Diarahkan oleh Hadrah Daeng Ratu (Mars Met Venus, 2017) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Aviv Elham (Alas Pati, 2018), pengisahan Jaga Pocong dimulai ketika seorang perawat bernama Mila (Acha Septriasa) mendapatkan tugas untuk melakukan kunjungan medis ke rumah seorang pasien bernama Sulastri (Jajang C. Noer). Sial, setibanya di lokasi, sang pasien justru telah meninggal dunia. Oleh putra Sulastri, Radit (Zack Lee), Mila kemudian dimintai bantuan untuk memandikan sekaligus mengkafani jenazah Sulastri serta menjaga adik Radit, Novi (Aqilla Herby), selagi pria tersebut pergi untuk mengurus pemakaman sang ibu. Walau awalnya merasa sungkan, seluruh permintaan Radit tersebut dapat dilakukan Mila dengan baik dan lancar. Namun, seiring dengan berjalannya waktu yang dihabiskan Mila untuk menunggu kembalinya Radit, Mila mulai dihantui oleh berbagai kejadian aneh bernuansa mistis yang sepertinya berusaha menunjukkan Mila bahwa ada hal yang lebih buruk yang akan terjadi jika dirinya tetap berada di rumah tersebut.
Seperti halnya Kafir (Azhar Kinoi Lubis, 2018), Ratu mengemas Jaga Pocong sebagai sebuah atmospheric horor yang lebih banyak menjauh dari adegan-adegan yang diniatkan untuk menakuti atau memberi kejutan horor bagi para penonton dan memberikan fokus yang lebih kuat untuk membangun atmosfer kelam nan mencekam dari lingkungan penceritaan film. Well… setidaknya hal itulah yang dapat dirasakan pada paruh awal pengisahan Jaga Pocong yang hanya menggunakan satu lokasi sebagai latar belakang penceritaannya ini. Pilihan yang cukup efektif. Dibantu dengan penampilan Septriasa yang sangat memikat sekaligus desain produksi dan tata sinematografi yang berkelas, Ratu berhasil menanamkan bangunan misteri cerita yang kuat bahkan ketika karakter maupun konflik minim tampil dalam linimasa pengisahan film.
Pengarahan Ratu, sayangnya, tidak mendapatkan dukungan yang solid dari kualitas penulisan naskah Elham. Setelah mengenalkan sang karakter utama dan paruh awal dari konflik cerita yang akan dihadapinya, Jaga Pocong secara perlahan terkesan kehilangan pegangan untuk menetapkan jalur pengisahan yang tepat untuk mengisi paruh pertengahan film. Bahkan, begitu kosongnya pengembangan cerita di bagian pertengahan film, karakter Mila yang diperankan oleh Septriasa digambarkan menghabiskan waktunya hanya untuk berlari dan berteriak ke berbagai penjuru rumah dengan tanpa henti. Elham lantas mengenalkan sebuah pelintiran cerita yang mungkin akan mengingatkan penonton pada pengisahan The Skeleton Key (Ian Softley, 2005) atau Get Out (Jordan Peele, 2017). Menarik namun jelas memberikan problema tersendiri ketika elemen cerita tersebut hanya diajukan dan diungkapkan begitu saja tanpa pernah mendapatkan latar belakang penceritaan yang jelas – seperti halnya yang dilakukan oleh naskah cerita The Skeleton Key maupun Get Out.
Jaga Pocong jelas beruntung memiliki Ratu yang setidaknya masih mampu menjaga intensitas ketegangan penceritaan filmnya secara baik serta Septriasa yang senantiasa berhasil memberikan penampilan terbaiknya untuk menjaga agar karakternya tetap terasa bernyawa bahkan ketika naskah cerita film ini terasa tampil tanpa detak kehidupan sekalipun. Noer, Lee, dan Herby juga tampil memuaskan meskipun dengan porsi pengisahan yang begitu minimalis – Noer bahkan menghabiskan banyak adegannya dalam balutan kain kafan dan hanya terbaring kaku di banyak adegan penceritaan film. Jika tanpa performa mereka, Jaga Pocong mungkin akan tampil dalam kualitas yang jauh lebih buruk. Sangat disayangkan, tentu saja, mengingat film ini sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk menjadi horor yang mengesankan jika didukung dengan penulisan naskah cerita yang lebih kuat.
Rating :