemudian kurang mampu menghadirkan keseimbangan penceritaan antara karakter Basuki Tjahaja Purnama dengan karakter sang ayah yang juga tampil mendominasi linimasa penceritaan film.
Jalan cerita A Man Called Ahok dimulai pada latar belakang waktu pengisahan di tahun 1970an dengan menampilkan sosok remaja dari Basuki Tjahaja Purnama – atau yang lebih sering dikenal dengan nama panggilan Ahok (Eric Febrian) – yang merupakan putra tertua dari pasangan Tjung Kim Nam (Denny Sumargo) dan Buniarti Ningsih (Erisca Rein). Tjung Kim Nam sendiri adalah sosok pengusaha sukses yang telah dikenal luas oleh berbagai kalangan masyarakat Belitung – bukan hanya karena kesuksesan dan kekayaannya namun juga karena kebaikan dan kerelaan hatinya dalam menolong setiap orang yang datang untuk meminta bantuannya. Di saat yang bersamaan, Tjung Kim Nam juga dikenal sebagai sosok yang tegas, baik ketika berinteraksi dengan anak-anaknya maupun ketika berhadapan dengan mafia bisnis yang semenjak lama telah menghantui dan menghambat perkembangan tanah Belitung. Sikap tegas dan keras tersebut – yang seringkali membuat Ahok sering merasa tidak pernah mampu memenuhi harapan sang ayah – nantinya menginspirasi Ahok dewasa (Daniel Mananta) untuk terjun ke dunia politik guna membantu masyarakat Belitung dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Walau menggunakan nama panggilan akrab dari karakter Basuki Tjahaja Purnama sebagai bagian judul dari filmnya, A Man Called Ahok justru seringkali terasa menempatkan karakter tersebut sebagai karakter sekunder dalam perjalanan pengisahannya. Bahkan, bangunan kisah hubungan antara ayah dan anak dari karakter Tjung Kim Nam dengan Ahok juga tampil minimalis, khususnya ketika A Man Called Ahok lebih memilih untuk mengeksplorasi hubungan tersebut melalui narasi suara dari Mananta daripada menjadikannya sebagai bagian integral dari pengisahan adegan film. Bukan sebuah keputusan yang benar-benar buruk namun, tidak dapat disangkal, pilihan tersebut terkesan membuang kesempatan agar penonton dapat merasakan chemistry antara pemeran kedua karakter tersebut secara lebih mendalam sekaligus menutup sebagian ruang penceritaan untuk dapat tampil lebih emosional. Tidak mengherankan jika film ini kemudian lebih sering tampil dengan notasi pengisahan yang cenderung datar daripada berhasil untuk berkisah secara lebih dinamis.
A Man Called Ahok justru tampil dengan kualitas pengisahan yang lebih utuh ketika mengeksplorasi sosok Tjung Kim Nam – baik ketika menggambarkan karakter tersebut sebagai sosok suami, sosok ayah, hingga sosok pengusaha sukses dengan prinsip yang tegas namun kepribadian yang (sebenarnya) lembut. Hampir separuh dari total durasi penceritaan film ini didedikasikan untuk karakter tersebut. Tuta mungkin meniatkan agar penonton dapat melihat sosok Ahok melalui gambaran kepribadian karakter sang ayah. Namun, di sisi lainnya, gambaran yang (terlalu) kuat dari karakter Tjung Kim Nam tersebut justru secara perlahan membuat karakter Ahok tenggelam dan terasa kurang menarik bahkan ketika karakter Ahok akhirnya dijadikan pusat penceritaan pada separuh akhir dari linimasa penceritaan film. Pengarahan Tuta juga tampil tidak mengecewakan. Terlepas dari problematika yang mengganjal pengisahan film, Tuta setidaknya terus mampu untuk menggiring A Man Called Ahok jauh dari kesan biopik yang monoton maupun membosankan khususnya dengan dukungan departemen produksi yang tampil rapi juga mumpuni.
Dengan penulisan sosok karakter yang lebih kuat, tidak mengherankan jika kemudian para pemeran karakter Tjung Kim Nam tampil lebih menonjol jika dibandingkan dengan penampilan para pengisi departemen akting A Man Called Ahok lainnya. Sumargo mampu memberikan nyawa sekaligus warna pada karakter yang diperankannya. Sayang, Rein yang banyak tampil mendampingi seringkali terasa kurang mampu untuk menyeimbangi penampilan Sumargo. Namun, adalah penampilan Chew Kin Wah – yang memerankan karakter Tjung Kim Nam pada usia yang lebih tua – yang menjadi hati sekaligus jiwa dari pengisahan film ini. Lewat penampilannya, A Man Called Ahok hadir dengan ekplorasi lapisan emosi yang jauh lebih kuat. Tambahan penampilan Sita Nursanti – yang begitu mampu menghipnotis dan berkata-kata banyak bahkan hanya dengan ekspresi wajahnya – lewat peran karakter Buniarti Ningsih dalam usia yang lebih tua juga semakin mendukung kesuksesan tersebut.
Febrian dan Mananta, yang sama-sama berperan sebagai karakter Ahok dalam ruang usia yang berbeda, juga tidak mengecewakan dalam penampilan mereka. Mananta bahkan mampu menirukan gerak dan nada suara seorang Basuki Tjahaja Purnama dengan leluasa – walau terkadang Mananta lebih sering terasa memberikan fokus pada menirukan gestur sang karakter daripada berusaha memberikan jiwa bagi karakter tersebut. Departemen akting film ini juga diperkuat oleh penampilan Donny Damara, Ferry Salim, Edward Akbar, serta serangkaian penampilan selintas dari barisan aktor dan aktris film Indonesia yang cukup mampu membuat pengisahan A Man Called Ahok menjadi semakin menarik.
Rating :