Berawal dari sebuah cerita pendek berjudul The Nutcracker and the Mouse King yang ditulis oleh penulis E.T.A. Hoffmann dan dirilis pada tahun 1816, The Nutcracker kemudian mendunia ketika kisah tersebut diadaptasi menjadi sebuah pertunjukan balet sukses berjudul sama oleh Marius Petipa dan Lev Ivanov dengan iringan musik dari Pyotr Ilyich Tchaikovsky yang juga menjelma menjadi salah satu gubahan musik paling familiar bagi banyak penikmat musik dunia. Keberhasilan tersebut tak pelak membuat pengisahan The Nutcracker kemudian diadaptasi ke dalam banyak bentuk media penceritaan lainnya – mulai dari drama panggung musikal, film layar lebar, serial televisi, bahkan hingga permainan video. Yang teranyar, Walt Disney Pictures merilis The Nutcracker and the Four Realms yang merupakan adaptasi mereka atas The Nutcracker and the Mouse King dan kisah yang disampaikan dalam pertunjukan balet The Nutcracker dengan memberikan sejumlah sentuhan baru pada beberapa bagian penceritaannya. Sebuah strategi yang mungkin sejalan dengan rilisan-rilisan mereka seperti Cinderella (Kenneth Branagh, 2015) atau Beauty and the Beast (Bill Condon, 2017) yang juga memberikan interpretasi segar atas sebuah pengisahan klasik namun apakah Walt Disney Pictures mampu mempertahankan daya tarik magis dari The Nutcracker yang telah dicintai begitu banyak orang selama lebih dari satu abad?
Diarahkan oleh Lasse Hallström (Dear John, 2010) – yang kemudian mendapatkan bantuan pengarahan dari Joe Johnston (Captain America: The First Avenger, 2011) pada beberapa adegan film yang sempat membutuhkan proses pengambilan gambar ulang, The Nutcracker and the Four Realms berkisah mengenai rasa duka yang dirasakan oleh Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) setelah kematian sang ibu. Di malam Natal, melalui perantaraan sang ayah (Matthew Mcfadyen), Clara Stahlbaum menerima hadiah Natal berupa sebuah mainan berbentuk telur yang diberikan padanya tanpa kunci untuk membuka isi dari telur mainan tersebut. Penasaran, Clara Stahlbaum kemudian menjumpai ayah baptisnya, Drosselmeyer (Morgan Freeman), untuk meminta bantuan dalam menyingkap isi telur mainan yang membuatnya sangat penasaran tersebut. Daripada memberikan Clara Stahlbaum kunci yang ia butuhkan, Drosselmeyer justru membimbing gadis remaja tersebut kepada sebuah petunjuk yang kemudian membawa Clara Stahlbaum ke sebuah dunia baru yang juga pernah menjadi bagian besar dalam kehidupan ibunya dahulu.
Harus diakui, pilihan Walt Disney Pictures untuk melakukan beberapa perubahan dalam bagi jalan cerita The Nutcracker – yang dilakukan melalui naskah cerita hasil garapan Ashleigh Powell – membuat jalan cerita The Nutcracker and the Four Realms mampu memiliki premis yang cukup menarik. Karakter Clara Stahlbaum yang kini digambarkan turut ambil bagian dalam “peperangan” mempertahankan sebuah dunia yang baru dikenalnya membuat karakter tersebut terasa menjadi lebih hidup. Karakter-karakter lain yang tampil dalam jalan cerita film ini juga cukup mampu diberikan pengembangan kisah yang menarik. Hal yang sama juga dapat dirasakan dari pengarahan Hallström dan Johnston. Daripada menyajikan sebuah sajian film keluarga standar, Hallström dan Johnston cukup berani untuk mengambil beberapa pilihan artistik yang mampu mendorong atmosfer pengisahan The Nutcracker and the Four Realms menjadi terasa lebih kelam. Dukungan desain produksi yang berkesan begitu mewah, tata sinematografi yang berhasil menghadirkan deretan gambar yang begitu memanjakan mata, hingga gubahan James Newton Howard akan komposisi musik The Nutcracker Suite buatan Tchaikovsky yang mengiringi adegan-adegan film sukses memberikan detak kehidupan bagi film ini.
Di saat yang bersamaan, cukup sulit untuk memberikan kredit lebih bagi The Nutcracker and the Four Realms ketika naskah cerita garapan Powell tidak pernah benar-benar mampu untuk menggali lebih dalam setiap karakter maupun konflik yang disajikannya. Banyak konflik yang tampil dalam jalan cerita The Nutcracker and the Four Realms terasa hadir tanpa sokongan bangunan pengisahan yang mumpuni dan hanya tersaji serta berlalu begitu saja. Tidak sepenuhnya buruk. Sebuah pelintiran kisah yang disajikan film ini pada paruh ketiga pengisahan harus diakui cukup berhasil memberikan warna yang kuat bagi kualitas penceritaan film. Begitu pula dengan pilihan untuk tidak pernah membuat satu karakter tampil sebagai benar-benar sebagai sosok protagonis atau antagonis – sebuah pilihan yang berani dan cenderung filosofis untuk film yang memiliki para penonton muda sebagai sasaran utama pasarnya. Tetap saja, jalan cerita The Nutcracker and the Four Realms kemungkinan besar akan terlupakan begitu saja berkat karakter dan konflik yang cenderung datar dan nyaris gagal untuk membentuk ikatan emosional kepada para penontonnya.
The Nutcracker and the Four Realms jelas beruntung memiliki departemen akting yang sangat solid dalam mempresentasikan kualitas penampilan mereka. Penampilan Foy memang terkadang masih terasa cukup kaku sebagai sosok pemeran utama film. Meskipun begitu, Foy memiliki keanggunan dan kharisma yang cukup untuk membuat karakternya tetap tampil memikat. Penampilan lain yang jelas mencuri perhatian adalah penampilan apik dari Keira Knightley. Karakternya, Sugar Plum – yang hadir dengan nada suara yang cukup menggelikan, dapat saja berakhir sebagai sosok karakter yang memiliki tampilan buruk jika diperankan oleh sosok aktris yang kurang tepat. Knightley, tentu saja, memberikan penampilan yang begitu menghipnotis dan menjadikan sosok karakter yang ia perankan menjadi sangat mempesona. Selain Foy dan Knightley, departemen akting The Nutcracker and the Four Realms juga diperkuat oleh penampilan Freeman, Helen Mirren, dan Misty Copeland yang tampil menari balet dalam beberapa adegan film yang sepertinya ditujukan sebagai tribut bagi pertunjukan balet The Nutcracker yang kisahnya mendasari jalan cerita film ini. Masih mampu memberikan beberapa momen menyenangkan namun The Nutcracker and the Four Realms jelas bukanlah salah satu momen terbaik dalam barisan panjang rilisan film Walt Disney Pictures.
Rating :